Ramadhan datang lagi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penentuan jadwal kapan mulai berpuasa masih terus mengundang debat, terutama antara NU dan Muhammadiyah. Termasuk tahun ini, antara 20 atau 21 Juli. Debat serupa akan berlanjut apakah 8 rakaat atau 20 rakaat. Ini debat yang tak pernah menghasilkan kesimpulan; mana yang benar mana yang salah. Bagi kita, penting disepakati bahwa ibadah puasa mesti dimulai pada 1 Ramadhan dan selama ramadhan kita perlu memperbanyak amal.
Seperti biasa, menyambut ramadhan, masyarakat Aceh mempersiapkan diri sebaik-baik mungkin. Mulai dari tradisi meugang hingga persiapan menu apa saja untuk berbuka. Di tengah persiapan-persiapan tersebut, muncul pertanyaan klasik yang tak kalah penting: apakah ramadhan ini masih akan sering mati listrik?
Pertanyaan ‘klasik’ ini sangat wajar dan selalu relevan diajukan ketika masuk bulan ramadhan. Soal ini masih terkait persiapan PLN melayani kebutuhan pasokan listrik selama ramadhan yang selalu meningkat. Sebab, hingga kini persoalan listrik masih belum sepenuhnya beres dan bebas masalah. PLN sebagai badan yang bertanggung jawab menjamin pasokan listrik di Aceh, masih sering membuat ulah: pemadaman. Hal yang kemudian jadi sumber kemarahan warga dan caci maki di sosial media.
Aceh yang lebih makmur dan sejahtera setelah konflik dan tsunami, sepatutnya tak lagi bermasalah dengan persoalan listrik. Dengan dana dan anggaran daerah yang cukup besar, kita yakin Pemerintah Aceh bisa menemukan solusi terhadap pemenuhan kebutuhan energi listrik. Singkatnya, ke depan kita tak lagi berurusan dengan pelayanan listrik yang payah dan tak becus.
Persiapan Listrik Ramadhan
Karenanya, untuk kebutuhan energi listrik selama ramadhan, PLN perlu melakukan persiapan secara lebih matang, termasuk menyediakan pasokan cadangan listrik. Jika perlu, PLN menyediakan kompensasi berupa pemberian genset untuk setiap pelanggannya, sehingga padamnya listrik tak menjadi problem besar. Jika tidak PLN akan menjadi bahan olok-olokan, tak hanya disebut perusahaan lilin negara, melainkan lebih parah dianggap ‘tak menghormati orang beribadah’ atau ‘tak beragama’.
Di bulan-bulan lain, kemarahan warga boleh jadi tak seserius selama ramadhan. Selama ramadhan, warga menjadi sangat sensitif serta terganggu dengan pemadaman listrik karena memang ingin beribadah dengan tenang: ingin lebih dekat dengan Tuhan.
PLN masih bisa menghindari caci maki dan umpatan tak sopan dari warga asal mampu bersikap ramah: tak memadamkan listrik dan menyumbang genset! Layani warga yang setia membayar iuran setiap bulan (denda yang dikenakan) dengan pelayanan optimal. Selama ini, PLN sering meminta warga disiplin dan patuh membayar iuran/rekening listrik bahkan dengan ancaman pemutusan arus, namun hal itu tak diimbangi dengan pelayanan yang setimpal. Wajar ketika masyarakat menumpahkan segala kesal.
Listrik di Negara Lain
Tahun 2010, saya berkempatan mengunjungi Denmark, salah satu negara yang masuk dalam rumpun Skandinavia serta beberapa negara Eropa. Kesan yang saya dapatkan, negara-negara Skandinavia cukup makmur dan masyarakatnya sejahtera. Beberapa negara Skandinavia seperti Norway, Swedia dan Denmark bahkan masuk dalam kategori negara idaman untuk tinggal dan menetap.
Denmark, misalnya, menganut konsep ekonomi kapitalis pasar campuran sekaligus kesejahteraan sosial. Berdasarkan laporan majalah Forbes, Negara ini mempunyai pendapatan tertinggi di dunia. Dari tahun 2006 sampai 2008, Denmark masuk kategori sebagai "tempat yang paling menyenangkan di dunia", merujuk pada standar kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan. Sementara, survey Global Peace Index tahun 2009, Denmark menduduki posisi negara paling damai kedua di dunia, setelah Selandia Baru. Tak hanya itu, di tahun 2009, Denmark adalah salah satu dari negara yang paling tidak korup di dunia berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi, di posisi kedua setelah Selandia Baru.
