Akhir-akhir ini istilah pajak nanggroe semakin sering kita dengar. Malah, pajak nanggroe dituding sebagai penghambat investasi di Aceh. Banyak investor menolak menanamkan modalnya di Aceh karena tidak sanggup membayar pengutan liar itu.
“Apa pun namanya yang jelas itu adalah pungutan liar dan sangat memberatkan dan bahkan akan menghambat investor untuk menanamkan modalnya di daerah ini,” tegas Danrem 011/LW, Kolonel Inf M.Erwin Safitri dalam pertemuan dengan keluarga besar TNI, di aula Makorem, Rabu (12/3) lalu.
Institusi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) langsung dikait-kaitkan dengan maraknya pajak nanggroe akhir-akhir ini di Aceh. Pasalnya, saat konflik dulu, GAM sangat aktif mengutip pajak nanggroe untuk mendukung perjuangan mereka. Tapi, untuk kondisi sekarang, khususnya pasca MoU Helsinki GAM mengaku sama sekali tidak meminta prajuritnya di lapangan mengutip pajak nanggroe.
Untuk meluruskan hal itu, dalam siaran pers kepada Harian Aceh, Minggu (16/3), Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA), Ibrahim Bin Syamsuddin membantah kebijakan pengutipan pajak itu sebagai kebijakan mereka.
”Kami banyak menerima laporan dari beberapa pihak yang menuding kami sebagai pelaku,” katanya.
Menurutnya, pajak nanggroe itu kutipan dana dari masyarakat yang dilakukan GAM semasa konflik. Sementara sekarang, Ibrahim menyebutkan pengutipan pajak nanggroe haram dilakukan oleh anggotanya di lapangan.
”Tidak ada kebijakan dari organisasi GAM untuk mengutip sumbangan kepada rakyat. Jika ada yang masih melakukan itu segera lapor ke polisi karena itu pemerasan,” tandasnya.
Ibrahim bin Syamsuddin yang lebih dikenal dengan KBS ini menjelaskan bahwa hasil penelusuran pihaknya di lapangan, menemukan adanya pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menjual nama KPA dan GAM untuk tujuan dan maksud tertentu. Menurut KBS, apa yang dilakukan oleh oknum tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau menjelekkan nama organisasi yang akan merugikan rakyat Aceh dan KPA.
Karenanya, ujar KBS, pihaknya meminta kepada Kepolisian Aceh untuk menindak tegas pelaku yang sudah menjelekkan KPA dan meresahkan masyarakat.
“Kami juga tidak bertanggung jawab jika ada orang yang mengaku anggota KPA dan mengutip pajak nanggroe, karena itu sudah merupakan masalah hukum yang menjadi tanggung jawab polisi,” tambahnya.
Melalui siaran persnya, KBS mengimbau masyarakat Aceh untuk tidak segan-segan melaporkan kepada polisi, jika ada mantan GAM atau orang yang mengatasnamakan KPA meminta sumbangan kepada masyarakat dalam bentuk apa pun.
Setidaknya, apa yang disampaikan oleh KBS bukan lagi isapan jempol belaka. Banyak proyek-proyek yang harus berhenti di tengah jalan karena tidak sanggup memenuhi besarnya pungutan liar. Akibatnya, banyak bangunan fisik milik masyarakat yang seharusnya selesai dibangun ditelantarkan.
Kasus yang menjadi sorotan banyak pihak adalah kutipan terhadap kontraktor yang membangun 163 unit rumah tipe 36 di Blang Crum, Lhokseumawe pada November 2006, dua tahun lalu. Pihak yang mengaku dari GAM atau KPA meminta jatah dana per unit rumah sekitar Rp2,5 juta.
Artinya, jika ada 163 unit rumah, berarti uang yang harus diberikan berjumlah Rp407 juta. Setelah sempat terjadi tawar-menawar akhirnya, disepakati dana yang diberikan turun menjadi Rp150 juta. Jika dana itu tidak diberikan, pihak kontraktor yang membangun rumah di situ tidak boleh bekerja lagi.
Begitulah fenomena yang terjadi di Aceh sekarang. Entah siapa yang melakukan, tak ada informasi resmi yang bisa dipercaya. Masing-masing pihak saling memberi bantahan dan mengaku tidak melakukan kutipan tersebut.
