Redaksi: tulisan ini (edisi asli) sudah dimuat di Harian KOMPAS, Selasa 17 Januari 2012 dengan judul Aceh Bukan "Lahan Kosong"--
Nyawa manusia kembali meregang di Aceh. Aceh bukan lagi
tempat yang aman dan damai. Kitab konflik yang ditutup pasca MoU Helsinki, 15
Agustus 2005 silam hendak dibuka lagi. Aceh pun digiring dan dikesankan sebagai
lahan kosong yang ditinggal pemiliknya.
Dari empat kejadian ini, mayoritas korbannya warga dari
etnis Jawa. Kita tak bisa menduga apa alasan pelaku memilih korban dari etnis
tertentu? Namun, satu hal membuat kita yakin, bahwa aksi ini tidak berdiri
sendiri.
Dia tak semata-mata terkait suhu politik Aceh (Pilkada) yang
sedang memanas, melainkan juga bisa karena motif ekonomi. Namun, apapun
motifnya, membuat kita sadar, bahwa kitab konflik sedang ditulis ulang.
Pihak berwenang juga sulit mengungkap motif pelaku.
Kejadiannya sering tak terduga, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain.
Hingga kasus terakhir, belum satu pun pelaku berhasil ditangkap. Sangat
misterius. Kondisi Aceh yang sedang memanas terkait kisruh Pilkada juga
menyulitkan pihak keamanan menganalisa siapa pelakunya.
Kejadian-kejadian tersebut membuat kita sadar bahwa Aceh
sudah menjauh dari semangat perdamaian MoU Helsinki, enam tahun silam. Aceh
hendak digiring menjadi lampoh soh
(lahan kosong), seakan-akan tak ada pemiliknya. Sehingga siapa pun merasa bebas
menciptakan kekacauan.
Aceh dan Lampoh Soh
Aceh pernah menjadi lampoh
soh (lahan kosong) saat Daerah Operasi Militer (DOM) dicabut pada Agustus
1998 silam. Sepeninggalan TNI, Aceh menjadi lahan kosong yang diperebutkan
siapa saja, terutama untuk membuat kekacauan.
Istilah lampoh soh
sendiri diperkenalkan Sosiolog Aceh, Dr Ahmad Humam Hamid (Tabloid Kontras, 1998).
Menurut dia, Aceh yang baru lepas dari cengkeraman militer, potensial menjadi lampoh soh untuk digarap oleh siapa
saja, termasuk oleh provokator dan orang tak dikenal (OTK). Tesis Humam terbukti,
karena kondisi Aceh semakin tak menentu, digarap sesuai keinginan penggarapnya:
kekacauan di mana-mana, maraknya penembakan misterius, dan pemaksaan masyarakat
untuk melawan TNI.
Kini, pasca MoU Helsinki, setelah beberapa tahun usia
perdamaian, Aceh kembali menjadi lampoh
soh. Dia bukan ditinggalkan pemilik, melainkan pemiliknya seperti kehabisan
ide untuk menggarap. Karena dianggap potensial, masuklah anasir-anasir lain
untuk menggarap lahan Aceh ini.
Sepanjang 2010, kelompok teroris yang sebelumnya memilih
beraksi di kota-kota di Pulau Jawa, mulai membangun basis dan jaringan di Aceh.
Keamanan Aceh yang kondusif membuat gerakan teroris ini leluasa merekrut dan
melatih kader. Mereka juga membangun kamp pelatihan di Jalin, Jantho, Aceh
Besar. Beberapa pentolan teroris bahkan sempat mengunjungi Aceh dan memberi
pelatihan terhadap anggota yang baru direkrut.
Aceh sengaja dipilih karena relatif aman dan jauh dari
ibukota. Perburuan terhadap anggota teroris yang sangat gencar dilakukan di
pulau Jawa, membuat posisi mereka terdesak. Mereka tak memiliki tempat yang
aman untuk mengembangkan sel teroris ini. Karena itu, mereka menjadikan Aceh
tujuan penyelamatan gerakan.
Namun, gerak gerik mereka di Aceh juga terendus. Mereka
diburu dan diuber, mulai dari Jalin, Jantho, Lamkabue Seulimuem, hingga
penyergapan di Polsek Leupung, Aceh. Aceh pun menjadi tempat yang tak aman
untuk mereka mengembangkan diri.
Jangan Nodai Damai
Setelah teroris gagal menggarap lahan Aceh, kini muncul
kelompok lain yang tidak kita tahu dari mana. Dari aksi yang dilakukan, jelas
gerakan ini disusun dengan sangat rapi. Mereka bergerak dari satu tempat ke
tempat lain, dan sering beraksi usai magrib, seperti kasus penembakan di
Bireuen, Banda Aceh, dan Aneuk Galong Aceh Besar. Target mereka juga jelas:
etnis Jawa.
Siapa atau kelompok apa pelakunya? Ini menjadi pertanyaan
besar di benak pemangku kepentingan di Aceh. Tak ada yang mampu memberikan
jawaban yang tepat, kecuali hanya mereka-reka, bahwa aksi ini terkait Pilkada
atau karena motif ekonomi. Tapi, kenapa pekerja kecil yang disasar? Ini
pertanyaan lain yang sama sulitnya dijawab.
Di masa konflik, jika ada peristiwa penembakan, kita bisa
menduga pelakunya tak jauh dari TNI, Polri atau GAM. Tapi, sekarang Aceh sudah
damai. TNI/Polri dan GAM tak lagi terlibat perang. Menuduh anggota GAM sebagai
pelaku juga salah alamat. Senjata GAM sudah lama dimusnahkan. GAM tentu memperhitungkan
risiko, apalagi dengan menyasar etnis tertentu. Ini bisa menjadi blunder:
menciptakan konflik antar-etnis.
Kini pilihan kita hanya bisa menyerukan, siapapun pelaku
penembakan hendaknya sadar bahwa Aceh bukan tempat untuk membuat kekacauan.
Rakyat Aceh sudah lama lelah hidup dalam konflik, jangan giring lagi ke arena
konflik. Apapun dalihnya.
Nyawa manusia yang berdiam di Aceh sama berharganya dengan
manusia di tempat lain. Siapa pun tak boleh mengorbankannya apalagi
menjadikannya sebagai tumbal untuk memuluskan kepentingan sesaat, entah apa
kepentingan itu. Etnis apa pun berhak hidup dan mencari rezeki serta menikmati
suasana damai Aceh.
Kita sudah bersepakat bahwa Aceh ini bagian dari NKRI. Tak
boleh siapa pun menganggap etnis lain yang berada di Aceh sebagai musuh. Tak
bolah orang menggarap Aceh dengan cara mencoba mengadu-domba antar etnis.
Sebab, kita sudah bersepakat damai: tak ada lagi darah yang tumpah. Jangan
tulis riwayat konflik, sebab buku konflik sudah lama kita tutup.
Di atas segalanya, kita harus kembali mengingatkan para
pengacau, bahwa Aceh bukan lahan kosong yang tak ada pemiliknya. Siapa pun tak
punya hak menggarap Aceh, membuat kekacauan dan memicu konflik antar-etnis. []
Taufik Al Mubarak
adalah Penulis Buku Aceh Pungo, dan pekerja media.
--saya posting versi asli agar pembaca blog ini bisa membandingkan dengan hasil yang sudah dimuat di koran.
Tags:
Artikel