Buka Puasa dengan Rokok

Saya bukan perokok berat. Sehari hanya mampu menghabiskan satu bungkus Sampoerna A Mild. Tapi, rokok sering membantu saya terutama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan menulis (dan kadang-kadang saat presentasi). Karena, tanpa menghisap sebatang rokok, pikiran saya jadi buntu dan sering tak tahu harus menulis apa. Sering bengong. Nah, biasanya setelah menghisap rokok, saya baru dapat mengetik kata-demi-kata di laptop dengan lancar.

Saya ingin bercerita sebuah peristiwa unik dan sudah sering terjadi saat bulan Ramadhan. Kejadian tersebut terjadi saat saya mudik ke kampung halaman.

Oya, saya bukan perantau benaran dalam pengertian berada di negeri orang yang jaraknya puluhan mil dari kampung saya. Saya sering menyebut diri saya sebagai perantau lokal. Saya asli Trueng Campli, salah satu kemukiman di Kecamatan Glumpang Baro, Pidie. Sementara saya bekerja dan berdomisili di Banda Aceh (Ibukota Provinsi Aceh). Jarak antara Banda Aceh dan Kampung saya kira-kira hanya 2,5 jam perjalanan dengan sepeda motor.

Dan setiap lebaran, saya sering pulang kampung saat memasuki 27 atau 28 Ramadhan, sehingga masih sempat menikmati berpuasa dan tarawih di kampung. Kalau pulang, saya sering menggunakan sepeda motor. Namun, sering pula menumpang mobil L300 (sebutan untuk mobil penumpang yang cukup digandrungi agar cepat sampai ke tujuan).

Bersepeda motor atau menumpang L300 ketika pulang hanya soal pilihan saja. Soalnya, saat dekat waktu lebaran sangat sulit menemukan mobil jika jauh-jauh hari belum memesan. Jika menunggu di pinggir jalan, bisa menghabiskan waktu seharian, itu pun belum tentu akan menemukan mobil, apalagi jika tujuan perjalanan hanya sampai Sigli (Pidie).

Kalau pun ada, sering harganya gila-gilaan. Dinaikkan lebih dari 200 persen. Soalnya, mendekati lebaran, makin banyak orang yang ingin mudik ke kampung.

Menghadapi kondisi ini, saya sendiri lebih memilih pulang dengan sepeda motor. Di samping bisa santai juga pilihan yang cukup murah. Saya sering pulang selepas Subuh, karena udaranya sejuk dan tak perlu berpanas-panas di terik mentari.

Tapi, sering juga saya pulang selepas Dhuhur atau Ashar. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi di perjalanan. Panasnya minta ampun. Hal ini sering tak terasa karena begitu ramai orang yang pulang dengan mengendarai sepeda motor. Kalau pun panas, kita bisa beristirahat di gubuk atau warung yang berada di sepanjang jalan Seulawah (Gunung kembar yang membelah Banda Aceh dan Aceh Besar dengan Kabupaten Pidie). Biasanya, selama Ramadhan warung itu tutup, kecuali malam hari.

Pernah, saat Ramadhan tahun 2009 silam, saya memilih pulang selepas shalat Ashar. Saya sudah janjian berangkat bersama-sama dengan seorang teman satu kampung. Masing-masing pulang dengan sepeda motor sendiri. Pulang dengan sepeda motor membuat kami lebih santai dalam perjalanan, tidak ngebut. Soalnya, cepat atau lambat, kami tetap harus berbuka puasa di jalan.

Sebelum pulang, saya sudah memeriksa sepeda motor, mengganti oli, mengeratkan rantai, dan segala tetek bengeknya. Saya tak ingat, oli merek apa yang saya ganti, apakah dengan TOP1atau oli merek lain. Saya benar-benar tak ingat.

Di jalan kadang-kadang kami berjalan beriringan. Ini kami lakukan jika jalanan sepi. Kalau sudah lelah, kami beristirahat. Artinya, kami tak terobsesi tiba di rumah lebih cepat.

Ketika jarum jam menunjukkan pada pukul 18.30 WIB, kami masih terus memacu sepeda motor. Untungnya kami sudah melewati kawasan berkelok pegunungan Seulawah.

Saya sadar bahwa waktu berbuka puasa semakin dekat. Sepanjang jalan, mata tak pernah lepas memandang setiap warung di pinggir jalan yang saya lalui. Pertama, saya ingin mencari warung yang pas untuk berbuka. Namun, saya tak tergerak sedikit pun untuk berhenti. Hanya asyik menoleh kiri-kanan.

Ketika waktu berbuka hanya tinggal beberapa menit lagi, saya makin gelisah, belum ketemu warung yang tepat. Di jalan sulit mengetahui apakah waktu berbuka sudah tiba atau belum. Saya terus memperhatikan beberapa orang yang nongkrong di warung. Saya perhatikan apakah mereka mulai berbuka atau tidak.

Beberapa orang di warung yang saya lewati, melihat ke arah kami dengan tatapan heran. Mungkin dalam hati mereka, kenapa kami tak berhenti, karena waktu berbuka sudah mau tiba.
Kami tak peduli, dan terus memandangi suasana di setiap warung yang kami lewati.

Saya sendiri tak bisa menandai kapan persisnya waktu berbuka tiba (Begitu masuk kawasan Pidie waktu berbuka sudah berbeda beberapa menit dengan di Banda Aceh). Kalau di kota, kita bisa mendengar radio, TV atau pengumuman di meunasah (surau) atau Masjid. Kalau di jalan, sama sekali tak ada tanda-tanda. Salah satu solusi, ya memperhatikan orang-orang yang duduk di warung.

Ketika memasuki kawasan Laweung, Muara Tiga, saya perhatikan, orang-orang di warung sudah tak peduli dengan orang yang lewat di jalan. Mereka seperti asyik sendiri. Wajah mereka ditundukkan. Saya juga melihat beberapa orang sudah menarik rokok.

“Ini pasti waktu berbuka sudah tiba.” Gumam saya dalam hati.

Selama di perjalanan saya tak membeli apa-apa, apalagi air mineral. Sementara sekarang waktu berbuka sudah tiba. Mau mampir di warung, sudah kepalang tanggung. Belum lagi ramai orang. Saya langsung teringat, bahwa ketika mengemasi barang, saya menyelipkan bungkusan rokok, sisa sahur ke dalam tas.

“Untung masih bisa berbuka, meski dengan sebatang rokok.” Saya pun terpaksa berbuka puasa dengan rokok. Sialnya, tanpa air. Coba dibayangkan bagaimana rasanya. Kerongkongan kita kering, ditambah rokok lagi.

Baru ketika tiba di Kota Sigli, saya mencari warung nasi. Selama ramadhan, tak sulit mencari tempat berbuka puasa di sini. Saya pun melepaskan rasa lapar dan haus seharian dengan melahap makanan sepuasnya. Soalnya, masih perlu 30 menit lagi bagi kami memacu kendaraan untuk tiba di kampung halaman.[]

---Tulisan ini sudah diposting di Kompasiana

Post a Comment

Previous Post Next Post