Oleh Taufik Al Mubarak
Hai pengawal, masih lamakah malam ini?
Pengawal itu berkata:
Pagi akan datang, tetapi malam juga akan datang
Jika kamu mau bertanya, bertanyalah:
kembalilah, datanglah sekali lagi.
(dikutip Erich Fromm dari Yesaya 21)
Masa-masa akhir keberadaan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR), menyisakan sejumlah pertanyaan. Sebut saja, pertanyaan tentang bagaimana kelanjutan proses rehab-rekons pasca berakhirnya tugas BRR di Aceh? Pertanyaan ini, lumrah saja dan biasa. Tetapi ada kekhawatiran di sana, di samping perasaan sinis. Ketika banyak agenda rehab-rekons seperti amanat blue print tak menunjukkan keberhasilan (baca gagal) dilaksanakan, maka muncul kesimpulan bahwa keberadaan BRR di Aceh tak banyak memberikan manfaat untuk rakyat Aceh. Artinya, BRR sama sekali tak mampu mengantarkan masa transisi rakyat Aceh menuju kehidupan yang lebih baik lagi seperti harapan dan cita-cita: baik cita-cita orang Aceh sendiri, maupun internasional.
Hampir saban bulan, kita disuguhkan cita-cita dan pernyataan bernada optimis dari BRR, seperti banyak target yang ingin dicapai dalam waktu dekat. Sebut saja, target pembangunan rumah untuk korban tsunami, bahwa tahun ini kita menargetkan sekian ribu rumah yang harus dibangun. Toh, pernyataan ini setiap saat kita dengar, tetapi ketika limit waktu terlewati, pernyataan itu tak berbuah kenyataan.
Tapi, seperti tanpa malu setelah gagal target, di tahun berikutnya muncul pula optimisme serupa, bahwa kita menargetkan lagi sekian ratus ribu rumah untuk para korban tsunami, lagi-lagi target itu meleset. Bagaimana kita melihat tidak konsistennya pernyataan dan perbuatan seperti sering ditunjukkan oleh BRR? Fenomena ini cukup dipahami melalui pendekatan behavioristik murni Erich Fromm: perilaku masa mendatang bisa disimpulkan dari perilaku masa lalu.
Argumentasinya adalah, bahwa ketika kegagalan demi kegagalan terjadi akibat tidak konsistennya pernyataan dan perbuatan (kinerja BRR), kita seharusnya bijak dan tak gampang lagi percaya. Karena itu bualan kesekian dari sekian. Jadi, ketika muncul pernyataan bahwa BRR menargetkan menyelesaikan ratusan ribu rumah untuk korban tsunami lagi, maka kita tak harus bertanya lagi, apakah BRR mampu melakukannya? Karena menurut Erich Fromm, berdasarkan pengalaman sebelumnya, kita sudah bisa membuat kesimpulan, bahwa BRR tak mampu melakukannya. Kita tak perlu lagi menunggu sampai limit waktu terlewati, karena kesimpulan sudah bisa dibuat dengan merujuk pengalaman sebelumnya.
Saya sendiri bingung ketika dalam sebuah diskusi lepas di warung kopi, seorang kawan bertanya, apakah BRR sanggup memenuhi janjinya mengembalikan manusia barak ke rumahnya dan membuat mereka kembali hidup dalam kebahagiaan? Saya tak tahu harus menjawab apa. Apalagi ketika disambung dengan pertanyaan, bagaimana lebaran tahun depan, apakah masih ada manusia Aceh tinggal di barak-barak pengungsian yang kumuh, pengap dan sempit? Saya menjadi semakin bingung cara menjawabnya. Mau tak mau, jalan pintas seperti pendekatannya Erich Fromm di atas langsung menjadi senjata ampuh menjawab pertanyaan-pertanyaan bernada sinis itu.