Sementara survei terbaru yang dilakukan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada April 2012 menempatkan Denmark sebagai Negara paling bahagia di dunia, diikuti Finlandia, Norwegia, Belanda, dan Kanada. Lalu, apa yang penting dari fakta-fakta ini? Jelas negara kita perlu banyak belajar dari kemajuan mereka, termasuk mengenai pelayanan listrik.
Terus terang saya kaget ketika orang Aceh di sana (mereka ambil suaka politik ke Denmark) memberi tahu bahwa listrik di Denmark nyaris tak pernah padam. “Limong ploh thon hana teuntee na mate sigo.” Ketika saya beritahu bahwa di Aceh lebih hebat lagi, dalam sehari listrik bisa ‘tewas’ berkali-kali. Giliran mereka yang terkejut. Mereka nyaris tak percaya. Dalam bayangan mereka, Aceh sudah makmur, sudah sejahtera dan segala pelayanan publik sudah bagus.
Di Denmark (maupun di Sweden dan Norway) mereka sama sekali tak punya pengalaman pemadaman listrik. Mereka tak bisa menceritakan bagaimana kondisi Denmark ketika listrik padam. Wajar, karena mereka tak pernah mengalami kondisi seperti di tempat kita ini, selalu berkutat dengan suasana gelap-gelapan.
Lalu, kenapa di sana pelayanan publik begitu baik? Menurut mereka, layanan kebutuhan listrik dikelola swasta. Negara atau kerajaan hanya mengurusi hal yang lebih besar, yang tak mampu ditangani oleh swasta. Fokus Negara lebih kepada fungsi distribusi dan pemanfaatan kekayaan kepada warga agar lebih merata. Mental pejabat di sana tidak korup, berbeda dengan di tempat kita, sehingga masuk akal jika mereka lebih peduli.
Satu perusahaan swasta, misalnya, menangani kebutuhan listrik untuk satu-dua distrik atau di sana disebut komune (setingkat kecamatan). Perusahaan-perusahaan swasta tersebut tidak mengelola kebutuhan listrik untuk beberapa kawasan sekaligus. Sedikitnya area yang dilayani membuat pelayanan menjadi maksimal.
Pembagian wewenang itu berhasil karena adanya kerjasama yang bagus antara swasta dan pemerintah. Swasta lebih fokus menggarap potensi yang ada, sementara pemerintah mengurusi masyarakat dan rakyat. Tugas swasta bagaimana meningkatkan volume produksi dan pemasukan untuk negara, dan kerajaan yang kemudian mendistribusikan hasil kekayaan tersebut kepada masyarakat. Bayangkan, memelihara anjing saja mendapat gaji dari kerajaan!
Bagaimana Kita?
Ah, sudahlah. Kita tak usah menghayal terlalu jauh. Mampu bermimpi saja bahwa suatu saat negeri kita menjadi seperti negara-negara Skandinavia sudah lebih dari cukup. Karena kita tidak tak tahu kapan mimpi itu jadi kenyataan. Untuk urusan listrik saja masih angin-anginan. Syukur-syukur jika Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, yang lama bermukim di luar (Swedia) mampu mengadopsi manajemen pengelolaan listrik di sana untuk diterapkan di Aceh.
Kita yakin Gubernur pasti sudah mengantongi strategi dan cara Swedia memenuhi kebutuhan listrik warganya. Beliau sudah cukup paham kebijakan-kebijakan Negara di sana bagaimana mengelola listrik sehingga nyaris tak pernah padam. Jika sedikit saja pengalaman-pengalaman baik di luar negeri itu dibawa ke Aceh, kita masih bisa berharap Aceh akan menjadi lebih baik (minimal listrik tak sering lagi padam). Dan pihak PLN bisa menghapus kalimat ‘pemadaman bergilir’ dalam kamus layanannya.
Jadi, selama ramadhan, selemah-lemahnya iman, kita hanya meminta pejabat PLN agar bisa lebih ramah. Jika tidak ada kejadian fatal atau bencana alam luar biasa, sebaiknya jangan terburu-buru memadamkan listrik. Ingatlah, di seluruh pelosok Aceh, masyarakat berdoa agar puasa kali ini dijalani tanpa mati listrik. Jika di bulan-bulan lain PLN boleh tak ramah, semoga selama ramadhan ini menjadi sedikit lebih ramah. Semoga!
Taufik Al Mubarak adalah seorang Blogger; warga yang sering terganggu dengan pemadaman listrik.
Edisi lebih pendek sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia, Sabtu 21 Juli 2012. Baca di SINI
Tags:
Artikel