Hasan Tiro, Perawat Literasi Atjeh

Lebih dari 30 tahun ia kobarkan perang melawan pemerintahan yang disebutnya dikendalikan para bandit dari Jawa. Di balik itu, ia perawat literasi Atjeh yang tekun.

JIKA kita lebih objektif, Hasan Tiro (1925-2010) pada masa muda sebenarnya sangat mencintai Indonesia. Sebagai pengurus Barisan Pemuda Indonesia (BPI), ia mengibarkan bendera Merah Putih—bendera yang di kemudian hari dikecamnya habis-habisan—di Lamlo, Pidie, tak lama setelah Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Saat itu usianya baru 20 tahun.

Pada 17 November atau tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan Republik, Tiro mengikuti rapat akbar pembentukan Laskar Mujahidin di Masjid Tiro. Dalam rapat itu, muncul rekomendasi membentuk barisan perang, dan bersumpah-setia mempertahankan kemerdekaan. Saat itu Tiro tak hanya memilih jalan perang, ia juga mulai berjuang melalui pena. Tiro tercatat pernah menjadi wartawan Koran Semangat Merdeka yang digawangi Teungku Ismail Jacob dan Ali Hasjmy (seorang penulis tekun, sastrawan, sekaligus penerjemah). Di sela-sela kesibukannya sebagai wartawan, alumni Normaal School Institute itu sempat-sempatnya menulis buku Mencapai Kemerdekaan pada 1946.

Tapi, seperti bunyi pepatah latin, Temporal muntatur etnos muntatur ilis, waktu itu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Begitu pula yang menimpa pemuda kelahiran Tanjong Bungong, Pidie, pada 25 September 1925 itu. Kebijakan represif Pemerintahan Ali Sastroamidjojo (1953-1955) saat membasmi pemberontakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan pada 1953-1954 membuat darah cucu Teungku Syik di Tiro, pahlawan nasional Indonesia, itu mendidih.

Dari tempat tinggalnya di 454 Riverside Drive, New York, mahasiswa Fakultas Hukum pada Columbia University yang juga staf Perwakilan Indonesia di New York, menulis surat terbuka kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, seorang nasionalis kelahiran Magelang (1903-1976). Surat itu ditulis dengan mesin tik di atas kertas berkop Republik Islam Indonesia, dengan alamat di 489 Fifth Avenue, New York 17, N.Y. Surat itu dimuat oleh sejumlah suratkabar Amerika, juga suratkabar Indonesia yang terbit di Jakarta seperti Abadi, Indonesia Raya dan Keng Po.

Dalam suratnya, Tiro mendakwa Ali Sastroamidjojo “telah dan sedang terus menjerat bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara.” Tiro mendesak Sastroamidjojo untuk menghentikan pembunuhan anak bangsa di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.


Kemunculan Tiro pada 1954 itu tergolong berani. Ia menunggu momen yang tepat untuk mengecam pemerintahan Ali Sastroamidjojo, setahun setelah serdadu Indonesia menggempur kekuatan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh. Tiro yang mengamati perkembangan politik dalam negeri dari Amerika merasa saatnya genderang perang diplomasi ditabuh. Ia tanggalkan label mahasiswa ‘baik-baik’, dan memilih berjuang bersama gerakan yang ingin menegakkan negara Islam itu.

Surat itu pula membuat namanya mulai banyak dibincangkan, tak hanya di Indonesia, melainkan di dunia internasional. Ia seperti menemukan panggung yang tepat, tak hanya sekadar membela DI/TII, tapi sekaligus mengorbitkan ketokohan atas nama dirinya sendiri, saat mengangkat dirinya sebagai duta besar Negara Islam Indonesia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Sekiranya Hasan Tiro tidak menulis surat terbuka mengecam Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo itu, namanya mungkin tak pernah dikenal orang apalagi memberi pengaruh besar terhadap perjalanan sejarah Aceh di kemudian hari.

