Illegal Logging Aceh (foto Harian Aceh) |
Saat melewati kawasan hutan dan pegunungan Seulawah, kita sering menemui dan kemudian membaca pesan, “Lestarikan hutan untuk anak cucu kita.” Sekilas pesan itu begitu tulus dan sarat makna. Namun, kita segera tersadar bahwa pesan itu hanya slogan kosong, tak bermakna.
Pesan-pesan itu, kita temui silih berganti dengan keberadaan ratusan kera yang mengais rezeki di pinggir jalan sisa pembuangan manusia, atau menunggu pemberian pengendara yang lewat. Kera-kera itu terlihat begitu menikmati hidupnya, meski sebenarnya habitat mereka sudah terganggu.
Tak jauh dari lokasi pemasangan famplet ajakan menjaga hutan tersebut atau dari tempat mangkalnya pasukan kera, kita menyaksikan upaya penggundulan hutan yang sangat dahsyat, seperti untuk membuka lahan pertanian, pembangunan pemukiman baru dan bermacam keperluan lain.
Jika kondisi ini demikian parahnya, apakah yang akan kita wariskan untuk anak cucu nanti? Apakah sebuah komplek pertokoan, rumah atau malah gedung pemerintahan di lahan yang dulu masih rimba raya? Sebenarnya jika dipikir-pikir lagi, jangankan mewariskan sesuatu yang berguna untuk anak cucu, bumi tempat kita pijak ini justru menjadi tak aman lagi untuk kita tempati.
Penggundulan hutan atau praktik illegal logging yang massif, merupakan investasi yang justru mempercepat kehancuran hutan dan juga manusia di sekitarnya. Secara tidak langsung investasi jahat tersebut sama saja dengan mengundang bencana. Kita tak perlu heran jika bencana datang silih berganti, mulai dari longsor hingga banjir bandang seperti yang terjadi di Tangse, Aceh Tamiang, Gayo Lues. Banjir bandang tersebut menghancurkan pemukiman penduduk, merusak habitat hewan dan membunuh manusia.
Jika sekarang kita cukup terhibur dengan ulah kera-kera yang meloncat-loncat di pinggir jalan, apakah pemandangan itu masih bisa kita nikmati nantinya? Kita bisa saja menjawab tidak akan pernah lagi. Sebab, setelah habitat mereka lenyap, mereka juga akan menghilang dengan sendirinya.
Manusia dan Alam
Saya cukup terkesan dengan sepenggal kalimat seperti saya kutip di awal tulisan dari penutup buku The World Without Us yang diterjemahkan dan diterbitkan Gramedia dalam bahasa Indonesia berjudul ‘Dunia Tanpa Manusia’. Buku karya Alan Weisman, mantan editor di Los Angeles Times ini menjadi buku nonfiksi terbaik pilihan majalah Time.
Secara singkat, buku ini berisi penjelasan yang mencengankan tentang apa yang terjadi pada bumi bila manusia tak ada lagi. Buku ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan besar, benarkah bumi akan baik-baik saja, atau dia memendam beban yang sangat besar, warisan dari peninggalan manusia.
Menjawab pertanyaan tersebut, Wiesman membeberkan sejumlah fakta dengan narasi yang memikat dan menunjukkan bagaimana berbagai infrastruktur raksasa yang dibangun manusia akan runtuh, dan akhirnya menghilang tanpa kehadiran manusia; bagaimana pipa dan kabel tembaga akan hancur menjadi tumpukan batu-batuan kemerah-merahan; kenapa beberapa bangunan yang dibuat pada awal peradaban manusia kemungkinan besar akan menjadi bangunan terakhir yang tersisa; dan bagaimana plastik, patung perunggu, gelombang radio, dan beberapa molekul yang diciptakan manusia akan menjadi hadiah terakhir bagi alam ini. Wiesman mencatat, ada sejumlah spesies yang merasa kehilangan saat manusia meninggalkan bumi ini.
Menggunakan kemampuan penulisan naratif yang memikat, Wiesman menceritakan bagaimana kutu yang menumpang hidup pada bulu dan rambut yang ada pada manusia, harus kehilangan habitat. Tak ada tempat mereka mencari makan dan menginap. Nyamuk juga akan merasa kehilangan sumber rezeki begitu manusia tak ada lagi. Kepunahan manusia, seperti mimpi buruk bagi mereka.
