Dia pengajar yang bersemangat dan ceria. Sering tawanya lepas setelah mengucapkan sesuatu, yang lucu. “Bahasa Indonesia saya hampir habis,” kata perempuan bule, diikuti tawa renyah setelah berbicara panjang lebar soal materi yang diampunya. Dia mengaku kesulitan karena sudah cukup lama tidak berbahasa Indonesia.
Perempuan dengaan tinggi semampai itu, satu-satunya perempuan di kelas menulis Jurnalisme Sastrawi yang digelar Yayasan Pantau. Bedanya, dia sebagai tentor mengajari narrative journalism, bukan sebagai peserta.
Dia duduk menghadap para peserta di depannya, dengan susunan kursi membentuk letter U. Menurutnya, baru kali ini pelatihan yang diberikannya tanpa peserta dari perempuan. “Ini pertama kali pesertanya laki-laki semua,” kata perempuan rambut pirang ini kemudian. Tak sampai sepuluh menit setelah mengucapkan itu, masuk dua perempuan. Yang satu langsung duduk tepat di kursi sebelah kanannya, kursi nomor dua dari di ujung. Satunya lagi memilih duduk di kursi belakang. Di ruangan yang dindingnya mirip es krem itu kini sudah ada 15 peserta, tiga di antaranya perempuan, termasuk sang pengajar.
Sang pengajar itu, Janet Steele. Dia seorang professor di The George Washington University dengan spesialisasi sejarah media, mengajar mata kuliah narrative journalism. Dia juga menulis tentang jurnalisme di Timor Leste dan Malaysia.
Hari itu, Senin (4/7), penulis beberapa buku berbahasa Inggris ini memakai blus warna hitam dengan lengan panjang, dipadu rok di bawah lutut warna abu-abu. Dia terlihat sangat nyaman menggunakan sandal, kontras dengan para peserta yang semuanya pakai sepatu. Dia duduk santai dengan kaki lebih sering disilangkan. Gaya ini sama sekali tak mengganggu dia bergerak bebas; berdiri dan duduk lagi. Dia tampil energik. Pandangannya sangat tajam, saat memandang peserta pelatihan yang menyimak setiap kata-demi-kata yang terucap dari mulutnya. Kacamata dengan gagang cokelat sama sekali tak menghalanginya untuk menembusi pikiran peserta didiknya. Di telinganya tergantung dua anting, di telinga kiri dan kanan.
Dia dosen yang cukup serius. Sebelum sesi pelatihan dimulai, dia minta daftar nama peserta. Dia tanya satu persatu, termasuk mencocokkan dengan ejaan di daftar. “Saya akan lebih bisa mengingat kalau sudah saya beri tanda khusus,” ujarnya saat di luar ruang pelatihan. Pada list peserta yang dipegangnya, banyak terdapat coretan-coretan.
Ketika mulai mengajar, dia melepas jam tangan mungil dari tangan kirinya. Jam itu diletakkan di atas meja di depannya. Sementara di tangan kanan dia, ada lima gelang warna perak, ada satu gelang dengan ukuran lebih besar, dan satu lagi gelang lilitan. Gelang-gelang ini sama sekali tak mengganggu gerakan tangan kanannya. Jangan mencari cincin di jari Janet, karena dia tak memakainya.
Di atas meja di depannya, banyak tumpukan materi/bahan pelatihan berupa kopian tulisan yang dijadikan contoh saat mengajar. Meski kopian itu berserakan, dia tahu mana yang akan diulasnya pertama. Dia cukup disiplin soal struktur materi yang disampaikan berikut bahan yang akan dijadikan sebagai contoh. Dia cukup lihai menjelaskan narrative reporting dan contoh tulisan yang bagus untuk mendukung penjelasannya. “Saya tak begitu senang dengan istilah jurnalisme sastrawi, seolah-olah ada perkawinan antara sastra dan jurnalisme,” gugatnya, sambil meneguk sisa air mineral merek Club botol mini.
