Banyak orang dilahirkan dengan bakat luar biasa. Tak sedikit yang kemudian hanyut dalam pusara sejarah, dan lalu dilupakan. Tapi beberapa yang beruntung mereka mampu membuat keajaiban dan melukiskan namanya pada papan sejarah.
Di Aceh, nama Hasan Tiro adalah sebuah perkecualian. Di usia muda, Tiro mampu membangun reputasi politik yang mumpuni. Meski awalnya dikenal sebagai pembela panji merah putih, tapi rasa nasionalisme yang mengental dalam tubuh mungilnya sebagai keturunan dinasti Tiro memaksanya membalikkan haluan sejarah. Berawal dari aktivis DI/TII, Tiro kemudian sukses mengelola sebuah organisasi perlawanan bersenjata, kemudian menjadi salah satu icon perjuangan Aceh melawan Jakarta.
Bakat kepemimpinan yang dimilikinya sungguh luar biasa. Seperti Daud Beureue-eh, Tiro juga mengomandoi ribuan pasukan bersenjata, mendidik kesadaran sejarah ke-Aceh-an, plus visi tentang Aceh yang terbebas dari Indonesia. Jika Daud berjuang masih dalam kerangka NKRI, maka Tiro menolak sesuatu yang berbau Indonesia.
Sayangnya, kecerdasan, militansi, dan kesadaran ke-Aceh-an yang diajarkan Tiro tak ada yang mampu meneruskan. Perang yang dikobarkan Tiro pada akhirnya dijadikan sebagai bargaining memperekat kembali ikatan Aceh dan Jakarta oleh pengikutnya.
Padahal, jika belajar pada Sudan Selatan, Kosovo, Bosnia dan negara-negara pecahan Soviet bagaimana mereka memperoleh kemerdekaan, peluang Aceh untuk merdeka juga sama besarnya.
Banyak yang menyalahkan bahwa tsunami menutup peluang Aceh, namun alasan ini sangatlah lemah. Saya melihat, kelemahan diplomasi-lah yang membuat Aceh mengikat kakinya sendiri untuk tak bisa berjalan lagi meraih apa yang sudah diajarkan oleh Tiro. Kelemahan tim runding kita, dapat dibaca dengan jelas dalam buku 'Damai di Aceh' karya Hamid Awaluddin.
Selain itu, tertutupnya peluang Aceh untuk merdeka juga karena masyarakat sipil Aceh menyerahkan bulat-bulat wewenang merundingkan Aceh kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebab ketika mandat ini disalahgunakan (menerima otonomi) peluang memerdekakan Aceh kembali harus dimulai dari awal. Perjuangan yang kian terjal. []
Di Aceh, nama Hasan Tiro adalah sebuah perkecualian. Di usia muda, Tiro mampu membangun reputasi politik yang mumpuni. Meski awalnya dikenal sebagai pembela panji merah putih, tapi rasa nasionalisme yang mengental dalam tubuh mungilnya sebagai keturunan dinasti Tiro memaksanya membalikkan haluan sejarah. Berawal dari aktivis DI/TII, Tiro kemudian sukses mengelola sebuah organisasi perlawanan bersenjata, kemudian menjadi salah satu icon perjuangan Aceh melawan Jakarta.
Bakat kepemimpinan yang dimilikinya sungguh luar biasa. Seperti Daud Beureue-eh, Tiro juga mengomandoi ribuan pasukan bersenjata, mendidik kesadaran sejarah ke-Aceh-an, plus visi tentang Aceh yang terbebas dari Indonesia. Jika Daud berjuang masih dalam kerangka NKRI, maka Tiro menolak sesuatu yang berbau Indonesia.
Sayangnya, kecerdasan, militansi, dan kesadaran ke-Aceh-an yang diajarkan Tiro tak ada yang mampu meneruskan. Perang yang dikobarkan Tiro pada akhirnya dijadikan sebagai bargaining memperekat kembali ikatan Aceh dan Jakarta oleh pengikutnya.
Padahal, jika belajar pada Sudan Selatan, Kosovo, Bosnia dan negara-negara pecahan Soviet bagaimana mereka memperoleh kemerdekaan, peluang Aceh untuk merdeka juga sama besarnya.
Banyak yang menyalahkan bahwa tsunami menutup peluang Aceh, namun alasan ini sangatlah lemah. Saya melihat, kelemahan diplomasi-lah yang membuat Aceh mengikat kakinya sendiri untuk tak bisa berjalan lagi meraih apa yang sudah diajarkan oleh Tiro. Kelemahan tim runding kita, dapat dibaca dengan jelas dalam buku 'Damai di Aceh' karya Hamid Awaluddin.
Selain itu, tertutupnya peluang Aceh untuk merdeka juga karena masyarakat sipil Aceh menyerahkan bulat-bulat wewenang merundingkan Aceh kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebab ketika mandat ini disalahgunakan (menerima otonomi) peluang memerdekakan Aceh kembali harus dimulai dari awal. Perjuangan yang kian terjal. []
Tags:
catatan