Senin-Jumat, telur
Medan masuk Aceh. Sabtu-Minggu, telur Aceh masuk Medan.
Awalnya, tulisan ini hanya sekadar keisengan belaka.
Memang, sudah lama saya mau menulis tentang ini, tetapi tak kunjung kesampaian.
Bukan hanya karena tema ini takut dipandang melabrak rambu ‘abu-abu’, melainkan
juga ini lebih terkait masalah personal dan perilaku sebagian orang Aceh, tak
bisa digeneralkan begitu saja. Tapi, menulis tetaplah menjadi medium
pembelajaran, mencari sesuatu yang belum kita tahu, sehingga kita terpuaskan
dari rasa penasaran.
Sekali pun bahasan kita sangat serius, terutama kalau
diperhatikan dari judul, tapi ini murni (seperti disinggung di atas) hanya
sekadar iseng-iseng saja. Saya tidak tahu persis, apakah sudah pernah ada
penelitian sebelumnya yang menunjukkan orang Aceh tukang kawin atau tidak. Agar
tidak terkesan men-judge, saya
sengaja menambahkan tanda tanya di depan judul, bentuk kehati-hatian saya dalam
membuat kesimpulan.
Sebab, soal beginian masih sangat sensitif dibahas.
Memang, dalam hal isi selangkang, orang Aceh tak pernah ragu-ragu membahasnya,
dan seolah-olah hal itu hanya perkara biasa saja. Bahkan dalam hadih maja (ungkapan bijak yang hidup
dalam masyarakat Aceh), soal isi selangkang, sering disebutkan secara lugas dan
tegas, sekali pun bukan dimaksudkan untuk mengumbar syahwat secara vulgar.
Sekadar contoh, ‘ureueng Aceh munyoe hana
tupeh, boh kreh juet taraba’*). Ungkapan ini menunjukkan bahwa dalam hal
bersahabat dan berkawan, orang Aceh sering tak memperdulikan ukuran apapun,
termasuk sesuatu yang tabu. Hal-hal yang sangat pribadi pun tak menjadi
ganjalan untuk disentuh demi nilai-nilai persahabatan.
Dalam pergaulan sehari-hari, soal isi selangkang ini
sering disandingkan dan terkait erat dengan keberanian. Ukuran seberapa besar
isi selangkang dipandang mewakili keberanian, terutama ketika dihadapkan pada
hal-hal prinsipil dan ketika menantang lawan. “Munyoe na kreh kapreh kei bak simpang,”**) demikian biasanya
seorang pejantan Aceh mengajak duel orang-orang yang dipandang sebagai lawan.
Perang panjang di Aceh, baik perang melawan Portugis,
Belanda, Jepang, dan bahkan perang dengan Indonesia, menjadi contoh seberapa
jantan (na kreh) orang Aceh. Ini juga
seakan-akan menegaskan, kejantanan tak hanya dinilai dari seberapa kuat mereka
berduel di ranjang, melainkan juga saat bertempur di medan perang. Hal ini
sudah menjadi filosofi hidup di Aceh, bahwa kemulian seorang suami di Aceh
bukanlah mati di ranjang sambil memeluk istrinya, melainkan syahid dalam perang
melawan musuh. Tentang hal ini dapat kita pelajari dari Hikayat Perang Sabi
karangan Teungku Syik di Pante Kulu, bahwa sebuah aib besar dan menjadi bahan
pergunjingan di Aceh jika seorang suami mati di ranjang di rumah istrinya.
Begitu mulianya kedudukan orang yang meninggal di medan
perang, sehingga para istri yang ditinggal mati suaminya karena perang memilih
untuk melanjutkan perjuangan sang suami. Para istri ini pula memilih menikah
dengan lelaki lain yang juga pejuang, agar dapat melanjutkan tugas suaminya
melawan musuh. Kisah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan lain-lain kiranya mampu
menjelaskan tentang hal ini. Bahkan, dalam perang Aceh-Jakarta, banyak istri
pejuang GAM misalnya memilih menikahi anggota GAM lain agar bisa menuntut
balas. Jumlah wanita seperti ini tentu tak sedikit di Aceh.
