Ternyata, Kompas sudah 44 Tahun

Ketika ke kantor, seperti biasa yang pertama saya cari adalah Kompas. Jika belum melihat Kompas, rasanya masih ada yang kurang. Setiap hari saya tak ingin ketinggalan, apa laporan utamanya, siapa saja yang menulis opini, berita bola apa, dan siapa saja yang dimuat di rubrik Nama & Peristiwa. Biasanya, saya membaca semua tulisan itu setelah semua kerja selesai atau ketika rehat sebentar untuk makan. Maklum, sudah kebiasaan sering makan nasi bungkus di kantor.

Dan, tak terasa, saya merasa ada sesuatu yang berbeda di Kompas edisi Minggu (28/6). Mata saya tertuju pada headshot Jacob Oetama, pendiri sekaligus pemimpin umum Kompas terpampang tidak seperti biasanya. Di hari-hari lainnya sering juga wajah Pak Jacob terpampang di halaman depan korannya, ada yang bersama SBY atau Jusuf Kalla. Tapi, sekarang ada tulisan panjang dia yang menyerupai editorial tentang perjalanan kompas dan apa yang sudah dicapai kompas di usia 44 tahun ini.

Halaman depan Kompas Minggu tersebut saya baca semuanya, kecuali laporan utama yang hanya saya baca sepintas saja. Banyak informasi yang saya dapatkan, terutama tulisan (krisis surat kabar) Pelajaran di Tengah Prahara. Bukan apa-apa, saya selalu tertarik untuk membaca tulisan soal masa depan media cetak. Saya dulu sampai tertegun membaca tesis Philip Meyer, yang meramalkan bahwa pada tahun 2043 hanya ada satu orang kiri yang membaca Koran. Hah! Tulisan seperti ini menurut saya penting, di samping saya sekarang bergelut di media cetak juga untuk belajar memperbaiki content media tempat saya bekerja agar tak ditinggalkan pembaca.

Selain itu, sekarang juga saya menyimak perkembangan media online yang melaju pesat, baik soal kecepatan, aktualitas dan juga sisi bisnis yang menggiurkan. Ternyata, banyak keuntungan dari media online yang tidak ada di media cetak. Saya juga senang menulis di blog dan membaca-baca blog orang. Dari membaca itulah, banyak sekali pengetahuan baru yang saya dapatkan, bahwa ternyata saya masih sangat bodoh. Makanya, saya belajar terus menerus termasuk hal-hal baru di dunia blog atau di media online.

Terkait media online, belakangan saya lebih suka menggeluti tentang bisnis online yang sudah terlalu banyak dikupas para blogger profesional, seperti Joko Susilo, Budi Putra, Cosa Aranda, Kang Rahman, Om-om, dan banyak lagi. Dari mereka saya belajar bagaimana menjadi blogger yang mampu menangkap peluang mencari sesuatu yang menguntungkan dari kebiasaan menghabiskan banyak waktu di depan komputer. Dari Joko Susilo, misalnya, saya termotivasi dengan slogannya, yang kemudian menjadi kontes SEO yang spektakuler di jagad blog, Stop Dreaming Start ACTION. Ternyata, jika ditekuni serius, bisnis online sangat menjanjikan.

Oya, kembali lagi ke Kompas. Sebenarnya, saya tidak begitu lama mengenal Kompas, baru ketika masuk kuliah. Sementara ketika masih duduk di bangku MAN, saya hanya membaca koran Kompas bekas, dan hanya sesekali membaca Kompas benaran ketika sempat ke Kota Sigli untuk membeli Tabloid lokal yang isinya hot.

Tapi ketika di bangku kuliah, meski tidak setiap hari, saya selalu membaca kompas terutama rubrik Opini. Karena saat itu, saya sedang semangat-semangatnya menulis artikel. Malah, pernah beberapa kali saya mengirim tulisan ke Kompas, tapi tak pernah dimuat. Maklum saja masih penulis pemula, dan belum begitu mahir menulis dan ide yang saya sampaikan juga tidak bisa disebut hal baru. Sampai sekarang juga belum ada tulisan yang dimuat di Kompas.

