Kemarin, Sabtu (21/12) saya iseng bertanya pada seorang kawan, “berapa dibayar oleh produsen mobil Jeep untuk anda?” Sang teman, sedikit kaget. Dia seperti belum tahu arah pertanyaan saya. “Dibayar untuk apa,” tanya dia.
Saya kemudian menunjuk pada merek ‘Jeep’ di baju yang dipakainya. Seutas senyum mengembang dari wajahnya. Dia menggeleng. “Oh, ini...saya tidak dibayar. Baju ini oleh-oleh dari seorang teman,” ceritanya.
Kita cukup sering melihat orang-orang lalu lalang dengan menggunakan pakaian bermerek, celana bermerek, handphone mahal, laptop mahal dan bahkan kain serung dengan merek ternama. Saat kita tanya, apakah mereka dibayar untuk ‘promosi’ yang dilakukannya itu, semua mereka pasti menggeleng.
Kita cukup sering melihat orang-orang lalu lalang dengan menggunakan pakaian bermerek, celana bermerek, handphone mahal, laptop mahal dan bahkan kain serung dengan merek ternama. Saat kita tanya, apakah mereka dibayar untuk ‘promosi’ yang dilakukannya itu, semua mereka pasti menggeleng.
Saya sendiri, termasuk salah satu dari orang yang ‘sering’ mempromosikan brand atau merek milik perusahaan besar. Benda-benda yang kita gunakan itu sebagian memang fasilitas pendukung kerja kita, seperti handphone atau laptop. Kita tak begitu peduli, apakah kita dibayar atau tidak atas setiap ‘aksi’ promosi yang kita lakukan. Toh, kita menggunakan benda-benda tersebut sebagai penopang kerja kita.
Dulu saya tak begitu memperhatikan merek kain sarung ketika memakainya jika hendak Jumatan. Saya tak peduli, merek kain itu ada di mana. Yang penting saya pakai sarung terutama kalau hendak Salat. Sekalipun saya dianggap tak paham soal ‘aturan tak tertulis’ tentang menggunakan kain sarung.
Hingga suatu hari, istri saya mengingatkan saya. “Kalau pakai kain sarung itu, bagian yang ada mereknya harus tetap berada di bagian belakang dengan posisi di bawah,” katanya saat melihat saya sedang bersiap-siap ke masjid.
“Emang harus, ya?” saya balik bertanya.
“Biasanya orang kalau pakai kain sarung ya mereknya di belakang. Kalau sampai merek di samping atau di bagian depan, keliatannya lucu,” katanya.
“Tapi terserah kita, donk. Pakai bagaimana pun itu hak kita,” Saya masih tidak paham dengan logika ‘merek di belakang’ itu.
“Coba saja lihat orang-orang, tak ada yang pakai kain sarung mereknya di samping atau di depan,” Istri saya memang termasuk orang yang sedikit peduli dengan fashion.
Saya pun mengikuti anjuran istri saya. Pas ke masjid, saya perhatikan para jamaah yang pakai kain sarung. Tak sulit menemukan dan mengetahui merek kain sarung yang dipakai mereka. Kita juga tak perlu bertanya secara khusus, apa merek kain karung anda, karena ini sangat tidak lazim dan dipandang merendahkan diri orang yang ditanya. Rata-rata memang posisi merek kain itu berada di bagian belakang, paling bawah.
Saya tidak tahu, apakah ada aturan hukum yang tertulis yang mengharuskan seseorang menggunakan kain sarung agar bagian yang ada mereknya berada di belakang dan tepat di bagian bawah. Ataukah ini merupakan bentuk kemenangan produsen kain sarung memanfaatkan keluguan sekaligus sifat egois dan kebanggaan yang dimiliki manusia. Kita jelas tidak tahu pasti. Hanya saja, hampir semua jamaah pria, mereka memakai kain sarung dengan posisi merek tepat berada di bagian belakang dengan posisi di bagian bawah.
Posisi tersebut merupakan lokasi yang paling mudah dilihat dan diperhatikan oleh anggota jamaah yang lain: dalam salat maupun di luar salat. Apalagi dalam Salat kita diharuskah melihat ke bawah, ke posisi sujud. Kalau kita sedang duduk dan ada orang Salat di depan kita, dengan mudah kita dapat melihat merek kain yang dipakai mereka.
Jika produsen ingin membayar honor untuk bintang iklan produknya, seharusnya mereka tak perlu membayar ke artis, televisi, media cetak atau radio. Mereka harus membayarnya kepada kita, para jamaah atau siapa saja, yang sudah mempromosikan produk mereka. Karena sebenarnya, kitalah bintang utama dari penyebaran merek kain sarung mereka.
