Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang Kamis (30/12) lalu memutuskan menerima uji materi (judicial review) pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) yang mengatur soal calon independen.
Sebelumnya, menurut pasal 256 UUPA, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Jika merujuk pada pasal tersebut, Calon Independen hanya berlaku sekali yaitu pada Pilkada 2006.
Sebelumnya, menurut pasal 256 UUPA, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Jika merujuk pada pasal tersebut, Calon Independen hanya berlaku sekali yaitu pada Pilkada 2006.
Berdasarkan sejumlah fakta hukum, MK berpandangan, bahwa calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya. Jika diberlakukan, menurut MK, akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia lainnya.
Disebutkan, jika soal Calon Independen dibatasi, warga negara indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.
Karena pertimbangan tersebut, kemudian MK memutuskan menerima permohonan para pemohon uji materi pasal 256 UUPA untuk seluruhnya, dan menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurut MK, pasal 256 UUPA tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Keputusan MK tersebut kemudian disambut suka cita oleh rakyat Aceh sebagai kemenangan demokrasi. Sejurus keputusan tersebut, sejumlah kandidat pun mulai pasang kuda-kuda untuk maju dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakilnya yang berlangsung serentak pada Oktober 2011.
Para kandidat yang sebelumnya tidak memiliki kendaraan politik dan hampir putus asa, kini mulai bergairah kembali. Mereka pun sudah siap-siap melakukan konsolidasi dan turun ke daerah memperkenal diri. Mereka tak memperdulikan berapa cost politik yang harus dikeluarkan, yang penting mereka bisa maju sebagai salah seorang calon pemimpin.
Namun, masalahnya, para kandidat yang akan maju harus mengumpulkan dukungan yang dibuktikan dengan bukti KTP, sekurang-kurangnya ½ dari jumlah Kabupaten/Kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, dan ½ dari jumlah Kecamatan untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Jadi, untuk maju sebagai salah seorang kandidat, mereka harus mendapat dukungan sekurang-kurangnya 3% dari jumlah penduduk di daerah pemilihan yang bersangkutan. Bentuk dukungan itu juga harus disertai dengan surat pernyataan.
Tak pelak, disahkannya calon Independen membuat harga KTP bakal mahal di Aceh. Karena semua kandidat harus memburu jumlah KTP seperti disyaratkan. Jika tak mendapatkan jumlah KTP yang cukup, mereka tidak bisa melenggang secara leluasa karena langsung digugurkan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP).
Masalahnya, rakyat tak akan sembarangan memberikan KTP. Karena mereka tahu jika KTP mereka menjadi sangat bernilai. Mereka akan membuat bargaining dengan para kandidat. Jika perlu, menjual satu lembar foto copy KTP seharga Rp2 juta. Hal ini bisa saja terjadi, karena rakyat Aceh mulai berpikir, jika menunggu hingga para kandidat menang dan duduk di kursi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. “Ada uang, ada barang,” mungkin begitu logika mereka.
Selain itu, masyarakat juga akan memiliki kesibukan baru: menjadi agen pengumpul KTP dari masyarakat, dan ketika para kandidat memerlukan, mereka memasang tarif tinggi. Mereka baru akan melepaskan KTP yang sudah dikumpulkannya jika harga cocok. Ini juga menjadi bagian dari mengail rezeki menjelang Pemilu.
Mungkin, bukan kali ini saja KTP Aceh menjadi penting. Sebelumnya, saat Pemerintah Irwandi-Nazar memberlakukan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), KTP Aceh juga jadi sangat berharga. Sebab, hanya yang memiliki KTP Aceh yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan gratis. Semua biaya pengobatan ditanggung oleh Pemerintah. Sejumlah warga perbatasan pun buru-buru membuat KTP Aceh, agar bisa mendapatkan biaya pengobatan gratis.
Kondisi ini kebalikan dengan saat Aceh diberlakukan Darurat Militer (DM) pada 2003-2004 silam. Orang menjadi alergi dengan KTP Aceh. Memiliki KTP Aceh bisa sangat berbahaya. Dan menjadi lebih berbahaya jika tidak memiliki KTP, karena taruhannya adalah kematian.
Belum lagi saat itu ada kebijakan khusus berupa pemberlakuan KTP Merah Putih. Orang Aceh bisa langsung ditandai dari KTP-nya, karena bentuknya berbeda dengan KTP pada umumnya. Jadi, berhati-hatilah dengan KTP-mu, jangan sampai hilang, karena dia akan menjadi mahal dan tentu saja penting![]
---Note: Tulisan ini diikutkan dalam lomba 'Old & New Blogging Moment' Kompasiana. Dukung tulisan ini dengan mengklik Independen dan KTP