Sulitnya Menangkap Jenderal Talangsari

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia kembali suram. Penyelidikan atas kasus-kasus HAM tersebut tidak mendapat respon positif dari pihak TNI. Hal ini, misalnya, terbaca dari pernyataan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang meminta para Purnawirawan Jenderal untuk tidak memenuhi panggilan Komnas HAM. Tak pelak, pernyataan tersebut menjadi berita hangat yang menghiasi media massa belakangan ini.

Seperti dilaporkan media, sejumlah Jenderal Purnawirawan, AM Hendropriyono, Try Sutrisno dan Wismoyo Arismunandar menolak hadir ke Komnas HAM beberapa waktu lalu saat dipanggil oleh Komnas HAM untuk dimintai keterangan terkait dengan kasus pelanggaran HAM berat Talangsari, Lampung. Ketiganya diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM Talangsari.

Hanya eks Menko Polkam, Laksamana Purn Sudomo yang memenuhi panggilan Komnas HAM. Sementara yang lainnya memilih mangkir.

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono melarang para jenderal memenuhi panggilan Komnas HAM, karena menurutnya, tindakan itu tidak perlu. Menhan mensandarkan argumennya pada asas retroaktif, di mana kasus Talangsari tidak terkena asas tersebut.

Menurut dia, pemanggilan itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 ayat 1. Di sana disebutkan asas retroaktif tidak berlaku, karena Undang-Undang HAM dikeluarkan pada 1999 dan UU Pengadilan HAM pada 2000. Adapun kasus Talangsari terjadi pada 1989.

”Pasal 28 ayat 1 UUD disebutkan azas retroaktif tidak berlaku karena bertentangan dengan hak azasi. Namun pasal 5, azas retroaktif itu dapat dilakukan dalam proses tertentu misalnya untuk kasus Timtim ada UU-nya,” kata Menhan di Gedung DPR, Senayan Jakarta seperti dikutip detikcom, Senin (24/3)

Pernyataan Menhan itu, diakuinya sudah sesuai dengan undang-undang. Karenanya, Menhan meminta kepada Komnas Ham untuk menunda pemanggilan para purnawirawan terkait kasus Talangsari lampung.

”Pada waktu Komnas HAM meminta untuk kasus Talangsari itu belum ada UU-nya. Harus ada pertimbangan hukum untuk mengusut Talangsari. Jadi kalau meminta para purnawirawan untuk hadir sebagai saksi, jangan dulu karena belum ada UU-nya,” jelas Menhan.

Argumentasi Menhan digugat oleh para LSM karena, menurut mereka, asas retroaktif bisa diterapkan untuk kejahatan HAM. ”Asas seseorang tidak boleh dihukum dengan aturan yang berlaku surut (retroaktif) tidak berlaku untuk kejahatan HAM. Lagi pula pemanggilan Komnas itu bukan berarti para jenderal purnawirawan itu ditetapkan jadi tersangka.

Cuma masalahnya, kata Usman Hamid seperti dikutip www.ranesi.nl (25/3), sampai sekarang masih terjadi polemik perdebatan hukum yang belum berakhir. Karena kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terjadi sebelum Undang-undang pengadilan HAM disahkan, apakah bisa langsung diselidik oleh Komnas HAM atau memerlukan semacam keputusan politik dari DPR.

”Saya heran, ketika muncul pernyataan Menhan yang menghimbau para jenderal tidak perlu hadir ke Komnas HAM karena Komnas tidak punya wewenang melakukan pemanggilan,” kata Usman kepada radio Belanda tersebut.

Hal yang membuat heran Hamid, karena sebelumnya Menhan termasuk orang yang mendukung proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok. Saat mengusut kasus-kasus itu, kata Usman, Komnas HAM mendapat dukungan penuh dari Menhan.

Usman memaklumi pendapat Menhan, yang mengatakan bahwa penyelidikan kasus Talangsari yang melibatkan para purnawirawan TNI bertentangan dengan konstitusi. Menhan, sebut Usman, berpedoman pada UUD 1945 amandemen kedua, di mana terdapat suatu jaminan konstitusional terhadap setiap orang, dalam hal ini purnawirawan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

”Menhan menilai bahwa penyelidikan HAM, itu melanggar prinsip terdasar dari hukum pidana yang ada di dalam konsitutusi yaitu non-retrospektif,” ujar Usman mengenai pendapat Menhan yang menurutnya harus dibedakan untuk kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Talangsari.

Saat kasus Talangsari terjadi pada Tahun 1989, AM Hendropriyono (saat itu masih berpangkal kolonel) menjabat sebagai Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung, Wismoyo Arismunandar sebagai Panglima Kodam IV/Diponegoro dan Try Sutrisno sebagai Panglima TNI.

Soal jumlah korban yang tewas dalam kasus tersebut juga masih simpang siur sampai sekarang. Menurut versi militer, korban tewas sekitar 30 orang, namun menurut versi penduduk dan lembaga pembela HAM, jumlah korban yang tewas mencapai 280 orang.

Tindakan Menhan tersebut membuat kesal Presiden SBY. Presiden berjanji akan memberikan teguran pada Menhan atas pernyataan yang di luar batas kewenangan tersebut. Karena proses penyelesaian kasus Talangsari bukan kewenangan Dephan.

