Dalam politik, umum berlaku rumus Machievalli, “Tak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan sejati.” Petuah itu selalu aktual untuk segala kondisi dan situasi. Sederhananya, kawan dalam politik tak selalu berlaku permanen, demikian juga musuh. Hanya kepentingan yang selalu permanen: membuat musuh menjadi kawan dan kawan menjadi musuh.
Jika kalimat itu diterjemahkan dalam kondisi politik di Aceh, bagaikan menemukan pijakannya. Kita berasyik ria dengan musuh. Sementara kawan—baik kawan seperjuangan maupun kawan se-ideologis—kita campakkan. Malah, di setiap kesempatan kita memberikan fatwa di hadapan rakyat kita, bahwa kawan kita menjadi pengkhianat, menerima uang dari si polan, sedang merencanakan sebuah skenario untuk kepentingan pribadi, dll.
Sementara musuh kita perlakukan bagaikan dewa. Seolah merekalah pembela kita selama ini. Sesuatu yang buruk dari mereka, kita anggap baik. Sementara yang baik dari kawan kita anggap buruk. Kita telah jauh melangkah, dan memberlakukan kawan sebagai musuh, sementara musuh kita elu-elukan, kita puja dan malah kita “sembah!”
Kita tak pernah tahu, bahwa kita sedang menari dalam irama yang diciptakan musuh kita. Dan celakanya, kita terlena dengan irama itu. Padahal, mereka sedang merancang kehancuran kita secara pelan-pelan. Sambil kita terlena. Kita tak menyadarinya. Jika pun ada yang mencoba menyadarkan, tak segan-segan kita keluarkan fatwa: “tembak.”
Memang, zaman berubah. Kondisi politik berubah. Tapi satu yang tak pernah kita ubah: Ideologi. Sebab, dengan ideologi itu kita mengenal secara jelas siapa musuh kita. Dengan ideologi, kita tak lupa pada cita-cita kita.
Lalu, pertanyaanya: sejak kapankah kita sudah mengubah keyakinan kita, ideologi kita dan juga musuh kita? Sejak kapankah kita percaya bahwa partai politik dapat memperjuangkan nasib kita? Sejak kapankah kita yakin bahwa melalui partai politik, kita dapat menghentikan isak anak yatim, tangisan para janda dan menyembuhkan luka para korban? Sejak kapankah kita lupa bahwa partai punya saham dan andil besar membuat kita sengsara!
Zaman berubah, kondisi politik berubah, begitu juga strategi. Tapi, ideologi belum kita ubah. Musuh belum kita ubah. Dan kita juga belum buat kesepakatan apapun bahwa kawan sepejuangan dan se-ideologi adalah musuh kita sekarang. Kita belum buat kesepakatan apapun.
Karena itu, kita perlu memiliki lagi penerang. Kita butuh SUWA (obor, kata mereka). Agar kita mengenal lebih jelas siapa lawan dan siapa kawan kita. Sebab, mata kita telah silau. Mata kita telah dibutakan oleh uang yang melimpah. Mata kita dibuat kabur oleh asap-asap dari mobil pemberian mereka. Sampai membuat kita tak mengenal lagi kawan kita.
SUWA tak hanya untuk memperjelas kembali wajah-wajah kawan kita, melainkan juga memperjelas diri kita sendiri. Jangan-jangan, meski jasad masih milik kita, tapi isi otak sudah bukan punya kita lagi. Otak kita telah dicuci. Sementara kita tak menyadarinya.
Selain itu, dengan adanya SUWA, kita berharap dapat mengenal yang mana Halal, yang mana Haram. Karena, keduanya sekarang sudah sulit dibedakan. Kita menghalalkan sesuatu yang haram, dan mengharamkan sesuatu yang halal. Bagi kita itu “oke-oke” saja. Entahlah! (fiek)
Jika kalimat itu diterjemahkan dalam kondisi politik di Aceh, bagaikan menemukan pijakannya. Kita berasyik ria dengan musuh. Sementara kawan—baik kawan seperjuangan maupun kawan se-ideologis—kita campakkan. Malah, di setiap kesempatan kita memberikan fatwa di hadapan rakyat kita, bahwa kawan kita menjadi pengkhianat, menerima uang dari si polan, sedang merencanakan sebuah skenario untuk kepentingan pribadi, dll.
Sementara musuh kita perlakukan bagaikan dewa. Seolah merekalah pembela kita selama ini. Sesuatu yang buruk dari mereka, kita anggap baik. Sementara yang baik dari kawan kita anggap buruk. Kita telah jauh melangkah, dan memberlakukan kawan sebagai musuh, sementara musuh kita elu-elukan, kita puja dan malah kita “sembah!”
Kita tak pernah tahu, bahwa kita sedang menari dalam irama yang diciptakan musuh kita. Dan celakanya, kita terlena dengan irama itu. Padahal, mereka sedang merancang kehancuran kita secara pelan-pelan. Sambil kita terlena. Kita tak menyadarinya. Jika pun ada yang mencoba menyadarkan, tak segan-segan kita keluarkan fatwa: “tembak.”
Memang, zaman berubah. Kondisi politik berubah. Tapi satu yang tak pernah kita ubah: Ideologi. Sebab, dengan ideologi itu kita mengenal secara jelas siapa musuh kita. Dengan ideologi, kita tak lupa pada cita-cita kita.
Lalu, pertanyaanya: sejak kapankah kita sudah mengubah keyakinan kita, ideologi kita dan juga musuh kita? Sejak kapankah kita percaya bahwa partai politik dapat memperjuangkan nasib kita? Sejak kapankah kita yakin bahwa melalui partai politik, kita dapat menghentikan isak anak yatim, tangisan para janda dan menyembuhkan luka para korban? Sejak kapankah kita lupa bahwa partai punya saham dan andil besar membuat kita sengsara!
Zaman berubah, kondisi politik berubah, begitu juga strategi. Tapi, ideologi belum kita ubah. Musuh belum kita ubah. Dan kita juga belum buat kesepakatan apapun bahwa kawan sepejuangan dan se-ideologi adalah musuh kita sekarang. Kita belum buat kesepakatan apapun.
Karena itu, kita perlu memiliki lagi penerang. Kita butuh SUWA (obor, kata mereka). Agar kita mengenal lebih jelas siapa lawan dan siapa kawan kita. Sebab, mata kita telah silau. Mata kita telah dibutakan oleh uang yang melimpah. Mata kita dibuat kabur oleh asap-asap dari mobil pemberian mereka. Sampai membuat kita tak mengenal lagi kawan kita.
SUWA tak hanya untuk memperjelas kembali wajah-wajah kawan kita, melainkan juga memperjelas diri kita sendiri. Jangan-jangan, meski jasad masih milik kita, tapi isi otak sudah bukan punya kita lagi. Otak kita telah dicuci. Sementara kita tak menyadarinya.
Selain itu, dengan adanya SUWA, kita berharap dapat mengenal yang mana Halal, yang mana Haram. Karena, keduanya sekarang sudah sulit dibedakan. Kita menghalalkan sesuatu yang haram, dan mengharamkan sesuatu yang halal. Bagi kita itu “oke-oke” saja. Entahlah! (fiek)
Tags:
editorial