Tgl 27 November 2006 lalu, tabloid SUWA resmi beredar di Aceh. Kehadirannya boleh disebut untuk menyemarakkan euphoria penerbitan media di Aceh. Tapi kami berharap bahwa media yang baru terbit ini dapat menjadi bacaan alternatif masyarakat sekaligus media pembelajaran politik yang santun.
Kami sangat terharu mendapatkan sms-sms dari pembaca. Ternyata sambutan untuk edisi perdana sangat luar biasa. Malah ada yang meminta agar SUWA dicetak ulang. Kami, segenap redaksi tentu saja sangat senang. Dukungan seperti inilah yang kami harapkan. Agar kami bisa bekerja lebih semangat lagi.
Sebelum SUWA, sudah banyak media yang sempat terbit (di Aceh) kemudian satu persatu gugur dengan berbagai alasan. Meskipun kita bersepakat bahwalama-pendeknya terbit suatu media tak memengaruhi pencapaian cita-cita luhurnya. Sejarah SUWA mungkin dapat menjelaskan hal itu. SUWA pernah terbit beberapa edisi, saat Aceh lagi panas-panasnya. Kemudian "pingsan" dan baru sekarang siuman lagi. Tentu dengan Performa dan visi yang sudah berubah.
Perry Anderson, editor The New Left sebagaimana dikutip Daniel Dhakidae dalam pengantar bukunya "Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru" (2003) menulis "lamanya hidup suatu media (jurnal) tidak menjamin pencapaiannya. Sebagai contoh, Athaeneum, yang hanya terbit 3 tahun tetapi mampu membangkitkan romantisme Jerman, setelah itu mati. Demikian pula Revue Blanche yang tak sampai satu dasawarsa namun seperti bercak-bercak sinar dari letusan petasan raksasa yang mampu menerangi kota Paris. Majalah Left hanya terbit tujuh kali tetapi menggemparkan Moskow."
Kita tentu tak ingin muluk-muluk dan berharap SUWA menggemparkan Aceh. Karena keinginan itu sangat berat, apalagi SUWA hanyalah pemain baru yang ingin mendapatkan tempat di hati masyarakat Aceh. Tak berlebihan juga kita berharap SUWA dapat menjadi pelipur lara rakyat Aceh dan menjadi media bagi perwujudan perdamaian abadi di Aceh.
Jika pun kami harus berhenti terbit—dengan satu dan lain hal—kami berharap, kehadiran kami dapat membawa arti bagi pembaca. Tak Seperti syair Khairil Anwar, "Sekali berarti, sesudah itu mati." Kami tak ingin nasib kami seperti itu. Bagi kami, "Sekali berarti, berarti selamanya." Sederhana sekali.
Pun begitu, kita berharap SUWA dapat bernasib seperti koran oposisi yang terbit di Slovakia, SME, khususnya seperti saat kondisi pada tahun 1989. Saat itu SME memosisikan diri sebagai media oposisi (alternatif) terhadap pemerintah. Karena itu, SME dianggap sebagai media yang berbahaya oleh rezim nasionalisme Vladimir Meciar, dan berusaha menutup surat kabar itu dengan cara menutup akses ke perusahaan percetakan.
Tapi Alexej Fulmek, seorang wartawan SME tak kehilangan akal, dan sekuat tenaga berusaha menyelamatnya media-nya. Ketika akses ke perusahaan percetakan ditutup, Fulmek meminjam uang dari MDLF (Media Development Loan Fund) untuk membeli percetakan bagi korannya, SME. Hasilnya menakjubkan, kini SME telah menjadi usaha penerbitan terbesar di Slovakia dengan menerbitkan 6 surat kabar nasional dan 31 surat kabar daerah.
Pembaca, kami juga mesti jujur, bahwa SUWA bukanlah SME. SUWA bukan apa-apa. Kami sama sekali tak punya modal besar. Kami bekerja dengan semangat. Itu saja. Karena kami berharap, agar rakyat Aceh memperoleh bacaan yang mendidik. Meski kadang-kadang tulisan-tulisan kami juga menggelitik.