Jika praktik ini tak segera diakhiri, akan banyak proyek fisik di Aceh yang tidak terjamin kualitasnya, karena banyak dana yang terserap untuk kutipan tak resmi tersebut.
Imbasnya, nantinya akan menimpa para investor. Mereka pasti enggan menanamkan modalnya di Aceh, karena mereka harus mengeluarkan dana ektra selain untuk anggaran yang sudah diplotkan.
Pajak Nanggroe versi GAM
Istilah pajak nanggroe, sudah lama terdengar di Aceh, khususnya saat konflik berkecamuk. Pajak nanggroe adalah sejenis setoran kepada pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari pengusaha atau dari proyek-proyek yang dibuat di daerah basis-basis mereka. Sistemnya resmi, seperti pajak yang kita kenal sekarang. Mereka menetapkan jumlah pajak sesuai dengan jenis proyek dan besaran anggaran dari proyek tersebut. Malah, saat CoHA, pihak GAM juga menerbitkan sejenis surat yang berisi tentang pembayaran pajak dari sejumlah pengusaha dan proyek vital yang ada di Aceh.
Istilah pajak nanggroe menjadi terkenal, saat juru runding GAM, Tgk Sofyan Ibrahim Tiba, SH (kini Almarhum) mengesahkan pengutipan pajak nanggroe oleh prajurit GAM atau Tentara Neugara Aceh (TNA). Dana dari hasil pajak nanggroe ini digunakan untuk biaya operasional GAM dan juga dana untuk membeli senjati api.
Dalam pledoi yang disampaikan di PN Banda Aceh, 9 Oktober 2003 silam, Sofyan menyebutkan bahwa pengutipan pajak nanggroe menunjukkan bahwa GAM sudah diakui eksistensinya dalam masyarakat Aceh. Kesediaan masyarakat, pengusaha dan perusahaan vital di Aceh membayar pajak kepada GAM, menurut Sofyan, karena rakyat sudah mengikuti administrasi GAM.
“GAM telah mampu menerapkan pajak kepada rakyat Aceh yang mempunyai pendapatan,” ujar Tgk Sofyan saat sidang tersebut.
Tentang adanya kutipan pajak nanggroe juga pernah diakui oleh Gubernur Aceh saat itu, Abdullah Puteh (kini mantan). Abdullah mengakui hal itu ketika dituding banyak melakukan penyelewengan terhadap RAPBD 2003 oleh lembaga antikorupsi.
Menurut Abdullah Puteh, seperti dikutip Koran Tempo (21/04/03), secara resmi pihaknya tidak pernah melakukan penyetoran dana untuk GAM. Tapi menurut Puteh, dalam prakteknya bukan tidak mungkin pelaksana proyek terpaksa harus mengalokasikan sejumlah dana jika ada GAM yang meminta jatah. “Misalnya ada proyek pembangunan jembatan, kadang-kadang ada GAM yang meminta jatah dari pelaksana proyek. Kalaupun diberikan itu untuk keselamatan pelaksana proyek,” kata Puteh.
Lalu, kemana dana itu digunakan oleh GAM? Menurut Juru Bicara Militer GAM, Tgk Sofyan Dawood, dana itu selain digunakan untuk operasional GAM, menyantuni masyarakat yang menjadi korban konflik bersenjata, juga dimanfaatkan sebagai modal menyiapkan infrastruktur pemerintahannya jika kelak merdeka.
“Pajak ini sah dan diakui Negara manapun di dunia. Karena kami pemerintahan yang sah, kami menarik pajak. Dari pada kami merampok proyek pemerintah Jakarta, lebih baik kami tarik pajak Aceh,” kata Sofyan tentang pajak nanggroe. Tgk Sofyan Dawood mengaku punya hukum untuk mengatur kehidupan rakyat. Jika menolak, katanya, GAM punya mekanisme hukum.
Apa yang dilakukan saat itu termasuk berhasil, karena banyak pihak yang mau menyetor dana kepada GAM, baik karena terpaksa atau karena simpati pada perjuangan GAM.
Lalu, apakah praktik yang sudah diharamkan itu, masih juga dilakukan sekarang? Tidak ada yang tahu pasti. Kecuali laporan-laporan di media, yang menyebutkan banyak proyek di Aceh terbengkalai dan tidak bermutu karena banyaknya anggaran yang harus disetor kepada oknum pengutip pajak tersebut.
