Saya ingin bercerita tentang Corax. Kisah ini saya peroleh dari buku Retorika Modern (Jalaluddin Rakhmat, Februari 2006). Ketika kuliah dulu di Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry, Retorika Modern menjadi buku wajib yang harus dibaca. Corax hidup di Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sisilia. Bertahun-tahun koloni ini diperintah oleh para tiran. Para tiran ini sangat senang menggusur tanah rakyat.
Namun, gelombang protes yang dilancarkan rakyat pada 465 SM berhasil menumbangkan sang diktator, melalui sebuah revolusi. Pemerintahan baru yang demokratis terbentuk. Tanah rakyat dikembalikan.
Tapi tanah tak serta merta dikembalikan begitu saja. Sebab, untuk mengambil tanah, sang pemilik harus mampu menyakinkan dewan juri di pengadilan. Kalau kita sekarang pasti serba gampang, tanah punya sertifikat dan bisa menyewa pengacara, tapi dulu mana ada sertifikat dan pengacara. Setiap pemilik tanah harus menyakinkan juri hanya dengan omongan saja.
Untung ada Corax. Dia membantu warga memenangkan hak kepemilikan tanah milik mereka. Corax tak membantu seperti layaknya pengacara, melainkan dia menulis sebuah makalah tentang retorika, yang diberi judul Techne Logon (Seni kata-kata). Makalah ini berisi tentang 'teknik kemungkinan'. Intinya, bila tak mampu memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum.
Contoh berikut bisa menjelaskan bagaimana efektifnya teori Corax ini: misalkan, di kampung kita ada seorang lelaki yang suka kawin-cerai. Dia juga seorang pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Selama lima tahun, dia sudah menikah dan bercerai 3 kali. Setiap istri yang dinikahinya selalu dia pukuli, kadang-kadang karena hal sepele. Tapi, dia tak pernah mengaku, dan sering terbebas dari jerat hukum. Hingga dia menikahi perempuan keempat. Anehnya, si perempuan ini juga mengalami penyiksaan dan dicerai. Kasusnya sampai ke pengadilan. Si lelaki ini sangat pandai bersilat lidah, dan punya jurus maut menaklukkan wanita.
Kepada majelis hakim dia mengatakan, "Pak hakim, saya seorang pribadi yang santun. Saya menikahi empat perempuan dalam rentang waktu 5-6 tahun. Jika saya seorang jahat, bagaimana mungkin wanita-wanita ini mau menikah sama saya. Dan bagaimana mungkin saya tega menyiksa isteri saya sendiri." Hakim nyaris saja termakan mulut manis dia, jika saja isteri keempat yang menjadi korban tak segera bangkit dari kursinya. Dia mengacungkan jari, dan mulai berbicara dalam sidang yang sedikit gaduh itu.
"Pak hakim dan pengunjung sidang. Perhatikan baik-baik omongan si lelaki ini. Dia hampir menipu kita semua. Bagaimana mungkin dia berani menyebut dirinya lelaki baik. Ketiga istri sebelum saya sudah diceraikan oleh dia, mereka juga mengalami kekerasan. Jika dia lelaki yang baik pasti dia tak akan memukuli istrinya serta tak akan menceraikan mereka. Jika dia baik, dia juga tak akan menceraikan saya." Hakim terdiam. Sidang sunyi.
Jika contoh di atas masih kurang, Kang Jalal—sebutan untuk KH Jalaluddin Rakhamt—memiliki contoh yang lebih bagus. Seorang kaya mencuri dan dituntut ke pengadilan untuk pertama kali. Untuk membela diri, dengan teknik kemungkinan, kita bisa bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri?"
Intinya, jika diperhatikan sekilas, ilmu retorika memang mirip dengan ilmu bersilat lidah. Kita juga sering mendengar orang-orang menyebutkan, 'Ah itu cuma retorika.' Di kemudian hari, beberapa ahli komunikasi modern mengembangkan teknik propaganda, yang lebih cocok dengan seni bersilat lidah. Perhatikan teknik yang digunakan oleh Joseph Goebbels, Menteri Propaganda NAZI. Dia terkenal dengan teori 'Big Lie'—kebohongan besar. Dia menyampaikan bahwa 'kebohongan yang paling besar adalah kebenaran yang diubah sedikit saja.'
Masih di Pulau Sisilia. Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Ia tiran yang kejam. Tak seorang pun berani memberitahukan hal itu kepadanya. Hingga suatu ketika, dia melakukan perjalanan ke negeri asing, mungkin untuk melakukan penaklukan dan memperluas wilayah kekuasaan. Di negeri yang asing itu, dia bertemu dengan seorang perempuan asing. Si perempuan yang baru dikenalnya itu berani menyebutkan bahwa mulut Gelon sangat bau. Gelon jelas terkejut.
Sekembali ke negerinya, Gelon memarahi isterinya habis-habisan. Meski bertahun-tahun hidup bersama dan hubungan mereka begitu dekat, si istri tak memberitahukannya. "Istri macam apa kamu ini? Tak pernah mau berita tau kekurangan saya."
Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tak jadi menghukum istrinya. Jangan-jangan si istri sudah membaca buku Techne Logon (Seni kata-kata). Mudah-mudahan posting singkat ini menginspirasi. []
Namun, gelombang protes yang dilancarkan rakyat pada 465 SM berhasil menumbangkan sang diktator, melalui sebuah revolusi. Pemerintahan baru yang demokratis terbentuk. Tanah rakyat dikembalikan.
Tapi tanah tak serta merta dikembalikan begitu saja. Sebab, untuk mengambil tanah, sang pemilik harus mampu menyakinkan dewan juri di pengadilan. Kalau kita sekarang pasti serba gampang, tanah punya sertifikat dan bisa menyewa pengacara, tapi dulu mana ada sertifikat dan pengacara. Setiap pemilik tanah harus menyakinkan juri hanya dengan omongan saja.
Untung ada Corax. Dia membantu warga memenangkan hak kepemilikan tanah milik mereka. Corax tak membantu seperti layaknya pengacara, melainkan dia menulis sebuah makalah tentang retorika, yang diberi judul Techne Logon (Seni kata-kata). Makalah ini berisi tentang 'teknik kemungkinan'. Intinya, bila tak mampu memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum.
Contoh berikut bisa menjelaskan bagaimana efektifnya teori Corax ini: misalkan, di kampung kita ada seorang lelaki yang suka kawin-cerai. Dia juga seorang pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Selama lima tahun, dia sudah menikah dan bercerai 3 kali. Setiap istri yang dinikahinya selalu dia pukuli, kadang-kadang karena hal sepele. Tapi, dia tak pernah mengaku, dan sering terbebas dari jerat hukum. Hingga dia menikahi perempuan keempat. Anehnya, si perempuan ini juga mengalami penyiksaan dan dicerai. Kasusnya sampai ke pengadilan. Si lelaki ini sangat pandai bersilat lidah, dan punya jurus maut menaklukkan wanita.
Kepada majelis hakim dia mengatakan, "Pak hakim, saya seorang pribadi yang santun. Saya menikahi empat perempuan dalam rentang waktu 5-6 tahun. Jika saya seorang jahat, bagaimana mungkin wanita-wanita ini mau menikah sama saya. Dan bagaimana mungkin saya tega menyiksa isteri saya sendiri." Hakim nyaris saja termakan mulut manis dia, jika saja isteri keempat yang menjadi korban tak segera bangkit dari kursinya. Dia mengacungkan jari, dan mulai berbicara dalam sidang yang sedikit gaduh itu.
"Pak hakim dan pengunjung sidang. Perhatikan baik-baik omongan si lelaki ini. Dia hampir menipu kita semua. Bagaimana mungkin dia berani menyebut dirinya lelaki baik. Ketiga istri sebelum saya sudah diceraikan oleh dia, mereka juga mengalami kekerasan. Jika dia lelaki yang baik pasti dia tak akan memukuli istrinya serta tak akan menceraikan mereka. Jika dia baik, dia juga tak akan menceraikan saya." Hakim terdiam. Sidang sunyi.
Jika contoh di atas masih kurang, Kang Jalal—sebutan untuk KH Jalaluddin Rakhamt—memiliki contoh yang lebih bagus. Seorang kaya mencuri dan dituntut ke pengadilan untuk pertama kali. Untuk membela diri, dengan teknik kemungkinan, kita bisa bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri?"
Intinya, jika diperhatikan sekilas, ilmu retorika memang mirip dengan ilmu bersilat lidah. Kita juga sering mendengar orang-orang menyebutkan, 'Ah itu cuma retorika.' Di kemudian hari, beberapa ahli komunikasi modern mengembangkan teknik propaganda, yang lebih cocok dengan seni bersilat lidah. Perhatikan teknik yang digunakan oleh Joseph Goebbels, Menteri Propaganda NAZI. Dia terkenal dengan teori 'Big Lie'—kebohongan besar. Dia menyampaikan bahwa 'kebohongan yang paling besar adalah kebenaran yang diubah sedikit saja.'
Masih di Pulau Sisilia. Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Ia tiran yang kejam. Tak seorang pun berani memberitahukan hal itu kepadanya. Hingga suatu ketika, dia melakukan perjalanan ke negeri asing, mungkin untuk melakukan penaklukan dan memperluas wilayah kekuasaan. Di negeri yang asing itu, dia bertemu dengan seorang perempuan asing. Si perempuan yang baru dikenalnya itu berani menyebutkan bahwa mulut Gelon sangat bau. Gelon jelas terkejut.
Sekembali ke negerinya, Gelon memarahi isterinya habis-habisan. Meski bertahun-tahun hidup bersama dan hubungan mereka begitu dekat, si istri tak memberitahukannya. "Istri macam apa kamu ini? Tak pernah mau berita tau kekurangan saya."
Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tak jadi menghukum istrinya. Jangan-jangan si istri sudah membaca buku Techne Logon (Seni kata-kata). Mudah-mudahan posting singkat ini menginspirasi. []
Tags:
catatan