Tema-tema politik kini lebih terbuka didiskusikan di jejaring sosial atau sosial media seperti Facebook, Twitter maupun Blog (termasuk milis). Diskusi-diskusi tersebut kerap melibatkan banyak orang beragam latar belakang profesi, umur, ras maupun agama. Jangkauannya lebih luas dan tentu saja punya pengaruh luar biasa, terutama dalam memengaruhi sebuah kebijakan.
Jika di media mainstream, sebuah isu kadang tak dibahas secara kritis dan vulgar maka di jejaring sosial bisa lebih keras. Di media mainstream sebuah kritik disampaikan dengan bahasa santun dan hati-hati, tapi tidak begitu halnya di jejaring sosial; kritiknya lebih menohok, tak ada yang ditutupi.
Dari sisi penyebaran wacana, harus diakui, media (cetak) terlambat satu langkah dibandingkan yang terjadi di jejaring sosial. Di jejaring sosial/sosial media sebuah wacana berkembang sangat cepat, bahkan mampu menghimpun jutaan dukungan. Semua orang seperti menemukan ‘teman seperjuangan’ dan begitu sulit untuk dihentikan, karena kita tidak pernah tahu siapa yang mengendalikan. “Setiap orang terkait namun tak seorang pun yang mengendalikan,” kata Thomas Friedman, penulis buku The World is Flat, seperti dikutip Fareed Zakaria dalam bukunya Masa Depan Kebebasan (2003).
Revolusi yang kini menyebar hampir merata di dunia Arab, diakui atau tidak, karena pengaruh jejaring sosial atau sosial media. Virus demokratisasi dan kebebasan yang begitu didengungkan Negara Barat menyebar begitu cepat, singgah di Sudan, Tunisia, Mesir, Suriah, Bahrain, Yaman, Libya, dan akan tiba di Arab Saudi. Virus ini menjadi sangat sulit dibendung.
Di dalam negeri, kuasa jejaring sosial ‘memaksa’ Arifinto, politisi sebuah partai politik Islam yang kedapatan menonton video porno, mundur dari dewan yang terhormat. Perilaku politisi ini jadi bahan olok-olok di Facebook, Twitter atau di forum diskusi media online. Nasibnya berbeda dengan Briptu Norman Kamaru yang mendadak jadi selebritis, gara-gara lipsync lagu India diunggah di YouTube. Link videonya menirukan lagu Shah Rukh Khan beredar cepat dari satu account Facebook ke Facebook lain. Tautannya juga dishare di Twitter. Sebuah promosi gratis.
Alih Peran
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kuasa jejaring sosial atau sosial media selama beberapa tahun ini karena media cetak gagal mengemban misinya sebagai kekuatan kontrol? Atau masyarakat sudah pasrah, bahwa media cetak seperti Koran tak bisa diharapkan lagi? Apalagi kebanyakan media cetak sekarang milik konglomerat, politisi atau pemangku kepentingan, sehingga pemberitaannya cenderung bias.
Kita tahu, sebelum media online plus jejaring sosial booming seperti sekarang, peran kontrol sosial menjadi ‘hak paten’ media cetak. Koran jadi pemain tunggal pembentuk wacana, setelahnya baru televisi dan radio. Namun, diakui atau tidak, beberapa media cenderung menjadi corong sebuah kelompok atau kepentingan. Koran kemudian menjadi senjata ‘perang wacana’ antar kepentingan-kepentingan ini.
Lalu, apakah kondisi ini menjadi alasan yang membuat masyarakat berpaling ke jejaring sosial? Karena masyarakat merasa media tak dapat lagi diharapkan membela kepentingan-kepentingan masyarakat. Padahal, masyarakat modern menuntut lebih banyak dari yang bisa diberikan oleh media. Komisi Kebebasan Pers di Amerika, misalnya, menyatakan dari lima syarat yang dituntut masyarakat modern, salah satunya, media harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar atau kritik. (William L. Rivers, dkk, Media Massa dan Masyarakat Modern, 2003). Artinya, media dituntut membangun relasi interaktif dengan publik dalam pengertian media menyodorkan suatu masalah kepada khalayak untuk dibahas bersama, meski tak ada aturan hukum yang mewajibkan pers menjalankan fungsi ini.
Kasus pembelaan Bibit-Chandra, koin untuk Prita, dan pembongkaran Skandal Bank Century, Gayus Tambunan, kisruh PSSI hingga protes pembangunan gedung baru DPR, menjelaskan kepada kita bahwa masyarakat sudah tak berharap banyak lagi kepada media mainstream. Masyarakat bertambah yakin, bahwa melalui jejaring sosial, sebuah gerakan yang sebelumnya dibangun di dunia maya, mampu menginspirasi lahirnya gerakan di dunia nyata, tanpa berharap banyak pada media cetak.