Kita akui, bahwa tak semua kinerja BRR mengecewakan. Keberadaan BRR tetap membantu bagi orang Aceh, tapi persentasenya tak seperti yang dirumuskan dalam blue print. BRR bukan tak mampu melakukan secara sempurna, karena sumber daya dan dukungan dana yang kuat. Jadi, sangat tidak mungkin BRR mengalami hambatan kerja, di luar hal-hal yang memang tak bisa dielak dan di luar perkiraan.
Namun, masalahnya, banyak kerja-kerja yang disorot dari buruknya kinerja BRR adalah dalam hal pembangunan rumah untuk masyarakat. Ini yang menjadi sorotan. Ya, karena hal-hal ini yang dekat dan menjadi kebutuhan mendesak. Bagi, orang Aceh yang masih tinggal di barak, keberadaan rumah adalah persoalan sangat vital. Jadi, arah pembangunan Aceh yang paling utama dilakukan adalah pembangunan rumah. Setelah itu baru program pembangunan ekonomi.
Memang, ini tak semata kesalahan BRR, melainkan rekanan atau kontraktor yang memegang kendali pembangunan rumah BRR. Banyak kasus terjadi seperti banyak kontraktor yang melarikan diri, dan membuat pembangunan menjadi terbengkalai. Itu sering terjadi. Sementara program perberdayaan ekonomi, sering tak terkontrol, sehingga bantuan menjadi tak maksimal. Harus diakui, banyak bantuan yang diberikan oleh BRR terindikasi dikorupsi, dan digunakan tak tepat sasaran.
Ada lagi fenomena yang membuat jurang pemisah antara para korban tsunami dan pekerja BRR. Satu pihak, merupakan kelompok rentan dan korban, sementara satu lagi elite baru. Memang, ada pembenaran bahwa bekerja di BRR mempengaruhi status social. Orang yang bekerja di BRR menjadi kelompok elite yang tertutup. Semakin tinggi jabatan dan gaji yang diterima, semakin tinggi pula status sosialnya di masyarakat. Karena itu, tak semua orang bisa bekerja di sana. Saya ingat ketika dibuka lowongan untuk posisi Direktur Komunikasi pasca Rufriadi meninggal, saya pernah mengirim CV online saya yang nganggur di internet untuk BRR. Padahal, salah satu persayaratannya adalah harus sarjana, dan bisa bahasa Inggris, toh meski saya tak masuk kategori tetap saya ajukan. Meski tak diterima, tapi saya bisa menyimpan surat penolakan dari BRR untuk kenangan dan juga sejarah. Nah, nanti ketika saya menjadi tua dan ada anak saya komplain kenapa tak masuk dalam komunitas pekerja BRR, saya kan bisa jawab, bukan saya yang tak mau bekerja, tapi lamaran saya ditolak. Hah!
Tapi, bukan itu yang mau kita sampaikan, bagaimana ini terjadi? Kenapa masyarakat masih merasakan bahwa keberadaan BRR tak banyak memberikan pengaruh untuk mereka? Ataukah, perlukah kita bertanya, lupakah orang-orang yang bekerja di BRR itu dengan misi awal pembentukan BRR? Ingatkah mereka pada misi mulia itu? Kita yakin mereka tak pernah lupa, hanya saja misi itu terlalu umum untuk dijabarkan dalam tindakan kongkrit. Jika pun seandainya mereka lupa, kita bisa ingatkan lagi bahwa salah satu misi awal pembentukan BRR adalah membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, baik kehidupan individu maupun sosialnya. Intinya menjadikan masyarakat kedua daerah itu menjadi bermartabat kembali, dan sejahtera!
Nyatanya, yang sejahtera bukan para korban. Yang bermartabat bukan orang-orang yang selamat dari gulungan air. Melainkan para pekerja. Lalu, buat apa juga dana yang besar itu jika hanya untuk menyejahterakan para pekerja BRR? Dunia atau pihak pemberi bantuan telah ikut bersekongkol dan ikut berdosa atas ketidakadilan ini. Dan sepatutnya dikutuk. Tak hanya oleh para korban yang masih selamat, melainkan yang sudah meninggal sekalipun.
