Indonesia Butuh ‘Pelayan’

Menyimak kondisi Indonesia akhir-akhir ini: Papua bergolak, kekerasan komunal meningkat, korupsi kian merajalela, kita berani bertaruh, bahwa Indonesia tidak sekedar butuh seorang presiden. Indonesia juga membutuhkan seorang pelayan.

Indonesia tak pernah kekurangan stok presiden (baik tua maupun muda). Nama-nama yang berkibar di sejumlah lembaga survei, semua layak dan punya kapasitas menjadi calon presiden. Tapi, rasa-rasanya belum ada di antara tokoh-tokoh tersebut pantas menjadi pelayan rakyat Indonesia.

Pasca-kemerdekaan, masyarakat Indonesia terus mencari sosok pelayan, tapi yang dicari itu tak pernah benar-benar ditemukan. Sebenarnya kita pernah punya Soekarno dan Soeharto. Tapi, keduanya tersesat di rimba kekuasaan.

Pasca-reformasi, kita pernah punya pengalaman dipimpin BJ Habibie tapi minim legitimasi; Gus Dur yang kelebihan legitimasi namun royal memberikan pernyataan; Megawati presiden perempuan yang mewakili kelembutan, namun justru bertindak keras ketika berhadapan dengan Aceh dan Papua; selanjutnya kita dipimpin presiden militer tapi peragu, tak bisa tegas, kecuali hanya mengeluh dan memuntahkan air mata. Padahal, mengeluh dan menangis bukan solusi menyelesaikan persoalan bangsa: korupsi merajalela, kekerasan komunal, musibah yang tiada henti, serta tabiat memperkaya diri para elite negeri.

Persona Nongrata
Survei terbaru Soegeng Sarjadi Syndicate yang dirilis awal Juni lalu memperlihatkan nama Prabowo Subianto, Megawati, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Surya Paloh dan Wiranto, potensial menjadi calon presiden. Nama-nama tersebut masih stok lama, dan beberapa di antaranya tokoh karena rekayasa media.

Mereka adalah sosok populis, bukan lahir akibat proses dialektika dari bawah. Bukan lahir dari akar, dan mampu menyerap aspirasi masyarakat secara langsung. Mereka tipikal pemimpin yang cocok untuk beberapa daerah, tapi belum tentu diterima seluruh rakyat Indonesia.

Meski rakyat kita punya ingatan pendek, namun mereka mengenali sosok dalam survei tersebut. Sebagian dari sosok ini masuk kategori persona nongrata—orang yang tidak disukai. Mereka memiliki rekam-jejak buruk sebelumnya. Di antaranya pernah terlibat penculikan aktivis 1998; pernah memberlakukan Darurat Militer di Aceh dan operasi militer di Papua; lumpur Lapindo; berkedok topeng restorasi; dan penembakan mahasiswa Trisakti.

Negeri ini begitu berselemak kasus dan persoalan, sehingga membutuhkan figur yang minim masalah. Figur yang bisa diterima semua golongan, cocok untuk semua daerah dan punya solusi atas masalah bangsa. Kita butuh orang-orang ‘pungo’ (bahasa Aceh, pungo: gila) yang mampu menarik negeri ini dari lumpur masalah.

Kita butuh sosok pemimpin inspiratif dan instuitif. Pemimpin yang tak pernah kering dengan ide-ide brilian serta selalu mengetahui persoalan di masyarakat dan tahu cara menyelesaikannya. Pemimpin inspiratif dan instuitif ini penting untuk menjawab kebutuhan bangsa yang mulai kehilangan daya kreatif dan jadi pemalas.

Pemimpin instuitif tak hanya menerima laporan dari bawahan, tapi mampu mendeteksi masalah-masalah bangsa tanpa harus diberitahu lebih dulu. Ini tidak mudah, karena untuk menjadi pemimpin seperti ini dia harus berkutat dengan masyarakat dalam rentang waktu yang lama: bukan sosok karbitan dan muncul ketika musim Pemilu saja.

Presiden Pelayan
Kita pernah punya presiden hebat seperti Soekarno dan kuat lewat sosok Soeharto. Namun, keduanya tersesat di rimba kekuasaan—mabuk kuasa. Mereka membelokkan tujuan dan filosofi bernegara, yang kemudian terulang kembali di tangan presiden sekarang.

Tamsil nasib negeri ini seperti orang gali sumur. Orang menggali sumur untuk memenuhi kebutuhan air. Tapi, di tengah proses penggalian si penggali menemukan harta karun lalu terlena dengan temuan itu. Sehingga lupa pada tujuan yang sebenarnya: air.

Penggali sumur negeri ini (baca: pemimpin) juga demikian. Awalnya bertekad mewujudkan Indonesia jadi Negara adil dan makmur. Namun, di tengah jalan misi berbelok: mementingkan memperkaya diri dan kelompok. Mereka menjadi penjarah dan penadah!

Padahal, yang kita butuhkan adalah ‘penggali sumur’ yang benar-benar mampu mengobati dahaga rakyat, menyediakan air untuk kehidupan. Namun kita jadi pesimis, karena ambisi menjadi pemimpin di Negara kita tak pernah dilandasi semangat melayani, melainkan untuk dilayani masyarakat.

Indonesia adalah rumah besar yang dihuni beragam suku bangsa: ada yang bandel, nakal, dan keras kepala; ada yang lembut, gemulai dan patuh. Pemimpin di sini harus bisa berdialog dengan si bandel, bisa menginspirasi si lembut dan patuh. Artinya, kita butuh pemimpin yang bisa berdialog dengan orang Papua, Aceh, dan diterima orang Ambon, serta bisa bercanda dengan orang Batak. Dia pun memahami budaya Bali, Dayak serta akrab dengan orang Jawa dan Sunda.  

Sosok demikian tidak lahir saat dekat musim Pemilu saja. Marcus Tullius Cicero seperti digambarkan Robert Harris dalam novel Imperium (2008) butuh beberapa tahun bekerja untuk menjadi Konsul Roma. Sebagai pengacara dan ahli retorika, Dia menghabiskan banyak waktu dengan membela masyarakat kecil, bergaul dan hafal nama-nama rakyat yang akan memilihnya.

Karenanya, seorang pemimpin haruslah beranjak dari bawah. Bukan dari kalangan elite yang “sok” paham persoalan masyarakat. Dia mestilah orang yang selalu ingin dipercayakan oleh rakyat untuk mendengarkan cerita-cerita dan persoalan mereka. Pemimpin yang tak membiarkan rakyat berkutat sendirian dengan kegetiran hidup, melainkan selalu jadi pelindung mereka.

Dia selalu menyempatkan diri mengunjungi desa-desa terpencil, tertinggal, terisolir, terpinggirkan, terbelakang, serta tinggal di sana, mengobrol dengan masyarakat di warung-warung kopi, balai desa, atau pos jaga. Sebab, dia akan tahu masalah utama dialami rakyatnya.

Jika ingin mengubah Indonesia, saatnya kita mencari pelayan (disuruh atau tidak) untuk melayani dan memikirkan rakyat, dari Sabang sampai Meureuke. Dan 2014 akan menjadi tahun pertaruhan, apakah kita bisa memiliki pemimpin sekaligus seorang pelayan rakyat? []
------>Tulisan ini sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi Kamis 16 Agustus 2012

Post a Comment

Previous Post Next Post