Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh (dan juga di beberapa daerah di Indonesia) tinggal menghitung hari. Hari pencoblosan sudah ditetapkan tanggal 15 Februari 2017. Ada enam pasangan yang bertarung memperebutkan kursi nomor satu untuk Aceh. Sesuai nomor urut, mereka adalah Tarmizi A Karim-Machsalmina Ali; Zakaria Saman-T Alaidinsyah; Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab; Zaini Abdullah-Nasaruddin; Muzakkir Manaf-TA Khalid; dan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah.
Dari semua kandidat calon Gubernur Aceh tersebut, Zakaria Saman atau akrab disapa Apa Karya-lah sosok yang paling menyita perhatian publik. Kehadirannya di panggung politik Aceh membuat kontestasi perebutan kursi Gubernur menjadi menggeliat, tidak tegang, dan kerap dibumbui humor politik. Uniknya pernyataan yang keluar dari mulut Apa Karya sama sekali tidak klise.
Zakaria Saman dan T Alaidinsyah |
Sebagai ‘pemenang’ debat perdana, Apa Karya kemudian menjadi sosok yang paling banyak disorot dalam debat kedua. Reputasinya sebagai calon gubernur yang jenaka, cerdas dan apa adanya, jelas akan menghadapi ujian berat. Bagaimana Apa Karya bertahan dari serangan dan asumsi-asumsi yang dapat menghancurkan apa yang sudah dibangunnya selama ini?
Kentang Panas
Pada debat kedua di Amel Convention Center, Banda Aceh, 11 Januari 2017 dan disiarkan live salah satu stasiun televisi dan radio, lagi-lagi Apa Karya menjadi bintang. Dia berbicara seperti orang yang sedikit pun tak punya beban, dan secara tajam menghantam kandidat lain. Ini berbeda dengan lima kandidat lain yang menampilkan citra diri paling siap memimpin Aceh, tapi celakanya justru menjadi bukan dirinya lagi: ada yang berlagak pintar, ada yang merasa paling menguasai masalah dan lalu merasa mampu memberi solusi tepat, ada yang mengungkit prestasi, ada pula yang mencoba lucu, dan hasilnya justru sama sekali tidak lucu.
Pada debat kedua di Amel Convention Center, Banda Aceh, 11 Januari 2017 dan disiarkan live salah satu stasiun televisi dan radio, lagi-lagi Apa Karya menjadi bintang. Dia berbicara seperti orang yang sedikit pun tak punya beban, dan secara tajam menghantam kandidat lain. Ini berbeda dengan lima kandidat lain yang menampilkan citra diri paling siap memimpin Aceh, tapi celakanya justru menjadi bukan dirinya lagi: ada yang berlagak pintar, ada yang merasa paling menguasai masalah dan lalu merasa mampu memberi solusi tepat, ada yang mengungkit prestasi, ada pula yang mencoba lucu, dan hasilnya justru sama sekali tidak lucu.
Melihat gaya komunikasi Apa Karya serta bagaimana dia menyelesaikan masalah yang membelitnya persis seperti orang melempar kentang panas. Eits…tunggu dulu, Apa Karya tidak melempar kentang panas benaran dalam debat tempo hari itu. Istilah kentang panas atau hot potato ini hanya merujuk pada kondisi seseorang yang melempar kentang yang masih panas dalam suatu pesta barbecue (piknik dengan acara makan daging dan kentang panggang).
Istilah hot potato saya peroleh dari Roger Dawson. Dalam buku Secrets of Power Negotiating (Gramedia, 2002), Dawson menyebutkan hot potato adalah istilah dalam negosiasi yang dimaksudkan sebagai poin penekan lawan. Katanya, hot potato terjadi manakala seseorang ingin melempar masalah yang dihadapinya kepada Anda dan menjadikannya sebagai masalah Anda.
Menurut Dawson, jika kita menghadapi kondisi hot potato, yang harus dilakukan adalah menguji validitasnya. Ini penting dilakukan untuk mengetahui secara pasti apakah masalah itu berbahaya untuk reputasi kita atau tidak. Sebab, kadang-kala si pelempar hanya ingin mengetahui bagaimana respon kita. Dan, kita perlu merespon dengan cepat, karena jika tidak itu akan menjadi masalah kita, padahal sebenarnya itu masalah orang lain dan kita tidak harus terbebani karenanya, apalagi sampai merusak reputasi kita. Saya kira, Apa Karya sudah secara cerdas memperlihatkan kemampuannya menghadapi situasi rumit tersebut.