Kita pun dengan mudah mengenali merek-merek seperti Gajah Duduk, Atlas, Mangga atau Jazirah. Ada gengsi dan prestise tertentu bagi mereka saat memakai merek produk tersebut. Inilah bukti yang secara tidak langsung telah menempatkan pengiklan atau produsen mencapai tujuannya: mengaburkan antara produk dan kesadaran sosial akan produk tersebut. Manurut Marcel Danesi dalam Pesan, Tanda dan Makna (2012), hal ini sejalan dengan premis umum yang dibentuk oleh industri periklanan bahwa penjualan sebuah produk akan meningkat apabila produk tersebut dapat dikaitkan dengan gaya hidup dan tren nilai yang berlaku secara sosial.
Tidak percaya? Lihat saja dari gaya hidup yang kita saksikan dewasa ini, pengguna iPhone, misalnya, merasa status sosialnya lebih tinggi dari pengguna Samsung; pengguna Samsung merasa lebih pintar dari pengguna Nokia; pengguna laptop produk Apple seperti Macbook Pro/Air merasa lebih terlihat smart dan profesional dibanding pengguna mereka Acer, ASUS dan sebagainya. Dulu, saat wabah Blackberry menular, siapa pun yang menggunakan ponsel cerdas besutan RIM tersebut merasa lebih stylist, elegan, dan gaul dibanding yang menggunakan handphone merek biasa-biasa saja.
Sebenarnya, posisi sebagai bintang iklan, tak cuma kita temui di masjid dalam rupa para jamaah (Jumat maupun salat wajib lainnya). Di kehidupan sehari-hari pun kita menyaksikan tren serupa. Betapa mudahnya kita menemui orang-orang parlente dengan pakaian bermerek mahal. Pakaian-pakaian yang dikenakan itu sering mampu membentuk citra berkelas para pemakainya. Tapi, ini pun sebenarnya sebagai bentuk keberhasilan produsen menanamkan citra dalam diri produk yang dibuatnya.
Tak mudah memang membentuk citra sebuah produk. Tapi, kata Marcel Danesi, ada dua teknik utama yang membuat iklan sebuah produk begitu kuat. Pertama, penempatan atau penargetan sebuah produk bagi orang-orang yang tepat. Di tempat kita, misalnya, orang yang suka minum Extra Joss dicitrakan sebagai pria jantan dan pekerja keras, sementara yang suka Hemaviton sebagai lelaki romantis.
Kedua, teknik mitologisasi, yaitu strategi menanamkan makna mistis pada nama merek, logo, rancangan produk, iklan atau pariwara. Ini bisa ditemui, misalnya, pada merek atau logo Nike yang menyiratkan kecepatan. Logo ini sebenarnya bekerja pada beberapa level, dari ikonis ke mitis. Di level ikonis, logo ini mengisyaratkan aktivitas berlari dengan kecepatan tinggi sambil mengenakan sepatu Nike; pada level mitis, logo ini mengambil gagasan bahwa kecepatan melambangkan kekuasaan dan penaklukan (seperti dalam perlombaan Olimpiade)… tulis Marcel.
Di dunia blogging, misalnya, siapa pun yang menggunakan platform Blogdetik, Kompasiana atau VivaLog, merasa dirinya lebih sosial dan beruntung karena ikut terlibat dalam arus orang banyak. Alasannya pun sederhana saja. Blogdetik mewakili brand Detik.com, Kompasiana milik Kompas Gramedia, dan Vlog merupakan kanal blog milik VIVA.co.id. Ketiganya merupakan industri media yang cukup besar pengaruhnya di Indonesia. Ngeblog di ketiga media ini berarti peluang kita membentuk brand pribadi lebih besar untuk berhasil dan distribusi ide dan pengetahuan kita lebih banyak menjangkau khalayak. Benar, kan?
Jadi intinya, kita (para pengguna produk bermerek) merupakan bintang iklan yang sebenarnya. Sayangnya kita adalah bintang iklan yang tak dibayar. Padahal jika merek itu digunakan oleh para artis (seperti kita saksikan dalam iklan di TV) mereka akan mendapatkan bayaran sebagai bintang iklan. Sementara kita yang setiap hari memakai pakaian bermerek, kain sarung bermerek atau minum minuman bermerek sama sekali bukan bintang iklan, dan tak diberi bayaran. []
Tags:
Blogging