Kita bertemu lagi dalam pertanyaan, bagaimana mungkin? Pertanyaan ini dapat disebut sebagai pertanyaan keheranan sekaligus pertanyaan putus asa. Tapi, benar kita memang sedang berputus asa. Kita terputus dengan harapan awal yang digembar-gemborkan sangat manis dan mulia pada awalnya. Kita disuguhkan janji bahwa ke depan kehidupan kita akan sangat sejahtera. Kita bahkan jauh meninggalkan peradaban yang sudah hancur berantakan karena tsunami (dan juga konflik), dan kita diajak untuk sepakat dengan janji akan ada peradaban yang lebih beradab sesungguhnya.
Toh, nyatanya, kita melihat tidak adanya peradaban apapun. Kita terpuruk. Sangat dalam. Lalu, pertanyaan ‘bagaimana mungkin’ seperti tak dapat kita lepaskan. Ia semakin akrab, dan actual untuk dipertanyakan ketimbang harapan masa indah yang dijanjikan. Bagaimana mungkin dana yang besar, tapi tak mampu memberi pengaruh apapun. Bagaimana mungkin dana yang besar itu tak mampu mengubah apapun? Pertanyaan ‘bagaimana mungkin’ kemudian menjadi pertanyaan yang membuahkan jawaban ketidakpastian. Absurd.
Jika itu yang terjadi, dengarlah sepenggal kalimat puitis yang dikutip Erich Fromm dari Kitab Yahudi “Yesaya ayat 21” seperti dikutip di awal tulisan ini:
Hai pengawal, masih lamakah malam ini?
Pengawal itu berkata:
Pagi akan datang, tetapi malam juga akan datang
Jika kamu mau bertanya, bertanyalah:
kembalilah, datanglah sekali lagi
sudah dimuat di Majalah Aceh Magazine
Hai pengawal, masih lamakah malam ini?
Pengawal itu berkata:
Pagi akan datang, tetapi malam juga akan datang
Jika kamu mau bertanya, bertanyalah:
kembalilah, datanglah sekali lagi.
(dikutip Erich Fromm dari Yesaya 21)
Masa-masa akhir keberadaan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR), menyisakan sejumlah pertanyaan. Sebut saja, pertanyaan tentang bagaimana kelanjutan proses rehab-rekons pasca berakhirnya tugas BRR di Aceh? Pertanyaan ini, lumrah saja dan biasa. Tetapi ada kekhawatiran di sana, di samping perasaan sinis. Ketika banyak agenda rehab-rekons seperti amanat blue print tak menunjukkan keberhasilan (baca gagal) dilaksanakan, maka muncul kesimpulan bahwa keberadaan BRR di Aceh tak banyak memberikan manfaat untuk rakyat Aceh. Artinya, BRR sama sekali tak mampu mengantarkan masa transisi rakyat Aceh menuju kehidupan yang lebih baik lagi seperti harapan dan cita-cita: baik cita-cita orang Aceh sendiri, maupun internasional.
Hampir saban bulan, kita disuguhkan cita-cita dan pernyataan bernada optimis dari BRR, seperti banyak target yang ingin dicapai dalam waktu dekat. Sebut saja, target pembangunan rumah untuk korban tsunami, bahwa tahun ini kita menargetkan sekian ribu rumah yang harus dibangun. Toh, pernyataan ini setiap saat kita dengar, tetapi ketika limit waktu terlewati, pernyataan itu tak berbuah kenyataan.
Tapi, seperti tanpa malu setelah gagal target, di tahun berikutnya muncul pula optimisme serupa, bahwa kita menargetkan lagi sekian ratus ribu rumah untuk para korban tsunami, lagi-lagi target itu meleset. Bagaimana kita melihat tidak konsistennya pernyataan dan perbuatan seperti sering ditunjukkan oleh BRR? Fenomena ini cukup dipahami melalui pendekatan behavioristik murni Erich Fromm: perilaku masa mendatang bisa disimpulkan dari perilaku masa lalu.
