Pungo dan Papa

Saya tidak ingat pasti kapan persisnya khutbah ini saya dengar. Satu hal yang pasti khutbah itu saya dengar pada satu jumatan ketika saya berada di kampung. Sudah lama sekali tapi belum lewat setahun. Saya lupa siapa nama khatibnya, tapi dia masih orang satu kecamatan dengan saya, cuma beda mukim saja.

Biasanya saya tak begitu ingat isi khutbah terutama yang dibacakan oleh khatib, tapi tidak begitu halnya dengan khatib satu ini. Dia tak seperti khatib di masjid di kota-kota besar yang hanya pintar membaca teks yang sudah disiapkan sebelumnya, dia tipikal khatib di masjid kemukiman. Khutbahnya berbasis pada persoalan masyarakat dan hal-hal yang dekat mereka.

Pungo dan Papa
Rancangan cover Aceh Pungo yang tak jadi dipakai
Umumnya khutbah yang berbasis pada teks, sangat monoton, tidak asik didengar dan membuat kantuk pendengarnya. Jarang orang mengingat isi khutbah dengan baik, karena sang penyampainya begitu berjarak dengan audiens. Khutbahnya tak mampu memberi pencerahan. Beda dengan khutbah di masjid kemukiman. Karena yang disampaikan adalah persoalan sehari-hari, khutbahnya melekat di kepala masyarakat.

Nah, isi khutbah di masjid kampung saya itu meski sudah berbilang bulan, masih terngiang di otak saya. Saya selalu gelisah jika tak menuliskannya, karena itu seperti ilham yang menghampiri saya dan tak mau terlepas dari saya sampai saya putuskan untuk menuliskannya. Saya jadi tenang, bahkan saat menuliskan judulnya saja.

"Kenapa orang banyak yang jadi gila dan miskin?" tanya khatib. Dia tentu saja tak membutuhkan jawaban. Sangat tidak lazim para jamaah berbicara di dalam masjid saat khatib memberi khutbah. Menjawab itu dia mengutip isi sebuah kitab, mungkin kitab yang tengah diajarkan untuk santri-santrinya. Sialnya, saya lupa pada judul dan pengarangnya.

Dia lalu menyitir kebiasaan masyarakat kita dalam hal makan. Menurutnya banyak orang yang tidak mencuci tangan sebelum makan. Bahkan, ada yang setelah makan pun tak mencuci tangan, cukup membersihkan dengan tisu. Padahal, katanya dengan mengutip isi kitab, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan ada hubungannya dengan miskin dan gila.

"Orang yang tidak mencuci tangan sebelum makan biasanya mudah menjadi miskin dan papa. Sementara orang yang tidak mencuci tangan sesudah makan sering terjangkiti penyakit saraf dan gila." Khatib itu mengulanginya sampai tiga kali. Sekali dalam bahasa kitab, yaitu bahasa Arab; sekali dalam bahasa Indonesia; dan sekali dalam bahasa Aceh. Saya yakin tak ada orang yang tidak memahaminya. 

Jadi, simpulnya, jika ada orang yang menjadi miskin dan gila, patut diduga ada kebiasaan hidupnya yang tidak sehat: jarang mencuci tangan sebelum dan sesudah makan. 

Meski khutbah itu sederhana, ada satu sisi dalam hati saya yang mempercayai khutbah sang khatib yang sedikit Zuhud itu. Mudah-mudahan ke depan atau kapanpun semoga ada penelitian tentang korelasi antara mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan hidup miskin dan gila (pungo).

Note: posting perdana via Xiaomi

Post a Comment

Previous Post Next Post