Apa dan Kentang Panas
Apa yang terjadi dalam debat kedua di Amel Convention Center tempo hari ini persis seperti orang melempar kentang panas (hot potato). Para kandidat mencoba menyerang kandidat lain dengan tujuan meruntuhkan reputasi dan memperlihatkan kepada publik untuk berhati-hati dalam menentukan pilihan. Apa Karya termasuk sosok yang paling banyak disorot dalam debat tersebut. Setidaknya, ada dua momen penting yang patut dicatat bagaimana Apa Karya keluar dari tekanan.
Apa yang terjadi dalam debat kedua di Amel Convention Center tempo hari ini persis seperti orang melempar kentang panas (hot potato). Para kandidat mencoba menyerang kandidat lain dengan tujuan meruntuhkan reputasi dan memperlihatkan kepada publik untuk berhati-hati dalam menentukan pilihan. Apa Karya termasuk sosok yang paling banyak disorot dalam debat tersebut. Setidaknya, ada dua momen penting yang patut dicatat bagaimana Apa Karya keluar dari tekanan.
Pertama, soal janji 1 juta/KK. Calon gubernur nomor urut 6, Irwandi Yusuf menanyakan perihal janji 1 juta/KK yang pernah dijanjikan kandidat Gubernur Aceh dalam Pilkada 2012 silam. Menurut Irwandi, Apa Karya termasuk dalam tim kampanye calon Gubernur yang memenangkan Pilkada 2012, dan Apa Karya terikat dengan janji tersebut. “Apakah janji tersebut sudah ditunaikan? Karena menurut saya janji itu sama sekali belum direalisasikan. Atau Apa Karya akan melunasi janji tersebut jika terpilih jadi Gubernur?” begitu kira-kira pertanyaan Irwandi saat sesi tanya jawab antar kandidat.
Mendapat pertanyaan tersebut, jelas Apa Karya berada dalam tekanan dan dalam posisi terpojok. Tapi, bukan Apa Karya namanya jika tak mampu keluar dari tekanan. Menurut Apa Karya, dirinya memang termasuk salah satu petinggi dan penyokong kandidat Gubernur pada Pilkada 2012 silam yaitu Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf (Keduanya maju lagi sebagai calon gubernur, dan tidak lagi berpasangan). Tapi, lanjutnya, yang menjadi gubernur bukan Dia, dan Dia sama sekali tidak merasa berhutang janji tersebut. “Kameng blang nyang pajoh jagong bek keunong gampong keunong geulawa,” jawab Apa Karya dengan perumpamaan dalam bahasa Aceh yang sangat kental. Kalau diterjemahkan secara kasar, pernyataan Apa Karya berarti “kambing sawah yang makan jagung jangan kambing kampung kena gebukan.”
Kedua, soal bantuan Rp600 miliar untuk kombatan GAM. Apa Karya menyadari dengan posisinya sebagai salah seorang anggota Tuha Puet (seperti dewan penasehat) partai, dirinya merasa perlu untuk menjernihkan persoalan. Dia tak mau dikaitkan sebagai pihak yang ikut menikmati uang bantuan tersebut. Karenanya, dia merasa perlu menanyakan langsung hal tersebut kepada kandidat gubernur Zaini Abdullah (incumbent) secara terbuka. “Soal bantuan 600 miliar untuk kombatan, apakah benar Doto memberikan bantuan senilai itu untuk kombatan GAM, siapa yang menerimanya. Berapa fee yang Doto terima dari bantuan tersebut?” begitu lebih kurang pertanyaan Apa Karya untuk Zaini Abdullah, calon gubernur nomor urut 4.
Saya tidak tahu, apakah Apa Karya pernah membaca buku Roger Dawson tersebut atau tidak. Tapi, apa yang ditunjukkan oleh Apa Karya menunjukkan bahwa dia tahu cara menghadapi kondisi ‘melempar kentang panas tersebut’. Dari contoh di atas terlihat jelas betapa lihainya Apa Karya keluar dari tekanan, serta bagaimana dia melempar masalah yang coba dijadikan sebagai masalahnya kepada orang lain. Dia seperti paham bahwa, jika Anda menangkap kentang panas, yang harus Anda lakukan adalah melemparkan kembali kentang panas itu ke orang lain. Jika tidak, anda harus siap-siap menahan panas. Dan itulah yang dilakukan Apa Karya ketika mendapat ‘kentang panas’ yang dilemparkan Irwandi Yusuf kepadanya, juga bagaimana Dia mengembalikan kentang panas kepada Zaini Abdullah. []
Tags:
Artikel