Lalu, apakah ada hubungan antara kejantanan dengan
menikahi lebih satu wanita? Saya belum menemukan referensi yang memadai,
setidaknya hingga tulisan ini ditulis. Tapi, dalil-dalil agama, misalnya,
membolehkan seorang laki-laki mengawini empat wanita asalkan mampu berlaku
adil, memberi sedikit pencerahan kepada kita bahwa Tuhan pun memandang
persoalan ini begitu penting. Saya bukan ahli tafsir, sehingga tak mampu
menjelaskan secara detil, makna di balik kandungan dalil tersebut. Sebagai
pencipta, Tuhan tentu saja lebih mengetahui tentang seluk-beluk makhluk
ciptaannya. Secara kasar, boleh kita duga-duga, jangan-jangan di balik dalil
bolehnya seorang laki-laki mengawani lebih dari satu wanita menjadi tanda dan
terkait erat dengan soal kejantanan. [Lelaki
loyo mana berani menikahi banyak wanita, dengan satu saja sudah nyerah, kan?]
Diakui atau tidak, wanita memang menjadi penyemangat sang
suami. Ada orang mengatakan, bahwa di balik kesuksesan seorang lelaki, ada
wanita hebat di belakangnya. Ketika perang Badar, misalnya [saya bukan
sejarawan, jadi mohon diperiksa lagi informasi ini], Rasulullah membolehkan
para istri-istri kaum muslimin ikut maju ke medan perang, mendukung para suami
mereka. Mereka memang tidak ditempatkan di barisan depan, melainkan sebagai
tenaga support logistik dan pemberi semangat untuk suami. Bisa jadi juga,
mereka melayani para suami di sela-sela rehat perang [dulu perang ada waktu
jedanya] untuk memulihkan stamina.
Kita juga teringat kisah tragis Kim Bok-dong saat Perang
Dunia kedua, yang waktu itu berusia 14 tahun diperintahkan tentara pendudukan
Jepang di Korea Selatan bekerja di pabrik seragam militer, tapi kemudian
dikirim ke rumah pelacuran yang dikelola militer Jepang. Di tempat ini, dia
harus melayani lebih kurang 15 serdadu Jepang setiap hari. Kisah-kisah soal
rumah bordir yang dibangun serdadu Dai Nippon bukan isapan jempol belaka, kita bisa
mencarinya di internet. Kita tidak tahu, apakah penyediaan rumah bordir
tersebut semata-mata untuk memuaskan nafsu bejat serdadu atau untuk memberi
semangat bagi mereka dalam perang di Asia Timur Raya. Selain itu, kita juga
membaca soal tragedi Nanking, ibukota Cina waktu itu, di mana ribuan perempuan
dewasa dan anak-anak diperkosa, setelah dibunuh setelah organ seksualnya
dirusak.
Di medan perang mana pun, perempuan sering menjadi simbol
kelemahan. Seolah-olah berlaku rumus, jika ingin merusak mental lawan, maka
perkosa dulu wanitanya. Seakan-akan jika perempuan di kubu lawan belum
ditundukkan maka akan sulit menghancurkan perlawanan musuh. Saya kira, kenapa
di medan perang, termasuk dalam perang Aceh, pemerkosaan menjadi senjata
pamungkas membungkam lawan. Sebab, selama perempuan belum disentuh, mereka akan
memberi energi lebih untuk para lelakinya berperang. Mudah-mudahan kesimpulan
saya ini salah.
Beberapa waktu lalu, saat Piala Dunia 2014 di Brazil,
sebelum laga Belanda melawan Spanyol, skuad Timnas Belanda diperbolehkan
berkumpul dengan keluarganya (istri, pacar atau teman dekat) padahal dulunya
hal ini termasuk tabu dilakukan karena akan menurunkan stamina. Tetapi, apa
yang terjadi? Belanda secara perkasa membungkam Spanyol dengan skor 5-1! Saya tak
tahu pasti apakah keperkasaan pasukan Orange tersebut punya hubungannya dengan
dibolehkannya mereka bergaul dengan istri dan keluarga?