Namun, meski sangat menguasai materi yang diasuhnya, kadang-kadang saat berbicara sering terhenti tiba-tiba. Bukan karena dia kekurangan bahan, melainkan sulit menemukan kata-kata dalam bahasa Indonesia untuk menjelaskan maksudnya. Akhirnya, dia cukup nyaman menjelaskan dengan gerakan tangan yang lincah. “Bahasa Indonesia saya sudah habis,” kalimat ini keluar dari mulutnya begitu dia sulit mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia. Setidaknya, sudah empat kali kalimat itu meluncur dari mulutnya, dan kembali diulang ketika menutup pertemuan pelatihan pada Senin (4/7) sore tersebut. (Pantau, 05 Juli 2011)
Note: Tulisan ini sebagai tugas pertama kursus 'Jurnalisme Sastrawi' yang menekankan pada detail/deskripsi dan adegan-adegan.
Hari itu, Senin (4/7), penulis beberapa buku berbahasa Inggris ini memakai blus warna hitam dengan lengan panjang, dipadu rok di bawah lutut warna abu-abu. Dia terlihat sangat nyaman menggunakan sandal, kontras dengan para peserta yang semuanya pakai sepatu. Dia duduk santai dengan kaki lebih sering disilangkan. Gaya ini sama sekali tak mengganggu dia bergerak bebas; berdiri dan duduk lagi. Dia tampil energik. Pandangannya sangat tajam, saat memandang peserta pelatihan yang menyimak setiap kata-demi-kata yang terucap dari mulutnya. Kacamata dengan gagang cokelat sama sekali tak menghalanginya untuk menembusi pikiran peserta didiknya. Di telinganya tergantung dua anting, di telinga kiri dan kanan.
Dia dosen yang cukup serius. Sebelum sesi pelatihan dimulai, dia minta daftar nama peserta. Dia tanya satu persatu, termasuk mencocokkan dengan ejaan di daftar. “Saya akan lebih bisa mengingat kalau sudah saya beri tanda khusus,” ujarnya saat di luar ruang pelatihan. Pada list peserta yang dipegangnya, banyak terdapat coretan-coretan.
Ketika mulai mengajar, dia melepas jam tangan mungil dari tangan kirinya. Jam itu diletakkan di atas meja di depannya. Sementara di tangan kanan dia, ada lima gelang warna perak, ada satu gelang dengan ukuran lebih besar, dan satu lagi gelang lilitan. Gelang-gelang ini sama sekali tak mengganggu gerakan tangan kanannya. Jangan mencari cincin di jari Janet, karena dia tak memakainya.
Di atas meja di depannya, banyak tumpukan materi/bahan pelatihan berupa kopian tulisan yang dijadikan contoh saat mengajar. Meski kopian itu berserakan, dia tahu mana yang akan diulasnya pertama. Dia cukup disiplin soal struktur materi yang disampaikan berikut bahan yang akan dijadikan sebagai contoh. Dia cukup lihai menjelaskan narrative reporting dan contoh tulisan yang bagus untuk mendukung penjelasannya. “Saya tak begitu senang dengan istilah jurnalisme sastrawi, seolah-olah ada perkawinan antara sastra dan jurnalisme,” gugatnya, sambil meneguk sisa air mineral merek Club botol mini.
Namun, meski sangat menguasai materi yang diasuhnya, kadang-kadang saat berbicara sering terhenti tiba-tiba. Bukan karena dia kekurangan bahan, melainkan sulit menemukan kata-kata dalam bahasa Indonesia untuk menjelaskan maksudnya. Akhirnya, dia cukup nyaman menjelaskan dengan gerakan tangan yang lincah. “Bahasa Indonesia saya sudah habis,” kalimat ini keluar dari mulutnya begitu dia sulit mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia. Setidaknya, sudah empat kali kalimat itu meluncur dari mulutnya, dan kembali diulang ketika menutup pertemuan pelatihan pada Senin (4/7) sore tersebut. (Pantau, 05 Juli 2011)
Note: Tulisan ini sebagai tugas pertama kursus 'Jurnalisme Sastrawi' yang menekankan pada detail/deskripsi dan adegan-adegan.
Tags:
Tugas