Argumentasinya adalah, bahwa ketika kegagalan demi kegagalan terjadi akibat tidak konsistennya pernyataan dan perbuatan (kinerja BRR), kita seharusnya bijak dan tak gampang lagi percaya. Karena itu bualan kesekian dari sekian. Jadi, ketika muncul pernyataan bahwa BRR menargetkan menyelesaikan ratusan ribu rumah untuk korban tsunami lagi, maka kita tak harus bertanya lagi, apakah BRR mampu melakukannya? Karena menurut Erich Fromm, berdasarkan pengalaman sebelumnya, kita sudah bisa membuat kesimpulan, bahwa BRR tak mampu melakukannya. Kita tak perlu lagi menunggu sampai limit waktu terlewati, karena kesimpulan sudah bisa dibuat dengan merujuk pengalaman sebelumnya.
Saya sendiri bingung ketika dalam sebuah diskusi lepas di warung kopi, seorang kawan bertanya, apakah BRR sanggup memenuhi janjinya mengembalikan manusia barak ke rumahnya dan membuat mereka kembali hidup dalam kebahagiaan? Saya tak tahu harus menjawab apa. Apalagi ketika disambung dengan pertanyaan, bagaimana lebaran tahun depan, apakah masih ada manusia Aceh tinggal di barak-barak pengungsian yang kumuh, pengap dan sempit? Saya menjadi semakin bingung cara menjawabnya. Mau tak mau, jalan pintas seperti pendekatannya Erich Fromm di atas langsung menjadi senjata ampuh menjawab pertanyaan-pertanyaan bernada sinis itu.
Kita akui, bahwa tak semua kinerja BRR mengecewakan. Keberadaan BRR tetap membantu bagi orang Aceh, tapi persentasenya tak seperti yang dirumuskan dalam blue print. BRR bukan tak mampu melakukan secara sempurna, karena sumber daya dan dukungan dana yang kuat. Jadi, sangat tidak mungkin BRR mengalami hambatan kerja, di luar hal-hal yang memang tak bisa dielak dan di luar perkiraan.
Namun, masalahnya, banyak kerja-kerja yang disorot dari buruknya kinerja BRR adalah dalam hal pembangunan rumah untuk masyarakat. Ini yang menjadi sorotan. Ya, karena hal-hal ini yang dekat dan menjadi kebutuhan mendesak. Bagi, orang Aceh yang masih tinggal di barak, keberadaan rumah adalah persoalan sangat vital. Jadi, arah pembangunan Aceh yang paling utama dilakukan adalah pembangunan rumah. Setelah itu baru program pembangunan ekonomi.
Memang, ini tak semata kesalahan BRR, melainkan rekanan atau kontraktor yang memegang kendali pembangunan rumah BRR. Banyak kasus terjadi seperti banyak kontraktor yang melarikan diri, dan membuat pembangunan menjadi terbengkalai. Itu sering terjadi. Sementara program perberdayaan ekonomi, sering tak terkontrol, sehingga bantuan menjadi tak maksimal. Harus diakui, banyak bantuan yang diberikan oleh BRR terindikasi dikorupsi, dan digunakan tak tepat sasaran.