Pajak itu entah untuk Nanggroe, atau untuk pribadi. Tidak ada yang tahu pasti. []
NB: sudah dimuat di halaman fokus Harian Aceh, 26 Maret 2008
“Apa pun namanya yang jelas itu adalah pungutan liar dan sangat memberatkan dan bahkan akan menghambat investor untuk menanamkan modalnya di daerah ini,” tegas Danrem 011/LW, Kolonel Inf M.Erwin Safitri dalam pertemuan dengan keluarga besar TNI, di aula Makorem, Rabu (12/3) lalu.
Institusi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) langsung dikait-kaitkan dengan maraknya pajak nanggroe akhir-akhir ini di Aceh. Pasalnya, saat konflik dulu, GAM sangat aktif mengutip pajak nanggroe untuk mendukung perjuangan mereka. Tapi, untuk kondisi sekarang, khususnya pasca MoU Helsinki GAM mengaku sama sekali tidak meminta prajuritnya di lapangan mengutip pajak nanggroe.
Untuk meluruskan hal itu, dalam siaran pers kepada Harian Aceh, Minggu (16/3), Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA), Ibrahim Bin Syamsuddin membantah kebijakan pengutipan pajak itu sebagai kebijakan mereka.
”Kami banyak menerima laporan dari beberapa pihak yang menuding kami sebagai pelaku,” katanya.
Menurutnya, pajak nanggroe itu kutipan dana dari masyarakat yang dilakukan GAM semasa konflik. Sementara sekarang, Ibrahim menyebutkan pengutipan pajak nanggroe haram dilakukan oleh anggotanya di lapangan.
”Tidak ada kebijakan dari organisasi GAM untuk mengutip sumbangan kepada rakyat. Jika ada yang masih melakukan itu segera lapor ke polisi karena itu pemerasan,” tandasnya.
Ibrahim bin Syamsuddin yang lebih dikenal dengan KBS ini menjelaskan bahwa hasil penelusuran pihaknya di lapangan, menemukan adanya pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menjual nama KPA dan GAM untuk tujuan dan maksud tertentu. Menurut KBS, apa yang dilakukan oleh oknum tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau menjelekkan nama organisasi yang akan merugikan rakyat Aceh dan KPA.
Karenanya, ujar KBS, pihaknya meminta kepada Kepolisian Aceh untuk menindak tegas pelaku yang sudah menjelekkan KPA dan meresahkan masyarakat.
“Kami juga tidak bertanggung jawab jika ada orang yang mengaku anggota KPA dan mengutip pajak nanggroe, karena itu sudah merupakan masalah hukum yang menjadi tanggung jawab polisi,” tambahnya.
Melalui siaran persnya, KBS mengimbau masyarakat Aceh untuk tidak segan-segan melaporkan kepada polisi, jika ada mantan GAM atau orang yang mengatasnamakan KPA meminta sumbangan kepada masyarakat dalam bentuk apa pun.
Setidaknya, apa yang disampaikan oleh KBS bukan lagi isapan jempol belaka. Banyak proyek-proyek yang harus berhenti di tengah jalan karena tidak sanggup memenuhi besarnya pungutan liar. Akibatnya, banyak bangunan fisik milik masyarakat yang seharusnya selesai dibangun ditelantarkan.
Kasus yang menjadi sorotan banyak pihak adalah kutipan terhadap kontraktor yang membangun 163 unit rumah tipe 36 di Blang Crum, Lhokseumawe pada November 2006, dua tahun lalu. Pihak yang mengaku dari GAM atau KPA meminta jatah dana per unit rumah sekitar Rp2,5 juta.
Artinya, jika ada 163 unit rumah, berarti uang yang harus diberikan berjumlah Rp407 juta. Setelah sempat terjadi tawar-menawar akhirnya, disepakati dana yang diberikan turun menjadi Rp150 juta. Jika dana itu tidak diberikan, pihak kontraktor yang membangun rumah di situ tidak boleh bekerja lagi.
Begitulah fenomena yang terjadi di Aceh sekarang. Entah siapa yang melakukan, tak ada informasi resmi yang bisa dipercaya. Masing-masing pihak saling memberi bantahan dan mengaku tidak melakukan kutipan tersebut.
Jika praktik ini tak segera diakhiri, akan banyak proyek fisik di Aceh yang tidak terjamin kualitasnya, karena banyak dana yang terserap untuk kutipan tak resmi tersebut.
