Kegelisahan

Kita sambut 2009 dalam kegelisahan. Anda, saya dan kita semua gelisah. Bukan gelisah pada nasib yang belum pasti, tapi pada mereka yang hanya pandai berjanji namun lupa menepatinya. Kita rakyat selamanya bernasib seperti Becho atau sejenisnya. Kita tak ubahnya dibuat seperti daun serai untuk penyedap (peunyum rasa) masakan.

Kita sambut 2009 dalam ketidakpastian. Kita tak tahu apakah setahun ke depan, nasib kita menjadi lebih baik atau justru tambah buruk. Kita tak tahu menjawab apa, sebab kita seperti bosan menjalaninya. Saban tahun, kita diajak menatap masa depan lebih cerah. Kita dibuat terlena oleh mimpi bercampur ilusi. Namun, kita lupa membedakannya.

Entahlah, apakah kita siap mendengarkan mimpi-mimpi yang bakal diperdengarkan kepada kita atau tidak. Sebab, ke depan, mereka-mereka yang ‘gila’ kursi akan membius kita: “pilih saya, kita songsong masa depan menjadi lebih baik.” Kita akan sering menemui ungkapan seperti itu di setiap saat dan di berbagai tempat. Mereka yang ‘merasa’ berwajah ‘tidak jelek-jelek amat’ tanpa malu-malu memamerkan senyum, dengan segudang janji yang siap dihidangkan. Mereka begitu percaya, bahwa kita akan mendengarnya, meski mereka cuma berpura-pura.

Tapi, dimana mereka ketika kita sedang gelisah menatap masa depan? Tak ada yang tahu. Bisa jadi mereka sedang bergumul dengan gemerlapnya lampu diskotik, pesta minuman keras atau bisa juga sedang dikerubungi gadis-gadis gemulai. Tak usah bertanya soal tempat. Sebab, mereka sudah pasti memesan yang berkelas, hanya orang-orang yang berkantong tebal yang bisa ke sana.

Jadi, tak usah mencari mereka ketika kita sedang gelisah menyongsong tahun baru. Sebab, jawaban yang bakal kita terima, bisa jadi tak akan jauh berbeda seperti sepenggal syair yang dikutip Erich Fromm dari Yesaya 21:

Hai pengawal, masih lamakah malam ini?
Pengawal itu berkata:
Pagi akan datang, tetapi malam juga akan datang
Jika kamu mau bertanya, bertanyalah:
kembalilah, datanglah sekali lagi.

Ya, sang ajudan mereka bakal meminta kita menanti. Kita pun musti memakluminya. Soalnya, saat ini kita sedang butuh mereka meminta penjelasan, apakah nasib kita ke depan menjadi lebih baik atau justru sebaliknya. Hal itu akan berbeda, ketika mereka membutuhkan kita. Kita bakal dirayu dengan seribu janji seperti yang sering kita lihat di spanduk-spanduk yang dipajang di setiap sudut kota, sampai merusak pemandangan, karena ternyata mereka sedang mempertontonkan kemunafikan. Mereka juga bakal menggunakan kata-kata yang paling indah melebihi karya yang mampu digubah seorang penyair. Semua mereka lakukan demi sebuah kursi. Ya, demi sebuah kursi.

Dan seperti yang sering terjadi, pada akhirnya kita tetaplah diperlakukan sebagai sebuah Becho atau sekedar daun serai. Becho hanya digunakan ketika jalan sedang dibuat atau untuk membuka jalan baru. Ketika jalan sudah bagus setelah dilapisi aspal yang licin, Becho tak boleh melintasinya, sebab akan membuat jalan jadi rusak. Nasib kita juga seperti daun serai, yang sering digunakan untuk peunyum masakan. Tetapi, ketika masakan sudah masak dan siap disantap, apakah daun serai masih dibutuhkan? Sama sekali tidak. Daun serai digeser ke pinggir piring bahkan dicampakkan ke tempat rah ie jaroe. Daun serai sama sekali tak dibutuhkan lagi. Lalu, wajarkah jika kita kemudian dinenangkan dengan sekedar ungkapan: jangan menangis hanya karena sesuap nasi sudah habis kita makan? Entahlah! (HA 010109)

Post a Comment

Previous Post Next Post