Selain itu, tentu saja, berpalingnya masyarakat dari media cetak karena menganggap bahwa Koran akan segera menjadi produk masa lalu. Tak sedikit yang mulai bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan bisnis media cetak di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi? Pertanyaan ini menjadi menarik untuk didiskusikan dan tak pernah sepi dibicarakan.
Jauh-jauh hari, Professor Jurnalisme di University of North Carolina, Philip Meyer, dalam bukunya The Vanishing Newspaper (2004) melontarkan tesis cukup radikal, bahwa pembaca Koran terakhir akan menghilang pada September 2043 (The last daily reader will disappear in September 2043). Kita tentu saja tidak perlu menunggu 2043 untuk mengetahui bagaimana nasib media massa cetak.
Seperti disampaikan Wally Dean, Direktur Online Broadcast di Committee of Concerned Journalistics (CCJ) yang dikutip Detikcom (21/07/08), oplah koran, terus menurun seiring pesatnya perkembangan media online. Dalam 20 tahun terakhir ini, sebutnya, oplah Koran turun sebesar 1 persen setiap tahunnya. Hal ini tentu saja sebuah peringatan untuk media cetak yang ingin bertahan agar tidak ketinggalan zaman.
Ke depan, untuk mempertahankan eksistensi, Koran tak cukup semata-mata mengandalkan modal dan iklan yang melimpah. Karena lahan ini juga sudah digarap media online maupun jejaring sosial. Jika ingin bertahan, Koran harus semakin memperkuat konten yang langsung bersentuhan dengan kepentingan publik, bukan pemodal maupun kalangan mapan.
Jika sekedar sebagai medium kontrol sosial, peran ini kini sudah diambil alih jejaring sosial atau sosial media. Media perlu menyadari lagi bahwa media adalah wakil masyarakat, karena itu perlu membangun relasi interaktif secara lebih intens dengan publik. Publik tak hanya sekadar dijadikan sebagai objek percobaan suatu kebijakan. Jika tidak, maka kinilah saatnya kuasa jejaring sosial menggilas kuasa media cetak yang pernah sangat superior.
Jangan sampai media menjadi alat penindas, karena orang-orang baik tak diberi kesempatan menyuarakan kebenaran. Kita semua patut merenungkan lagi, kata-kata negarawan Inggris, Sir Edmund Burke, bahwa persyaratan utama berkuasanya kekuatan jahat adalah saat orang-orang baik hanya diam saja | Taufik Al Mubarak | Penulis Buku ‘Aceh Pungo’ dan Pekerja Media.
---tulisan ini sudah dipublikasikan di website Aceh Institute
Jika di media mainstream, sebuah isu kadang tak dibahas secara kritis dan vulgar maka di jejaring sosial bisa lebih keras. Di media mainstream sebuah kritik disampaikan dengan bahasa santun dan hati-hati, tapi tidak begitu halnya di jejaring sosial; kritiknya lebih menohok, tak ada yang ditutupi.
Dari sisi penyebaran wacana, harus diakui, media (cetak) terlambat satu langkah dibandingkan yang terjadi di jejaring sosial. Di jejaring sosial/sosial media sebuah wacana berkembang sangat cepat, bahkan mampu menghimpun jutaan dukungan. Semua orang seperti menemukan ‘teman seperjuangan’ dan begitu sulit untuk dihentikan, karena kita tidak pernah tahu siapa yang mengendalikan. “Setiap orang terkait namun tak seorang pun yang mengendalikan,” kata Thomas Friedman, penulis buku The World is Flat, seperti dikutip Fareed Zakaria dalam bukunya Masa Depan Kebebasan (2003).
Revolusi yang kini menyebar hampir merata di dunia Arab, diakui atau tidak, karena pengaruh jejaring sosial atau sosial media. Virus demokratisasi dan kebebasan yang begitu didengungkan Negara Barat menyebar begitu cepat, singgah di Sudan, Tunisia, Mesir, Suriah, Bahrain, Yaman, Libya, dan akan tiba di Arab Saudi. Virus ini menjadi sangat sulit dibendung.
Di dalam negeri, kuasa jejaring sosial ‘memaksa’ Arifinto, politisi sebuah partai politik Islam yang kedapatan menonton video porno, mundur dari dewan yang terhormat. Perilaku politisi ini jadi bahan olok-olok di Facebook, Twitter atau di forum diskusi media online. Nasibnya berbeda dengan Briptu Norman Kamaru yang mendadak jadi selebritis, gara-gara lipsync lagu India diunggah di YouTube. Link videonya menirukan lagu Shah Rukh Khan beredar cepat dari satu account Facebook ke Facebook lain. Tautannya juga dishare di Twitter. Sebuah promosi gratis.