Imbasnya, nantinya akan menimpa para investor. Mereka pasti enggan menanamkan modalnya di Aceh, karena mereka harus mengeluarkan dana ektra selain untuk anggaran yang sudah diplotkan.
Pajak Nanggroe versi GAM
Istilah pajak nanggroe, sudah lama terdengar di Aceh, khususnya saat konflik berkecamuk. Pajak nanggroe adalah sejenis setoran kepada pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari pengusaha atau dari proyek-proyek yang dibuat di daerah basis-basis mereka. Sistemnya resmi, seperti pajak yang kita kenal sekarang. Mereka menetapkan jumlah pajak sesuai dengan jenis proyek dan besaran anggaran dari proyek tersebut. Malah, saat CoHA, pihak GAM juga menerbitkan sejenis surat yang berisi tentang pembayaran pajak dari sejumlah pengusaha dan proyek vital yang ada di Aceh.
Istilah pajak nanggroe menjadi terkenal, saat juru runding GAM, Tgk Sofyan Ibrahim Tiba, SH (kini Almarhum) mengesahkan pengutipan pajak nanggroe oleh prajurit GAM atau Tentara Neugara Aceh (TNA). Dana dari hasil pajak nanggroe ini digunakan untuk biaya operasional GAM dan juga dana untuk membeli senjati api.
Dalam pledoi yang disampaikan di PN Banda Aceh, 9 Oktober 2003 silam, Sofyan menyebutkan bahwa pengutipan pajak nanggroe menunjukkan bahwa GAM sudah diakui eksistensinya dalam masyarakat Aceh. Kesediaan masyarakat, pengusaha dan perusahaan vital di Aceh membayar pajak kepada GAM, menurut Sofyan, karena rakyat sudah mengikuti administrasi GAM.
“GAM telah mampu menerapkan pajak kepada rakyat Aceh yang mempunyai pendapatan,” ujar Tgk Sofyan saat sidang tersebut.
Tentang adanya kutipan pajak nanggroe juga pernah diakui oleh Gubernur Aceh saat itu, Abdullah Puteh (kini mantan). Abdullah mengakui hal itu ketika dituding banyak melakukan penyelewengan terhadap RAPBD 2003 oleh lembaga antikorupsi.
Menurut Abdullah Puteh, seperti dikutip Koran Tempo (21/04/03), secara resmi pihaknya tidak pernah melakukan penyetoran dana untuk GAM. Tapi menurut Puteh, dalam prakteknya bukan tidak mungkin pelaksana proyek terpaksa harus mengalokasikan sejumlah dana jika ada GAM yang meminta jatah. “Misalnya ada proyek pembangunan jembatan, kadang-kadang ada GAM yang meminta jatah dari pelaksana proyek. Kalaupun diberikan itu untuk keselamatan pelaksana proyek,” kata Puteh.
Lalu, kemana dana itu digunakan oleh GAM? Menurut Juru Bicara Militer GAM, Tgk Sofyan Dawood, dana itu selain digunakan untuk operasional GAM, menyantuni masyarakat yang menjadi korban konflik bersenjata, juga dimanfaatkan sebagai modal menyiapkan infrastruktur pemerintahannya jika kelak merdeka.
“Pajak ini sah dan diakui Negara manapun di dunia. Karena kami pemerintahan yang sah, kami menarik pajak. Dari pada kami merampok proyek pemerintah Jakarta, lebih baik kami tarik pajak Aceh,” kata Sofyan tentang pajak nanggroe. Tgk Sofyan Dawood mengaku punya hukum untuk mengatur kehidupan rakyat. Jika menolak, katanya, GAM punya mekanisme hukum.
Apa yang dilakukan saat itu termasuk berhasil, karena banyak pihak yang mau menyetor dana kepada GAM, baik karena terpaksa atau karena simpati pada perjuangan GAM.
Lalu, apakah praktik yang sudah diharamkan itu, masih juga dilakukan sekarang? Tidak ada yang tahu pasti. Kecuali laporan-laporan di media, yang menyebutkan banyak proyek di Aceh terbengkalai dan tidak bermutu karena banyaknya anggaran yang harus disetor kepada oknum pengutip pajak tersebut.
Pajak itu entah untuk Nanggroe, atau untuk pribadi. Tidak ada yang tahu pasti. []
NB: sudah dimuat di halaman fokus Harian Aceh, 26 Maret 2008
Tags:
fokus