Pernyataan itu disampaikan SBY saat menerima wakil dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) di Kantor Presiden, Rabu (26/3). Kedatangan wakil dari KontraS itu terkait dengan hari jadi KontraS yang ke-10.

”Supaya langkah-langkah hukum tidak terhalang pernyataan pejabat negara yang tidak berwenang di bidangnya,” ujar Koordinator KontraS Usman Hamid mengutip SBY.

Menurutnya, SBY setelah mendengar pemaparan dari KontraS mengenai proses hukum kasus Talangsari, langsung menanyakan keberadaan menhan untuk dimintai klarifikasi. Menko Polhukam Widodo AS yang hadir dalam pertemuan mengatakan, Juwono saat ini sedang dalam kunjungan kerja di Australia

SBY juga memberikan personal guarantee pada KontraS untuk bisa menghubungi siapapun pejabat negara terkait pendampingan yang sedang berjalan. Sebaliknya, pejabat yang dihubungi berkewajiban memberi pelayanan agar kasus kekerasan dapat segera dituntaskan.

”Silahkan KontraS menghubungi pejabat negara mana pun terkait proses pendampingan yang dilakukan. Bilang saja sudah ketemu saya. Pejabat negara harus memberikan pelayanan dalam tuntaskan kasus kekerasan. Tidak pedulu apakah statusnya pelanggaran HAM berat, biasa atau apa pun yang penting keadilan ditegakkan,” papar Usman masih mengutip komitmen SBY.

Berpegang pada personal guarantee presiden ini, pihak KontraS akan segera menemui Menhan Juwono Sudharsono untuk membicarakan kasus Talangsari. Jadwal pertemuan akan dipastikan begitu menhan tiba di Tanah Air.

”Awal pekan depan, saya akan bertemu menhan membahasnya,” ujar Usman.

Sebenarnya, Komnas HAM sudah bertekad menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu, di antaranya kasus Talangsari. Namun, langkah yang ditempuh oleh Komnas HAM selalu kandas karena tidak ada respon positif dari para jenderal yang selalu menolak panggilan Komnas HAM. Tak hanya itu, panglima TNI seperti lepas tangan.

”Beliau jenderal purnawirawan. Itu sudah bukan anggota TNI. Tentu itu jadi hak masing-masing individu menyikapi itu,” kata Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (25/3)

Karena bukan anggota TNI lagi, kata Djoko, TNI menyerahkan kasus Talangsari pada proses hukum yang berlaku.

”TNI menyerahkan pada proses hukum yang berlaku dan asas praduga tak bersalah sesuai dengan konstitusi,” lanjutnya.

Djoko menjelaskan ketidakhadiran para jenderal adalah hak pribadi dan tidak mencoreng korps TNI. Djoko enggan berpendapat apakah perlu ada UU khusus untuk menangani kasus Talangsari. ”Tidak tahu. Lihat saja penjelasan Menhan bagaimana UU menjelaskan itu,” pungkasnya.

Sementara Ketua DPR, Agung Laksono, meminta para purnawirawan Jenderal yang dipanggil oleh Komnas HAM untuk memberi keterangan dalam kasus dugaan pelanggaran HAM Talangsari.

”Kalau diminta diundang, saya kira wajib memenuhi undangan itu. Kan diundang kenapa tidak hadir?” kata Agung di Gedung DPR, Senayan Jakarta seperti dikutip detikcom (19/3) lalu. Menurut Agung, pemanggilan yang dilakukan oleh Komnas Ham memiliki dasar hukum apalagi karena ada kebutuhan politik.

Terkait dengan pernyataan Menhan yang meminta purnawirawan untuk tidak hadir memenuhi panggilan Komnas HAM, Agung meminta Komisi I DPR RI untuk meminta klarifikasi dari Menhan.

Meskipun para jenderal itu tidak mau memenuhi panggilan Komnas HAM, penyelidikan kasus pelanggaran HAM tersebut tetap jalan terus. Pihak Komnas HAM seperti disampaikan oleh Yoseph Adi Prasetyo, Komisioner Komnas HAM sedang menyusun laporan yang direncanakan akan siap pada akhir April mendatang.

Pihak Komnas HAM akan menyusun laporan-laporan itu tanpa menunggu kehadiran sejumlah jenderal TNI. Menurut Adi, pihaknya sudah cukup memiliki bukti dan 100 saksi yang telah memberikan keterangan terkait keterlibatan sejumlah jenderal tersebut.

"Kami tidak akan menunggu mereka," kata Yoseph seperti dikutip Koran Tempo 925/3). Menurut dia, laporan Komnas HAM tidak bergantung pada keterangan pelaku. Kelak, setelah laporan selesai disusun, selanjutnya akan diserahkan kepada Kejaksaan Agung.

Atas pernyataan Menhan, Stanley menilai bahwa Juwono tidak mengerti hak asasi manusia. "Ia hanya membaca undang-undang," katanya. Dalam HAM, kata dia, apa pun bisa diusut. Ia mengacu pada pengadilan pelaku pelanggaran HAM Nuremberg, Jerman, yang dilakukan bertahun-tahun setelah Perang Dunia II berakhir. []

NB: sudah dimuat di halaman fokus Harian Aceh, Kamis 27 Maret 2008

Post a Comment

Previous Post Next Post