Orde Baru di Panggung Reformasi

Kebangkitan kembali Neo-Orde Baru—dengan icon mbak Tutut—seharusnya tidak membuat kita tercengang, terkejut, kecut, heran dan kalut. Tetapi harus dilihat sebagai sebuah proses politik yang sehat. Kompetisi secara sehatlah yang hendaknya dijunjung, bukan kecurigaan-kecurigaan sehingga membuat kita tidak bisa melihat sesuatu secara proporsional. Reinkarnasi kekuatan politik Orde Baru—lewat Partai Karya Peduli Bangsa—setidaknya membuat pemilu 2004 penuh dinamika dan hidupnya budaya kompetisi sehingga menghasilkan sesuatu yang legitimite.

Adakalanya, kebangkitan Orde Baru—yang pernah dicaci dan dihujat—menjadi barometer bagi kita untuk menguji kelompok yang benar-benar reformis serta yang oportunis (spekulator politik). Di samping itu, juga untuk melihat kenapa reformasi bisa gagal, serta memperbaiki kembali arah reformasi ke jalan yang benar.

***
Wacana kebangkitan Orba ditanggapi beragam, tetapi satu hal yang pasti kita sempat dibuat kaget dan bimbang. Di tengah semaraknya penjajakan kekuatan tiba-tiba kemunculan Orba menyentakkan lamunan banyak pihak. Orba dianggap ancaman yang serius. Kemunculannya di tengah krisis kepercayaan terhadap pemerintah rezim reformasi menjadi dinamika politik tersendiri yang tidak dapat dilewatkan begitu saja. Media massa tidak luput menempatkannya dalam headline. Beberapa hari media memberitakannya dengan sangat gencar sekali. Seolah-olah ancaman yang cukup serius sedang menanti di depan mata. Banyak pihak dibuat gagap oleh fenomena ini.

Hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebagaimana dipaparkan oleh Mohamad Qodari kepada media bahwa masyarakat kita masih percaya terhadap rezim Orba dan lebih baik kondisi dimasa Orba dibandingkan kondisi sekarang. Ini kenyataan empiris yang harus diterima dengan sikap terbuka bahwa ternyata rezim reformasi telah gagal mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik. Secara keseluruhan, rezim reformasi gagal dalam menjalankan agenda reformasi. Hal itu kemudian berimplikasi negatif bagi rakyat untuk bernostalgia pada romantisme rezim sebelumnya untuk diberikan kembali peluang berkuasa di Indonesia.

Ternyata rakyat lebih memilih Orde Baru harus dilihat sebagai sebuah masukan yang berharga bagi kalangan reformasi. Khususnya gerakan mahasiswa yang menjadi pioner pencetusan reformasi. Bagaimana menyelamatkan reformasi yang sempat dihegemoni oleh kekuatan Orde Baru. Perlu difikirkan langkah ke depan yang lebih matang. Tanpa melihat Orba sebagai ancaman melainkan sebagai bahan retrospeksi untuk menganalisa kenapa reformasi bisa gagal dan kenapa Orba begitu percaya diri untuk tampil kembali ke panggung politik.

Dari tulisan-tulisan pakar di berbagai media yang sempat saya amati juga menyiratkan hal yang sama. Kemunculan Orba dengan baju PKPB boleh jadi ancaman tetapi harus dihadapi dengan kepala yang dingin serta hati-hati. Tulisan-tulisan yang dibuat itu merupakan suatu cara untuk mengkondisikan rakyat supaya tidak salah dalam memilih dalam pemilu mendatang. Analogi dan teori dimunculkan, tujuannya memang sudah jelas menghadang naiknya kembali kekuatan Orba ke panggung politik. Cara seperti ini perlu diberdayakan tetapi tidak sampai keluar dari koridor dan bukan bentuk isolasi politik yang bisa menghancurkan proses politik yang demokratis. Apalagi ada gerakan dari Ornop dan LSM yang mengkampanyekan para politisi busuk menjadi cukup sinergis. Sesuatu itu harus dihadapi dengan sikap rasional dan dewasa.

***
Fenomena kebangkitan Orde Baru—dengan tokoh Tutut—masih mampu menarik minat sebagian kalangan untuk memperdebatkannya. Media massa bagai tidak ingin kehilangan momentum, kehadiran Tutut sebagai calon presiden sempat menjadi headline media-media nasional. Bahkan sempat menjadi wacana menarik dan mendominasi pemberitaan media sampai seminggu. Ke-menarik-annya juga tidak habis-habis dikupas, dianalisis dan dijadikan bahan perdebatan. Orde baru masih hinggap di hati sebagian kalangan kita. Ada pihak yang tidak bisa melupakannya.

Ada kecenderungan rakyat ingin memberikan kesempatan untuk memimpin bangsa ini sekali lagi kepada Orde Baru. Dari wacana yang berkembang—terlepas dari kekejaman masa lalu yang dilakukan Orde Baru—gaya kekuasaan dan sistem pemerintahan Orde Baru lebih diterima ketimbang orde reformasi. Stabilitas politik dengan kekuasaan tritunggal: Birokrasi, militer dan Golkar masih “lebih baik” jika dibandingkan dengan sekarang. Ukuran “lebih baik” itu digunakan untuk rezim neo-fasisme Orde Baru dan kalah populer dengan rezim demokratis pasca reformasi. Walaupun rezim Orde Baru disebut fasis, rasis dan otoriter tetapi masih lebih baik jika dibandingkan dengan rezim sekarang. Untuk itu fenomena Syndrome Akut Rindu Soeharto (SARS) harus dilihat pada koridor ini.

