Kangkung, Kelinci dan Orang Kaya

Sewaktu masih tinggal di Peurada, suatu kali saya berbelanja ke Pasar Ulee Kareng. Saya mau membeli ikan dan beberapa ikat daun kangkung. Soalnya, saya suka memasak kangkung. Setelah membayar, saat mengambil daun kangkung, saya berpapasan dengan seorang ibu. Dia kebetulan juga tinggal di Peurada, tapi dia di rumah milik sendiri, sementara aku hanya anak kost.

"Belanja apa, dik?" dia coba bertanya, ramah.

"Ini bu, ikan dan beberapa ikat kangkung," saya jawab.

"Oh, adik pelihara kelinci di rumah ya?" dia tanya lagi.

"Nggak kok, bu. Kangkung ini untuk dimasak," saya jawab lagi, raut muka sudah saya buat seramah mungkin.

"Oh, kirain untuk makanan kelinci," dia pun berlalu, tapi tatapannya seperti sinis.

Saya maklumi, dia orang kaya mungkin jarang makan kangkung. Dia pun memandang rendah untuk anak kost seperti saya yang suka mengonsumsi sayur kangkung. [Dia mungkin tak sempat mendengar bahwa di tangan koki dan di restoran terkenal, satu ikat kangkung yang sudah dimasak akan berharga Rp80 ribu]

Beberapa waktu kemudian, saya kebetulan berpapasan lagi dengannya di sebuah warung makan. Saya mau membeli ayam bakar. Dia pun menyapa ramah, dan dengan basa-basi mengajak saya bergabung dengannya. Saya lihat ada beberapa anggota keluarga dan teman-temannya ikut makan bersamanya.

"Maaf, bu. Saya cuma mau membeli ayam bakar saja. Terima kasih," saya berusaha menolak dengan halus. Setelah mengambil pesanan, saya berlalu dari warung itu, dan menghampiri meja si ibu.

"Saya pulang dulu ya bu?" saya pamit.

"Ya, dik." jawabnya.

Saya lihat dia sudah memesan banyak makanan di meja mereka, dan saya juga lihat ibu itu sudah hampir menghabiskan cah kangkung di depannya.

"Oh, rupanya ibu suka juga makan makanan kelinci, ya?" saya bilang itu dengan tersenyum. Teman-temannya menoleh ke arah saya. Saya lihat muka ibu itu mencoba tersenyum. Tapi saya yakin, senyumnya kali ini coba dipaksa-paksakan. [status di facebook saya]

Post a Comment

Previous Post Next Post