Ada lagi fenomena yang membuat jurang pemisah antara para korban tsunami dan pekerja BRR. Satu pihak, merupakan kelompok rentan dan korban, sementara satu lagi elite baru. Memang, ada pembenaran bahwa bekerja di BRR mempengaruhi status social. Orang yang bekerja di BRR menjadi kelompok elite yang tertutup. Semakin tinggi jabatan dan gaji yang diterima, semakin tinggi pula status sosialnya di masyarakat. Karena itu, tak semua orang bisa bekerja di sana. Saya ingat ketika dibuka lowongan untuk posisi Direktur Komunikasi pasca Rufriadi meninggal, saya pernah mengirim CV online saya yang nganggur di internet untuk BRR. Padahal, salah satu persayaratannya adalah harus sarjana, dan bisa bahasa Inggris, toh meski saya tak masuk kategori tetap saya ajukan. Meski tak diterima, tapi saya bisa menyimpan surat penolakan dari BRR untuk kenangan dan juga sejarah. Nah, nanti ketika saya menjadi tua dan ada anak saya komplain kenapa tak masuk dalam komunitas pekerja BRR, saya kan bisa jawab, bukan saya yang tak mau bekerja, tapi lamaran saya ditolak. Hah!
Tapi, bukan itu yang mau kita sampaikan, bagaimana ini terjadi? Kenapa masyarakat masih merasakan bahwa keberadaan BRR tak banyak memberikan pengaruh untuk mereka? Ataukah, perlukah kita bertanya, lupakah orang-orang yang bekerja di BRR itu dengan misi awal pembentukan BRR? Ingatkah mereka pada misi mulia itu? Kita yakin mereka tak pernah lupa, hanya saja misi itu terlalu umum untuk dijabarkan dalam tindakan kongkrit. Jika pun seandainya mereka lupa, kita bisa ingatkan lagi bahwa salah satu misi awal pembentukan BRR adalah membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, baik kehidupan individu maupun sosialnya. Intinya menjadikan masyarakat kedua daerah itu menjadi bermartabat kembali, dan sejahtera!
Nyatanya, yang sejahtera bukan para korban. Yang bermartabat bukan orang-orang yang selamat dari gulungan air. Melainkan para pekerja. Lalu, buat apa juga dana yang besar itu jika hanya untuk menyejahterakan para pekerja BRR? Dunia atau pihak pemberi bantuan telah ikut bersekongkol dan ikut berdosa atas ketidakadilan ini. Dan sepatutnya dikutuk. Tak hanya oleh para korban yang masih selamat, melainkan yang sudah meninggal sekalipun.
Kita bertemu lagi dalam pertanyaan, bagaimana mungkin? Pertanyaan ini dapat disebut sebagai pertanyaan keheranan sekaligus pertanyaan putus asa. Tapi, benar kita memang sedang berputus asa. Kita terputus dengan harapan awal yang digembar-gemborkan sangat manis dan mulia pada awalnya. Kita disuguhkan janji bahwa ke depan kehidupan kita akan sangat sejahtera. Kita bahkan jauh meninggalkan peradaban yang sudah hancur berantakan karena tsunami (dan juga konflik), dan kita diajak untuk sepakat dengan janji akan ada peradaban yang lebih beradab sesungguhnya.
Toh, nyatanya, kita melihat tidak adanya peradaban apapun. Kita terpuruk. Sangat dalam. Lalu, pertanyaan ‘bagaimana mungkin’ seperti tak dapat kita lepaskan. Ia semakin akrab, dan actual untuk dipertanyakan ketimbang harapan masa indah yang dijanjikan. Bagaimana mungkin dana yang besar, tapi tak mampu memberi pengaruh apapun. Bagaimana mungkin dana yang besar itu tak mampu mengubah apapun? Pertanyaan ‘bagaimana mungkin’ kemudian menjadi pertanyaan yang membuahkan jawaban ketidakpastian. Absurd.
Jika itu yang terjadi, dengarlah sepenggal kalimat puitis yang dikutip Erich Fromm dari Kitab Yahudi “Yesaya ayat 21” seperti dikutip di awal tulisan ini:
Hai pengawal, masih lamakah malam ini?
Pengawal itu berkata:
Pagi akan datang, tetapi malam juga akan datang
Jika kamu mau bertanya, bertanyalah:
kembalilah, datanglah sekali lagi
sudah dimuat di Majalah Aceh Magazine
Tags:
Artikel