Alih Peran
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kuasa jejaring sosial atau sosial media selama beberapa tahun ini karena media cetak gagal mengemban misinya sebagai kekuatan kontrol? Atau masyarakat sudah pasrah, bahwa media cetak seperti Koran tak bisa diharapkan lagi? Apalagi kebanyakan media cetak sekarang milik konglomerat, politisi atau pemangku kepentingan, sehingga pemberitaannya cenderung bias.
Kita tahu, sebelum media online plus jejaring sosial booming seperti sekarang, peran kontrol sosial menjadi ‘hak paten’ media cetak. Koran jadi pemain tunggal pembentuk wacana, setelahnya baru televisi dan radio. Namun, diakui atau tidak, beberapa media cenderung menjadi corong sebuah kelompok atau kepentingan. Koran kemudian menjadi senjata ‘perang wacana’ antar kepentingan-kepentingan ini.
Lalu, apakah kondisi ini menjadi alasan yang membuat masyarakat berpaling ke jejaring sosial? Karena masyarakat merasa media tak dapat lagi diharapkan membela kepentingan-kepentingan masyarakat. Padahal, masyarakat modern menuntut lebih banyak dari yang bisa diberikan oleh media. Komisi Kebebasan Pers di Amerika, misalnya, menyatakan dari lima syarat yang dituntut masyarakat modern, salah satunya, media harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar atau kritik. (William L. Rivers, dkk, Media Massa dan Masyarakat Modern, 2003). Artinya, media dituntut membangun relasi interaktif dengan publik dalam pengertian media menyodorkan suatu masalah kepada khalayak untuk dibahas bersama, meski tak ada aturan hukum yang mewajibkan pers menjalankan fungsi ini.
Kasus pembelaan Bibit-Chandra, koin untuk Prita, dan pembongkaran Skandal Bank Century, Gayus Tambunan, kisruh PSSI hingga protes pembangunan gedung baru DPR, menjelaskan kepada kita bahwa masyarakat sudah tak berharap banyak lagi kepada media mainstream. Masyarakat bertambah yakin, bahwa melalui jejaring sosial, sebuah gerakan yang sebelumnya dibangun di dunia maya, mampu menginspirasi lahirnya gerakan di dunia nyata, tanpa berharap banyak pada media cetak.
Selain itu, tentu saja, berpalingnya masyarakat dari media cetak karena menganggap bahwa Koran akan segera menjadi produk masa lalu. Tak sedikit yang mulai bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan bisnis media cetak di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi? Pertanyaan ini menjadi menarik untuk didiskusikan dan tak pernah sepi dibicarakan.
Jauh-jauh hari, Professor Jurnalisme di University of North Carolina, Philip Meyer, dalam bukunya The Vanishing Newspaper (2004) melontarkan tesis cukup radikal, bahwa pembaca Koran terakhir akan menghilang pada September 2043 (The last daily reader will disappear in September 2043). Kita tentu saja tidak perlu menunggu 2043 untuk mengetahui bagaimana nasib media massa cetak.
Seperti disampaikan Wally Dean, Direktur Online Broadcast di Committee of Concerned Journalistics (CCJ) yang dikutip Detikcom (21/07/08), oplah koran, terus menurun seiring pesatnya perkembangan media online. Dalam 20 tahun terakhir ini, sebutnya, oplah Koran turun sebesar 1 persen setiap tahunnya. Hal ini tentu saja sebuah peringatan untuk media cetak yang ingin bertahan agar tidak ketinggalan zaman.
Ke depan, untuk mempertahankan eksistensi, Koran tak cukup semata-mata mengandalkan modal dan iklan yang melimpah. Karena lahan ini juga sudah digarap media online maupun jejaring sosial. Jika ingin bertahan, Koran harus semakin memperkuat konten yang langsung bersentuhan dengan kepentingan publik, bukan pemodal maupun kalangan mapan.
Jika sekedar sebagai medium kontrol sosial, peran ini kini sudah diambil alih jejaring sosial atau sosial media. Media perlu menyadari lagi bahwa media adalah wakil masyarakat, karena itu perlu membangun relasi interaktif secara lebih intens dengan publik. Publik tak hanya sekadar dijadikan sebagai objek percobaan suatu kebijakan. Jika tidak, maka kinilah saatnya kuasa jejaring sosial menggilas kuasa media cetak yang pernah sangat superior.
Jangan sampai media menjadi alat penindas, karena orang-orang baik tak diberi kesempatan menyuarakan kebenaran. Kita semua patut merenungkan lagi, kata-kata negarawan Inggris, Sir Edmund Burke, bahwa persyaratan utama berkuasanya kekuatan jahat adalah saat orang-orang baik hanya diam saja | Taufik Al Mubarak | Penulis Buku ‘Aceh Pungo’ dan Pekerja Media.
---tulisan ini sudah dipublikasikan di website Aceh Institute