Secara tak sadar, kita akan menganggap perang sebagai solusi terbaik menjaga kelestarian alam. Sebab, selama perang terjadi, meski manusia berada di ambang kehancuran, ada hal lain yang justru terselamatkan akibat perang. Saat perang, praktik illegal logging praktis berkurang. Tak ada pembukaan lahan baru yang merusak kelestarian alam. Tak ada upaya pemusnahan binatang yang dilindungi.
Mari kita melupakan sejenak perdebatan soal pluralism yang tak begitu penting, karut marut politik, maupun rutinitas kerja yang menyita penuh perhatian kita. Mari kita merenungi diri kita sendiri dan bumi tempat kita berpijak, meski suasana peringatan Hari Bumi sudah berlalu. Barangkali, sebagai manusia kita sudah cukup jahat pada bumi yang sudah memberi kehidupan kepada kita. Sebagai manusia kita juga merasa kita lah yang cukup berkuasa di bumi. Kita tak pernah menyadari bahwa sebenarnya kita memiliki utang budi yang banyak sekali kepada species-species lain. Namun, rasa egolah yang membuat manusia melupakan semuanya: berbuat seenaknya, tanpa memikirkan risiko, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungannya.
Mata rantai kehidupan, sepertinya memberi cukup energi dasar yang kuat bahwa menusia lah makhluk teristimewa dan memperoleh predikat mulia. Dalil-dalil agama juga menguatkan hal itu, sehingga manusia cukup congkak ketika berhadapan dengan makhluk-makhluk lain. Kondisi ini diringkas cukup bagus oleh guru Sufi Turki Abdulhamit Cakmut, “Dunia dihadirkan untuk melayani manusia, sebab manusia adalah yang paling dihormati dari segala makhluk.”
Lalu, pertanyaannya apakah karena manusia begitu istimewa bisa melakukan apa saja? Apakah begitu menghilang dari bumi, menusia merasa cuku puas karena menyisakan kehancuran? Apakah hal itu tujuan manusia? Pertanyaan-pernyataan gugatan masih bisa kita perpanjang.
Bumi Manusia
Kita boleh punya sejumlah jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun, saya hal yang perlu disadari manusia, bahwa ini bumi kita, bumi manusia! Bumi memberikan gas alam, minyak, batu bara, kayu, batu dan semua kebutuhan manusia.
Artinya, bumi menyediakan semua keperluan manusia untuk bertahan hidup. Laut tak pernah absen menyediakan berbagai macam jenis ikan untuk disantap manusia. Gunung dan hutan menyediakan bermacam jenis pohon dan tumbuhan, untuk keperluan manusia membangun peradaban. Di perut bumi mengandung bermacam sumber daya alam, fosil, dan material. Semua diperoleh manusia secara gratis. Bumi tak menuntut bayaran apapun pun. Tapi apa yang sudah diberikan manusia untuk bumi? Kehancuran!
Hutan yang dulu lebat dan rimbun, perlahan-lahan menjadi botak, gundul, dan sebagian sisinya terkuras karena tak henti-hentinya manusia menambang tanah. Pemukiman baru dibuka, termasuk untuk lahan pertanian, sawit dan sebagainya. Pohon-pohon ditebang, sebagian menggunakan cara primitif, dengan cara membakar hutan! Pemandangan itu dapat disaksikan gratis dari udara. Kita akan melihat luka di setiap pegunungan yang kebetulan kita lewati via udara (dengan pesawat).
Laut yang selalu setia menyediakan kebutuhan ikan, juga tak luput dari upaya penjarahan. Manusia tak pernah kehilangan akal untuk meraih sesuatu secara instan. Mereka membuat pukat harimau untuk mengeruk isi laut. Jangankan ikan besar, benih pun tersapu. Sebagian lagi mencuri terumbu karang yang jadi hiasan laut dan tempat ikan berkembang biak.
Manusia seakan tak sadar, bahwa ini adalah bumi manusia; tempat manusia beranak-pinak dan membangun peradaban. Manusia wajib menjaganya, seperti mereka menjaga diri sendiri. Manusia tak boleh lupa, bahwa tanpa bumi ini, manusia tak berarti apa-apa. “Tanpa bumi, kita bahkan tak mungkin ada!” simpul Alan Wiesman.
Note: tulisan ini sebagai renungan pada peringatan Hari Bumi (Earth Day) yang diperingati setiap tanggal 22 April.
Tags:
Artikel