Orde Baru lebih punya pengalaman dalam memimpin negara ini ketimbang rezim yang lahir sesudahnya. Usia 32 tahun bukanlah umur yang pendek untuk sebuah pembelajaran manajemen mengelola negara. Susah senang dan titik lemah memimpin negara menjadi bahan review untuk memperbaikinya. Kesalahan dan kelemahan masa lalu masih bisa diperbaiki dan diperbaharui. Untuk mengelola negara yang besar ini, tidak perlu repot-repot untuk membenahnya dari nol. Karena hanya membuang-buang kesemmpatan dan energi. Ini juga sering diungkapkan oleh banyak kalangan bahwa hanya sistem yang tidak cocoklah yang perlu di reformasi, tidak harus semuanya. Sehingga kenapa ini dinamakan reformasi. Jika ternyata reformasi gagal, itu semata-mata kerena aktor-aktor sekarang tidak memiliki kecakapan memimpin negera ini. Alasan yang bisa diajukan, mungkin letak kegagalan reformasi karena aktor-akt ornya tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Orde Baru. Apabila ini yang dijadikan kunci kegagalan reformasi maka yang dibutuhkan kedepan adalah revolusi. Konsep revolusi untuk kondisi sekarang menjadi isu yang digarap secara serius oleh kelangan reformis yang kecewa dengan gaya kepemimpinan orang-orang yang lahir dalam kancah reformasi.

Revolusi—apalagi jika diwarnai kekerasan—akan semakin menjauhkan bangsa ini dari cita-cita semula: mewujudkan kesejahteraan bersama. Tetapi revolusi bisa menjadi solusi ketika berbagai kekuatan politik tidak bisa diharapkan mempu membuat perubahan. Maka jalan satu-satunya adalah revolusi. Namun, kita harus membayar mahal untuk itu. Yaitu rusaknya sistem yang telah mapan dan kita harus kembali memulai membangun negara ini dari nol. Padahal ada pameo “untuk membunuh tikus dalam karung tidak harus membakar lumbung padi.” Ada cara-cara yang bisa dilakukan dan itu tidak merusak apa yang telah ada.

Masalahnya sekarang adalah apakah diperlukan sebuah revolusi untuk memperbaiki keterpurukan negara ini jika hanya karena aktor-aktor reformasi tidak bersih dan tidak mampu melepaskan diri dari bayang-bayang Orde Baru? Bukankah hanya aktor-aktor ini yang perlu disingkirkan! Untuk itu, dalam pemilu 2004 ini rakyat harus selektif dalam memilih. Masa 5 tahun berjalannya roda reformasi tentunya membuat rakyat semakin cerdas dan mampu mengenali mana tokoh yang benar-benar reformsi dan tidak. Rakyat jangan mudah tergiur dengan tawaran program-program perubahan dan perbaikan nasib rakyat yang bakal semarak dijual oleh partai-partai politik dalam kampanye mendatang. Sebab, bangsa ini masih diberikan kesempatan sekali lagi untuk berharap pada Pemilu mendatang ini. Tetapi, jika ternyata pemilu mendatang juga gagal membuat perubahan, ucapkan selamat tinggal untuk reform asi dan juga negeri ini. Karena, dipastikan negeri ini akan kembali jatuh ke tangan orang-orang yang pandai mengemis pada negara lain. Dan itu merupakan bentuk “pelacuran” negara secara terang-terangan dimana negara ini akan kehilangan martabat dan marwah bangsanya.

***
Untuk itu ada sikap umum yang perlu dipahami dari fenomena kebangkita Orde Baru. Pertama, kebangkitan Orde Baru harus dilihat sebagai kecenderungan sebuah rezim menguji kekuatan, memetakan basis pendukung dan kemungkinan untuk berkuasa kembali. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan eksistensi, apakah mereka masih diterima oleh rakyat atau tidak? Kedua, sebagaimana logika yang telah disampaikan di atas, bahwa kebangkitan Orde Baru harus dilihat sebagai medium “pengujian” tokoh-tokoh yang mengklaim diri berada dibelakang kaum reformis. Adanya wacana ataupun dinamika kebangkitan Orde Baru bisa digunakan untuk menguji tokoh-tokoh yang benar-benar reformis dan tokoh-tokoh karbitan.

Yang punya keterkaitan ideologis dengan rezim sebelumnya pasti akan tampak jelas dan mereka akan mencoba dekat kembali dengan kelompok Orba lewat berbagai cara. Premis ini masih mujarab untuk digunakan, karena diantara mereka yang mengklaim diri reformis pastilah tidak bersih diri dan mereka akan membangun kembali kekuatan untuk berkuasa. Kelompok reformasi harus jeli dan cerdas menganalisanya.

Oleh karena itu, untuk menguji mana kelompok reformis dan bukan, kehadiran Orde Baru ke panggung politik kembali cukup memberikan manfaat. Dan Pemilu mendatang ini adalah medan tempurnya. Apakah kehadiran Orde Baru di panggung reformasi hanya menjadi tumbal atau ada pesan tersirat untuk menyaring aktor-aktor reformasi yang benar-benar “bersih lingkungan.”

(Taufik Al Mubarak, adalah pemerhati masalah politik dan sosial kemasyarakatan)

--- Tulisan ini dah pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, saat sebelum Pemilu 2004. Tapi saya lupa tanggalnya, karena saya masih di Jakarta ketika tulisan ini dimuat.

Post a Comment

Previous Post Next Post