Penulis yang tekun
Orang-orang lebih mengenal Hasan Tiro sebagai pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemerintah Indonesia bahkan melabelinya “gembong separatis”. Tapi di balik sikap kerasnya itu, Tiro adalah penulis yang sangat tekun. Pada usia 22 tahun, Tiro sudah menerjemahkan buku As-Siyâsah asy-Syar’iyyah atau Dasar-dasar Negara Islam karya Prof. Abdul Wahab Khalaf. Dapat dipahami mengapa saat Teungku Daud Beureu’eh mendirikan DI/TII Aceh pada 1953, Tiro menjadi pembela paling gigih. Boleh jadi, perjumpaan Tiro dengan ideologi Beureu’eh terkait (dan terpengaruh) dengan buku Guru Besar di Cairo University yang diterjemahkannya itu. Tiro sendiri menyimpan cita-cita untuk mendirikan sebuah Negara Islam di Aceh, seperti yang sedang diperjuangkan Beureu’eh.

Selesai menerjemahkan buku Dasar-dasar Negara Islam, Tiro terus melanjutkan aktivitas menulisnya. Pada 1948 atau akhir masa studinya di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, sosok yang oleh Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara disebut “pemuda pendiam tapi memberi kesan cerdas dan cukup lincah” itu merampungkan buku Perang Atjeh 1873-1927. Dalam buku ini, Tiro banyak mengupas tentang heroisme pejuang Aceh melawan Belanda, dan perjuangan Indonesia Merdeka. Dari buku ini pula ada satu kesan bahwa Tiro begitu peduli pada sesuatu yang memiliki tekanan pada “Indonesia”.

Tiro juga disebut-sebut sebagai penulis buku Revolusi Desember ’45 di Atjeh atau Pembasmian Pengchianat Tanah Air yang diterbitkan oleh Pemerintah R.I. Daerah Atjeh. Penerbitan buku ini dimaksudkan sebagai buku putih Perang Cumbok, perang antara ulama dan kaum uleebalang di Aceh. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, sejarawan Aceh M. Isa Sulaiman, meyakini Tiro sebagai penulis buku tersebut (baca: M Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Sebuah gugatan terhadap tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997).

Nama Tiro mulai diperhitungkan sebagai penulis serius setelah menerbitkan buku Demokrasi untuk Indonesia di Amerika pada 1958. Nada dalam buku ini serupa dengan surat terbuka yang pernah dikirimkan kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo empat tahun lalu. Tiro mengecam sangat keras konsep negara kesatuan yang diagungkan Sukarno dan angkatan darat. Dalam pandangan Tiro, sebagai negara dengan wilayah kekuasaan cukup luas, keliru jika memaksakan Indonesia sebagai negara kesatuan. Sebab, dengan kekuasaan memusat di Jawa, keadilan dan kesejahteraan pasti tak akan merata. Tiro pun menawarkan konsep negara federasi sebagai pengganti negara kesatuan. Tahun 1960, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Democracy for Indonesia.

Buku Tiro ini menemukan momentum yang tepat ketika gelombang reformasi bergemuruh di Indonesia, terutama saat politisi Amien Rais mencetuskan ide negara federal di Indonesia. Tahun 1999, penerbit Teplok Press menerbitkan kembali buku Demokrasi untuk Indonesia dan menjadi bacaan para aktivis Indonesia. Ide-ide Hasan Tiro pada 1958 seperti menemukan relevansinya.

Pemikiran brilian Tiro bisa juga dilacak dalam buku Masa Depan Politik Dunia Melayu yang terbit pada 1965. Dalam buku ini, Tiro masih mengecam konsep negara kesatuan, dan kembali mengusulkan negara federasi untuk Indonesia. Banyak yang menilai, buku ini sebagai buku terbaik yang pernah ditulis Hasan Tiro, sekaligus menggambarkan betapa membuminya pemikiran dia untuk memajukan demokrasi di Indonesia. Namun, hingga kini, Indonesia masih berbentuk negara kesatuan yang dijaga dengan ketat dan keras.

Perawat literasi Atjeh
Selama bermukim di Amerika, Tiro banyak memburu manuskrip tentang “Atjeh” di berbagai perpustakaan di sana. Manuskrip-manuskrip ini dijaga dengan sangat rapi. Ketekunannya menjaga manuskrip lama, baik masa kesultanan Atjeh maupun ketika berperang dengan Belanda, bisa kita baca dalam bukunya Atjeh bak Mata Donja (Aceh di Mata Dunia). Dalam buku ini, Tiro mengutip dan mencantumkan kliping koran New York Times yang pernah menulis tentang Perang Aceh dengan Belanda.