Kembali ke soal orang Aceh tukang kawin, apakah benar
demikian? Dalam beberapa obrolan ringan dengan kawan-kawan di warung kopi,
sekali pun secara bercanda, menyiratkan sebuah kesimpulan bahwa sebenarnya
orang Aceh tukang kawin. Bahkan, si kawan tersebut [dengan mimik serius]
meminta saya menulis dan meneliti masalah ini secara serius dengan
memperhatikan beberapa pemimpin di Aceh yang menikahi lebih satu wanita.
Bahasan itu sudah lama sekali, dan kembali teringat ketika seorang kawan
berkicau di Twitter, ‘sebagian besar
pemimpin Aceh hidup dengan istri kedua, Malik Raden, Abdullah Puteh dst...’
Oh ya, kawan ini bukan sembarang orang juga, dia punya posisi penting di sebuah
partai politik nasional di Aceh.
Waktu membaca kicauan tersebut, saya hanya menanggapi
sekadarnya saja, ‘Jangan sampai muncul
mitos bang, bahwa kalau ingin jadi pemimpin di Aceh harus beristri dua LOL.’
Kawan tersebut kemudian menimpali lagi, ‘Istri
dua dan hidup dengan istri kedua beda dunk!’ Bahkan, katanya, dia pernah
menyarankan kepada seorang temannya, Ketua Partainya, agar menikah lagi agar
jadi Gub. ‘....tapi ketakutan maka tak
jadi...’
Lalu, saya pun mencoba memastikan apakah kesimpulan teman
tersebut benar atau hanya bualan belaka. Saya mendapat sedikit pencerahan,
bahwa Gubernur Abdullah Puteh, hidup
dengan istri kedua, Marlinda Purnomo; Irwandi Yusuf hidup dengan istri kedua,
Darwati A. Gani; Bupati Mustafa A Glanggang rupanya juga memiliki istri dua;
Muhammad Nazar belakangan beredar kabar di sosial media juga sudah beristri
dua; Mualem (Muzakkir Manaf) konon juga memiliki istri lebih dari satu. Deretan
ini saya pikir masih bisa diperpanjang.
Kalau kita amati perilaku orang-orang Aceh, kita akan
mendapati banyak fakta yang mencengangkan, ternyata orang Aceh banyak juga
hidup dan menikahi lebih dari satu istri. Di kalangan petinggi GAM, misalnya,
dari info yang beredar banyak di antara mereka menikahi lebih satu wanita.
Sebagian besar pejabat juga memiliki istri lebih dari satu. [coba cari tahu
sendiri siapa saja mereka, hehehe]. Di level nasional seperti terungkap di
media, beberapa petinggi partai nasional juga memiliki istri lebih dari satu,
salah satunya petinggi partai yang dikenal sebagai partai dakwah.
Seolah-olah ada mitos bahwa lelaki yang menikahi lebih
dari satu perempuan dipandang sebagai lelaki jantan, dan ukuran kejantanan pun
dinilai dari seberapa perkasa seorang lelaki di ranjang. "Kita boleh tidak punya banyak duit, tapi selama kita kuat di
ranjang, perempuan tak akan berpaling ke lain hati," kata temanku
suatu ketika. Bahkan, lelaki yang menikahi lebih satu wanita dianggap memiliki
tingkat kecerdasan di atas rata-rata.
Lalu, benarkah orang Aceh tukang kawin? Saya tak kuasa
menjawabnya, dan lebih senang mengutip ungkapan yang cukup populer belakangan
ini di Aceh, seperti dikutip di awal tulisan ini. []
*) Orang Aceh kalau tak tersakiti hatinya, [maaf] testis
boleh diremas/dipegang
**) Kalau punya [maaf] penis, tunggu saya di persimpangan
Tags:
catatan