Lama juga
tak ada posting terbaru di blog tercinta ini. Sejak postingan terakhir ‘Jelang
Batas Akhir Pendaftaran’ praktis saya tak mampu menulis lagi. Akibatnya, blog
ini terbengkalai (seperti sudah sering terjadi). Risikonya, pagerank yang
semula ‘3’ melorot menjadi ‘2’ [0/10 makin besar angkanya makin bagus], selain
itu rangking Alexa juga membengkak menjadi 3 juta sekian. Duh, kasihan sekali.
Anak saya
itu cukup menggemaskan. Ini pula yang membuat saya tak bosan-bosan memegang dan
mencium pipinya. Apalagi dia putih, seperti ibunya. Di kampung, orang-orang
suka memanggil adik ‘bule’ saking putih dan rambutnya juga pirang (juga ikut
rambut mamanya). Duh, pokoknya gara-gara dia, saya jadi lupa sama blog
‘bunglon’ ini.
Apalagi ya?
Kok bisa seribet ini ya menulis. Duh, makin bingung saja saya ini. “Rupajih
munyoe trep hana tateumuleh meunoe keuh calitra jih, mumang teuh.” Saya sambil
pegang-pegang kepala. Mata melotot pada layar monitor.
Oya, saya
mau bagi informasi lama sedikit. Ini masih terkait politik. Kan, sekarang orang
lebih senang politik. Dikit-dikit kebawa ke politik. Ketika membuka-buka arsip
Majalah TEMPO lama, saya menemukan petikan wawancara Nezar Patria (Tempo)
dengan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud. Wawancara ini terjadi kira-kira dua
minggu sebelum penandatanganan MoU Helsinki. [Baca Majalah TEMPO Edisi
31 Jul i 2005, Rubrik Nasional, Halaman 30]
Perundingan
Helsinki yang difasilitasi CMI sudah memasuki putaran akhir. Beberapa hasilnya
pun sudah beredar luas, seperti Partai Lokal. Kepada TEMPO, Malik mengatakan
bahwa partai-partai politik yang ada tak membela kepentingan Aceh.
“Dengan
pengalaman itu, dalam upaya penyelesaian masalah Aceh, GAM menuntut agar rakyat
Aceh punya partai politiknya sendiri, yang sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh,”
jelasnya.
Nezar Patria
yang juga putra Aceh mencoba mengorek informasi lebih jauh dari Malik, apakah
GAM akan bertransformasi menjadi partai politik lokal?
Lalu, PM GAM
ini yang juga warga Negara Singapore menjawab, “Mendirikan partai politik
adalah hak bagi semua orang Aceh, termasuk bagi GAM sendiri. Kami mau proses
demokrasi sungguh-sungguh berlaku di Aceh.”
“Kalau GAM
kalah dalam pemilu, apakah akan kembali ke gerakan bersenjata?” pancing Nezar.
“Kalau kalah
pun, kami tidak akan kembali ke gerakan bersenjata. Dan memang bukan itu tujuan
kami. Partai lokal yang berbasiskan kepentingan Aceh nanti akan banyak muncul.
Semua orang Aceh akan ikut dalam pemilu lokal nanti. Karena itu, bagi kami tak
ada persoalan siapa menang dan siapa kalah,” jawab Malik.
Pertanyaan
kemudian, apa yang penting di sini dan perlu diketahui secara luas? Pertanyaan
bodoh saya ini seharusnya saya ajukan ketika musim Pemilu 2009 ketika Partai
Aceh yang didirikan oleh GAM sesumbar bahwa hanya partai mereka yang sesuai
dengan MoU Helsinki.
Akibatnya,
semua partai lokal dianggap sebagai lawan dan tak sesuai dengan amanah MoU.
Mereka pula kemudian menjadikan beberapa partai lokal seperti Partai SIRA
sebagai partai pengkhianat. Terus terang logika begini yang membuat saya tak
habis pikir. Bagaimana mungkin orang-orang GAM menganggap SIRA pengkhianat
padahal mereka pernah sama-sama memikirkan sesuatu yang terbaik untuk Aceh?
Padahal,
seperti kata Malik Mahmud, mendirikan partai politik adalah hak bagi semua
rakyat Aceh, dan partai lokal yang berbasiskan kepentingan Aceh akan banyak
muncul. Tentu saja partai-partai ini lahir karena amanah MoU Helsinki.
Hom hai,
aleh nyo meunan!
Tags:
Artikel