Dalam pandangan kami, rakyat perlu bacaan yang relevan dengan kondisi sosio-hisoris, tidak cengeng dan mendidik. Tapi tetap kritis. Seperti sudah kami sampaikan dalam edisi pertama, bahwa kami berharap dapat menjadi penerang bagi rakyat. Penerang tanpa membuat silau. Itu saja harapan kami. Karena itu, terimalah kami yang mencoba menyapa pembaca lagi. Jadikan SUWA teman diskusi anda. Selamat membaca! (fiek)
Kami sangat terharu mendapatkan sms-sms dari pembaca. Ternyata sambutan untuk edisi perdana sangat luar biasa. Malah ada yang meminta agar SUWA dicetak ulang. Kami, segenap redaksi tentu saja sangat senang. Dukungan seperti inilah yang kami harapkan. Agar kami bisa bekerja lebih semangat lagi.
Sebelum SUWA, sudah banyak media yang sempat terbit (di Aceh) kemudian satu persatu gugur dengan berbagai alasan. Meskipun kita bersepakat bahwalama-pendeknya terbit suatu media tak memengaruhi pencapaian cita-cita luhurnya. Sejarah SUWA mungkin dapat menjelaskan hal itu. SUWA pernah terbit beberapa edisi, saat Aceh lagi panas-panasnya. Kemudian "pingsan" dan baru sekarang siuman lagi. Tentu dengan Performa dan visi yang sudah berubah.
Perry Anderson, editor The New Left sebagaimana dikutip Daniel Dhakidae dalam pengantar bukunya "Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru" (2003) menulis "lamanya hidup suatu media (jurnal) tidak menjamin pencapaiannya. Sebagai contoh, Athaeneum, yang hanya terbit 3 tahun tetapi mampu membangkitkan romantisme Jerman, setelah itu mati. Demikian pula Revue Blanche yang tak sampai satu dasawarsa namun seperti bercak-bercak sinar dari letusan petasan raksasa yang mampu menerangi kota Paris. Majalah Left hanya terbit tujuh kali tetapi menggemparkan Moskow."
Kita tentu tak ingin muluk-muluk dan berharap SUWA menggemparkan Aceh. Karena keinginan itu sangat berat, apalagi SUWA hanyalah pemain baru yang ingin mendapatkan tempat di hati masyarakat Aceh. Tak berlebihan juga kita berharap SUWA dapat menjadi pelipur lara rakyat Aceh dan menjadi media bagi perwujudan perdamaian abadi di Aceh.
Jika pun kami harus berhenti terbit—dengan satu dan lain hal—kami berharap, kehadiran kami dapat membawa arti bagi pembaca. Tak Seperti syair Khairil Anwar, "Sekali berarti, sesudah itu mati." Kami tak ingin nasib kami seperti itu. Bagi kami, "Sekali berarti, berarti selamanya." Sederhana sekali.
Pun begitu, kita berharap SUWA dapat bernasib seperti koran oposisi yang terbit di Slovakia, SME, khususnya seperti saat kondisi pada tahun 1989. Saat itu SME memosisikan diri sebagai media oposisi (alternatif) terhadap pemerintah. Karena itu, SME dianggap sebagai media yang berbahaya oleh rezim nasionalisme Vladimir Meciar, dan berusaha menutup surat kabar itu dengan cara menutup akses ke perusahaan percetakan.
Tapi Alexej Fulmek, seorang wartawan SME tak kehilangan akal, dan sekuat tenaga berusaha menyelamatnya media-nya. Ketika akses ke perusahaan percetakan ditutup, Fulmek meminjam uang dari MDLF (Media Development Loan Fund) untuk membeli percetakan bagi korannya, SME. Hasilnya menakjubkan, kini SME telah menjadi usaha penerbitan terbesar di Slovakia dengan menerbitkan 6 surat kabar nasional dan 31 surat kabar daerah.
Pembaca, kami juga mesti jujur, bahwa SUWA bukanlah SME. SUWA bukan apa-apa. Kami sama sekali tak punya modal besar. Kami bekerja dengan semangat. Itu saja. Karena kami berharap, agar rakyat Aceh memperoleh bacaan yang mendidik. Meski kadang-kadang tulisan-tulisan kami juga menggelitik.
Dalam pandangan kami, rakyat perlu bacaan yang relevan dengan kondisi sosio-hisoris, tidak cengeng dan mendidik. Tapi tetap kritis. Seperti sudah kami sampaikan dalam edisi pertama, bahwa kami berharap dapat menjadi penerang bagi rakyat. Penerang tanpa membuat silau. Itu saja harapan kami. Karena itu, terimalah kami yang mencoba menyapa pembaca lagi. Jadikan SUWA teman diskusi anda. Selamat membaca! (fiek)
Tags:
editorial