Sewaktu bergerilya di hutan-hutan Aceh setelah deklarasi Aceh Merdeka tahun 1976, Tiro terus menulis pelbagai tajuk untuk membuka kesadaran “ke-Aceh-an” masyarakat Aceh. Tulisan ini disebarkan secara berseri dalam bentuk selebaran. Menurut pengakuan generasi tua GAM, Tiro juga melatih anggota GAM yang punya bakat menulis atau meminta mereka untuk membantu mengetik.

Di hutan Aceh pula, buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro mulai ditulis. Praktis sepanjang masa gerilya di hutan Aceh antara 1977-1979, Tiro menghabiskan banyak waktu dengan menulis catatan harian yang diterbitkan di London pada 1981. Dalam buku ini kita bisa membaca kisah masa kecilnya, pengalaman-pengalamannya di Amerika atau bagaimana pemikiran Friedrich Nietzsche merasuki pikirannya. Keputusannya pulang ke Aceh memimpin pemberontakan melawan Indonesia tak terlepas dari pengaruh bagian “Pengembara” dari buku Thus Spoke Zarathustra yang dibacanya.

Nezar Patria, wartawan dan peneliti Aceh, dalam esainya yang cemerlang, Hasan Tiro, Nietzsche, dan Aceh (Kompas, 19 Oktober 2008), menulis “[...] entah soal taktik gerilya, negasi atas sejarah Indonesia, sampai kontemplasi hidup dan kematian, terajut dalam satu garis merah: upaya rekonstruksi sejarah. Dan, yang menarik, Hasan mengolah paragraf dari Nietzsche dalam tafsirnya atas momen kesejarahan Aceh.”

Pada 1986 Tiro menulis buku Perkara dan Alasan Perdjuangan Angkatan Atjeh Sumatera Merdeka. Di buku ini kita menjadi tahu bagaimana pengetahuan hukum yang dipelajarinya di Columbia University digunakan untuk mendukung perjuangan penentuan nasib sendiri Aceh, menurut kerangka hukum internasional. Tiro banyak mengupas tentang negara-negara koloni yang berhasil membebaskan diri dari penjajah. Aceh, menurutnya, punya alasan hukum untuk kembali berdiri sendiri sebagai sebuah negara.

Selain buku, Tiro cukup banyak menyiarkan tulisan lepas tentang demokrasi, hukum atau sejarah Aceh. Ia begitu terobsesi membuka kesadaran orang Aceh melalui pendidikan Aceh atau ia menyebutnya Acehnese Education. Hal itu tak hanya dilakukan melalui tulisan, melainkan juga lewat kaset-kaset ceramahnya sewaktu melatih pemuda Aceh di Libya.

Sosok yang pernah membuat gempar melalui suratnya pada 1954 itu, kini sudah tiada. Namun, buku-buku, tulisan-tulisan, maupun ceramah-ceramahnya dengan mudah bisa ditemui. Sepanjang hayat ia merawat literasi “Atjeh” semampu yang ia lakukan. Tugas kita untuk kembali mengkaji karya-karya yang lebih selusin itu, siapa tahu kita menemukan batu manikam di sana, seperti seorang sopir taksi kelahiran Kurdistan di Berlin yang begitu mengagumi sosok Tiro. Ia sampai menolak menerima ongkos taksi setelah tahu penumpangnya berasal dari Aceh. “Tiro, Ja Tiro aus Aceh” atau Tiro dari Aceh, katanya.[]
__________

Taufik Al Mubarak, blogger Aceh, kumpulan kolomnya bernada humor politik dibukukan dengan judul Aceh Pungo (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009), kontributor dalam buku The Unfinished Story of Teungku Hasan Tiro (Aboeprijadi Santoso, dkk; Bandar Publishing, 2010). Twitter: @almubarak Email: tintamirah@gmail.com.

NB: Tulisan ini sudah tayang di situs Pindai.org (4 Agustus 2015) baca di sini dan dimuat kembali di blog ini sebagai arsip.

Post a Comment

Previous Post Next Post