Ketika saya hijrah ke Jakarta saat Aceh diberlakukan status Darurat Militer tahun 2003, saya semakin sering membaca kompas, dan pernah beberapa kali mengirim Opini, tapi tidak satu pun yang masuk. Jawaban yang diberikan mungkin sama dengan penulis pemula lainnya yang pernah ditolak kompas, bahwa tulisan tersebut tak ada ide baru, tak cukup ruang dan gaya penulisan yang tidak mendukung. Pernah sekali mencoba mengontak Pak Budiman Tanuredjo, saat itu masih sebagai redaktur Opini (sekarang menjabat Redaktur Pelaksana), menanyakan kenapa tulisan saya tak pernah dimuat.
Karena ada tulisan yang pernah saya kirim, tak bisa dibilang jelek, sebab ide yang saya sampaikan hampir sama dengan penulis yang kemudian tulisannya dimuat di Kompas. Baiknya, pak Budiman merespon email saya dan memberikan banyak masukan berharga untuk saya agar tetap menulis dan bertambah semangat. Tetapi hingga saya kembali ke Aceh, belum ada satu pun tulisan yang dimuat di Kompas. Akhirnya saya kapok dan tak pernah mengirim lagi ke Kompas. Tulisan saya hanya sempat dimuat di Koran sore Sinar Harapan.

Dalam hati kecil saya, besar keinginan agar tulisan saya masuk ke Kompas meski sekali. Rasanya, saya akan merasa puas dan akan menggeluti dunia tulis menulis ini yang sudah saya jalani sejak masih duduk di bangku SMP. Meski, banyak kawan memberikan semangat kepada saya, bahwa tulisan tak dimuat di kompas bukan berarti kita tak bisa menjadi penulis. “Cobalah menulis di Koran-koran kecil dulu, nanti kalau kamu sudah jadi penulis hebat, akan gampang masuk Kompas,” begitu nasihat seorang kawan.

Saya mengikuti nasihat tersebut dan menulis di Koran-koran lokal termasuk media online. Dan saya juga rajin mengisi blog saya http://jumpueng.blogspot.com agar saya terus produktif menulis. Syukur, tulisan-tulisan di blog dan juga tulisan-tulisan di media online dan juga Koran lokal tempat saya bekerja sekarang, sudah menjadi sebuah buku, Aceh Pungo. Inilah buah produktivitas yang bisa saya nikmati sekarang.

Kecewakah saya pada Kompas? Sama sekali tidak. Karena terus terang, saya banyak mendapat informasi dari Kompas, malah Kompas menjadi Koran yang harus saya baca setiap hari. Rasanya, tak lengkap saya menghabiskan waktu dalam satu hari jika belum membaca Kompas. Bukan hanya karena kompas menyajikan berita-berita yang mendalam, melainkan juga cara penyajian yang baik. Entahlah, apakah itu karena seperti pernah disampaikan sendiri oleh Pak Jacob Oetama, Kompas yang dipimpinnya menganut jurnalisme maknawi, saya tidak tahu pasti. Yang pasti, ada sesuatu yang berbeda saat membaca kompas. Kolom Opini benar-benar menjadi ‘universitasnya’ Kompas, tempat semua ide, pemikiran dan wacana bergulir. Kita merasa cukup puas setelah membacanya: ada ilmu dan pencerahan.

Mudah-mudahan, seiring menuanya usia Kompas, saya juga semakin ingin melabuhkan nama saya suatu saat nanti di halaman Opini Kompas. Menulis di rubrik opini tersebut, bukan lagi sekedar mimpi buat saya, melainkan harus segera jadi kenyataan. Yang perlu saya lakukan hanya, terus menulis dan menulis. Saya ingin mempraktekkan pesan Joko Susilo, Stop Dreaming Start ACTION.

Terakhir, saya merasa bersalah jika tidak mengucapkan selamat ulang tahun ke-44 buat Kompas. Kawan saya, ketika melihat kompas di meja kerja saya, dan membuka halaman dua Kompas Minggu (28/6) mengomel, “Kok tidak ada foto Taufik lanie,” katanya mengomentari berita ‘Kompas’ di mata pembaca. Meski tak ada nama saya dan foto saya di halaman dua tersebut, melalui tulisan singkat ini saya ingin mengucapkan, Selamat Ulang Tahun ke-44 buat KOMPAS, semoga terus menjadi Koran yang mencerahkan! Stop Dreaming Start ACTION, semoga terus bergema.

Post a Comment

Previous Post Next Post