Meulanggeh

Saya ingin bercerita tentang seorang pejabat di negeri antah berantah. Kalau dulu pejabat itu tersandung kasus asusila, sekarang giliran anaknya yang tersandung kasus barang haram. Tapi, karena dia sangat berkuasa, hampir tak ada yang bisa menyentuhnya. Kasus tersebut terdiam dengan sendirinya. Dengar-dengar, dia pandai ‘melobi’ para wartawan agar berita tentang anaknya lolos dan tak termuat di media.


Meskipun semua orang tahu kalau pejabat itu lebih banyak salahnya ketimbang benar, tetap tak ada protes. Orang-orang di kantor masih setia menghormatinya dan juga ‘menjilatnya’. Semua orang memasang muka manis ketika menghadapnya. Kata-kata yang berbalut ‘kesan menjilat’ seperti ‘ya bapak!’ kerap didengarnya dari bawahan. Dia hanya senyum-senyum saja. Dalam hati dia tertawa.

Seperti pernah diberitakan sebuah media, anak si pejabat itu ditangkap polisi karena mengonsumsi sabu-sabu dan ganja. Tak ada media yang berani menulis dengan jelas kalau si anak itu putra dari seorang pejabat teras. Dari rekan-rekan wartawan, Saya dapat bocoran informasi, kalau si pejabat menelepon semua petinggi media, dan meminta agar tak memuat berita tentang anaknya. Si pejabat menjanjikan kompensasi memberikan jatah iklan pemerintah untuk media yang tidak memuat berita itu. Si wartawan, mau tak mau, harus mendengar instruksi atasannya.

Oya, si pejabat itu bukan orang sembarangan. Selain punya jabatan tinggi, dia juga punya ‘kekuatan’ gaib yang bisa menundukkan siapa saja. Semua orang akan terpengaruh dengan omongannya dan berbuat sesuai yang dikehendakinya. Malah, atasannya di kantor dibuat tak berkutik dan mengiyakan saja apa yang dikatakannya. Saya pernah mendengar juga jika si pejabat masuk dalam jajaran elit sebuah bank, yang membuat dia semakin kuat. Melalui dia, beberapa pejabat lainnya bisa membuat ATM otomatis di bank itu. Baik itu ATM harian, mingguan, bulanan atau tahunan. Kehidupan si pejabat ini begitu mudah. Satu suara dia bisa mengalahkan apapun. Meski kadang-kadang suara dia lebih sering berbuah petaka.

Pun begitu, bagi seorang teman saya, pejabat itu tak lebih seorang sangat sangat angkuh dan sombong. Si pejabat berpikir bisa membeli apa saja dengan jabatan dan uang yang dimilikinya. Padahal, seperti diceritakan kawan saya, si pejabat itu tak bisa membeli hati nurani. Kawan saya wajar mengatakan itu, sebab dalam suatu kesempatan, dia pernah mencoba membangun komunikasi dengan si pejabat. Namun, apa hendak dikata, posisinya di pemerintahan menganggap semua orang tak selevel dengannya. Omongan kawan saya yang bernada serius tak sedikit pun di dengarnya. Dia pura-pura asyik membaca Koran dan seperti mengabaikan kehadiran kawan saya. “Kalian tidak profesional,” begitu suara yang keluar dari mulutnya. Karena tak terima disebut tidak profesional, kawan saya memprotes dan menanyakan dalam hal apa tidak profesional. “Kalian menulis tentang saya, tapi tak pernah meminta komentar dari saya,” begitu jawabnya.

Selepas itu, si pejabat asyik membaca Koran. Dia sendirian di sebuah bandara yang tak jauh dari negeri antah berantah. Tak biasanya dia sendirian. Ke mana-mana lebih sering dikawal ajudan yang banyak memasang wajah sangar dan kasar, dan hampir tak ada senyum. Tapi, kesendirian si pejabat itu mengundang tanda tanya. “Jangan-jangan…” kawan saya tak meneruskan kalimatnya. Dia seperti tahu kalau saya menangkap maksudnya.

Karena tak ingin dianggap tak profesional, si kawan saya meminta nomor handphone si pejabat itu agar jika ada berita tentang dia bisa dikonfirmasi. “Hp saya rusak dan sedang diperbaiki,” kata pejabat menolak secara halus memberikan nomor Hp-nya. Kawan saya tak memaksa dan berpikir mungkin memang benar rusak. Tak lama kemudian, di saku celana si pejabat itu keluar suara seperti nada dering Hp. Agak ragu juga dia mengangkatnya. Sejurus kemudian, dia merogoh kantong celananya dan mengambil Hp yang harganya lebih tinggi dari yang dipakai kawan saya. Setelah melihat layar siapa yang menelepon, si pejabat menjawab. Suaranya lembut dan terkesan dibuat-buat. Kawan saya memilih menyingkir, karena merasa dia berhadapan dengan seorang pejabat yang angkuh.

Kini, setelah putra si pejabat itu tersandung kasus hukum, dia ingin membangun komunikasi dengan kawan saya itu, termasuk dengan perusahaan tempat dia bekerja. Ternyata, jabatan dan kekayaan yang dia milik tak berdaya. Dia harus mengemis meminta belas kasihan dari kawan saya, agar tak menulis tentang perilaku ‘bejat’ anaknya. Tak ada lagi alasan Hp rusak. Tak ada lagi alasan tak profesional, karena sudah menyangkut nama baik keluarga dan juga posisi dia sebagai orang penting di pemerintahan. Itulah mental pejabat kita. Tidak naik kita lhih. (HA 300109)

Post a Comment

Previous Post Next Post