Malam ini, udara dingin sekali. Sejak beberapa hari Banda Aceh tak henti-henti disiram dengan hujan. Kondisi seperti ini tentu saja membuat kita malas. Apalagi, jalan2 banyak yang becek. Pokoknya untuk keluar agak malas, kecuali ada keperluan mendesak. Kalo tidak, kita lebih bagus bersemedi dalam kamar saja. Jika tak online, ya paling-paling tidur. (kawan aku pernah bilang, jika keluar ada dua resiko, kalo ga nambah utang ya paling nambah dosa).
Skripsi, sama sekali belum aku sentuh. Serba salah juga. Mau diterusin, takut nanti judul itu gak diterima oleh fakultas (belum seminar judul, karena belum cukup mahasiswa untuk bisa seminar judul yaitu lima orang). Tapi, aku sengaja mempersiapkan bahan-bahan dulu, jika nanti disetujui ya syukur, kalo ga paling bisa diseriusin buat buku. Judul skripsi aku juga lumayan berat, "Efektivitas Propaganda Sentral Informasi Referendum Aceh" yang mengambil studi pemberitaan Serambi Indonesia sepanjang Tahun 1999 tentang kampanye SIRA untuk referendum Aceh.
Aku punya target, bulan Februari 2008 bisa selesai kuliah. Soalnya, sudah bosan juga jadi mahasiswa, ingin cepat jadi sarjana. Kawan-kawan satu leting (2000) banyak yang sudah selesai S2, sementara aku sendiri S1 masih kabur. Belum selesai kuliah, jadi beban juga. Banyak hal yang harus ditunda gara-gara kuliah terbengkalai. Sebut saja program menikah. Padahal diliat dari umur, aku sudah bisa menikah. Tapi, apa boleh buat, menyelesaikan kuliah dan menikah sama-sama membutuhkan perhatian lebih, dan sama-sama bobot bebannya. Jadi, tak bisa dijalani sekaligus. Belum lagi, belum punya kerja tetap. Mau dikasih apa anak orang.
Kok jadi ngelantur ya...ga lagi fokus. Padahal, di tengah suasana dingin seperti ini aku mau menulis cerita tentang aku sendiri. Selama ini, aku asyik menulis tentang orang. Sesekali menulis tentang diri sendiri kan tak ada salahnya. Walaupun nanti banyak orang kasih komentar, tak jadi soal. Memang sih menulis cerita sendiri kita tak bisa objektif, dan cenderung sombong. Tapi, kita kan bisa berusaha menjadi objektif. Biarlah orang nanti menulis, kita objektif apa ga.
Oya, kata orang tuaku, nama aku dulunya tak ada hubungannya dengan nama aku sekarang. Cuma nama belakang aja yang punya sedikit hubungan. Tapi, nama belakang juga hasil rakitan aku sendiri. Orang tuaku baru tahu ketika kuberitahu bahwa aku tambahin nama belakang. Ketika kecil, entah karena orang tuaku kagum pada sosok presiden Mesir Husni Mubarak, aku sendiri tak tahu. Mereka sepakat memberiku nama Presiden Mesir untuk namaku. Aku sih tak protes, karena saat itu belum bisa bicara. Jadi, di tengah ketakmengertian aku terima nama itu dengan pasrah (tanpa protes). Jadilah namaku Husni Mubarak.
Tapi, nama itu sama sekali tak mujarab untuk bocah yang lahir 9 November 1981 (wah ternyata kemarin aku ulang tahun. sama sekali tak teringat. gawat ni dah makin tua). Nama itu sama sekali tak sanggup aku pikul. Kata orang tuaku, aku sering sakit-sakitan, karena nama itu terlalu berat untukku. Setelah konsultasi sana-sini (termasuk sama Teungku di kampung), mereka sepakat mengganti nama Husni Mubarak dengan Taufik. Saat pertama kali di antar ke sekolah MIN, dengan lancar aku perkenalkan namaku Taufik, tentu saja dengan ekpresi takut dan sambil menangis.
Aku lahir di Desa Kumbang Trueng Campli, Glumpang Baro Kabupaten Pidie. Di sinilah pertama kali aku menangis, ketika baru keluar dari rahim ibuku. Aku takut sekali sampai menangis. Entah apa maksudnya. Atau itulah ekspresi kemerdekaan, aku tak tahu. Selebihnya tak banyak yang bisa aku ceritakan.
Pendidikan dasar dimulai di MIN Cot Glumpang dan tamat tahun 1994, lalu melanjutkan ke Pesantren Modern Terpadu (PMT) Al Furqan Bambi (tamat tahun 1997). Selesai dari Bambi melanjutkan ke MAN 1 Sigli dan lulus Tahun 2000. Setelah itu, karena rayuan teman-teman aku tergiur kuliah ke Banda Aceh. Padahal orang tuaku sama sekali tak mampu. Akupun membuat MoU dengan orang tua: Aku cukup dibantu biaya masuk kuliah dan biaya kuliah semester pertama dan dua. Selebihnya, biarlah menjadi tanggungan aku sendiri. Jika tak kubuat MoU seperti ini, mungkin gelar mahasiswa sama sekali tak pernah kusandang. (serba susah jadi orang miskin)
Tekad dan keberanian sudah ada. Aku tinggal menjalaninya saja. Semester pertama dan kedua kuliahku lancar. Aku rajin kuliah. Tak pernah kufikirkan hal-hal selain kuliah. Pokoknya, janjiku sama orang tua benar-benar kupenuhi, bahwa aku akan kuliah dengan rajin dan benar, dan tak akan mengecewakan mereka.
Begitu memasuki semester ketiga, kuliahku mulai kacau. Aku harus memikirkan sendiri biaya kuliah. Pikiranku jadi tak fokus. Antara memikirkan kuliah dan mencari uang buat bayar urang kuliah. Pernah sempat mengajar di TPQ di Lingke, tapi tak bertahan lama. Aku juga sudah mulai mengenal yang namanya demo. Aku berfikir bahwa kuliah menjadi tak penting. Lagi pula tanggung jawabku dengan orang tua sudah tak ada lagi, karena biaya kuliah sudah aku tanggung sendiri. Semakin hari, semakin sering aku ikut demo. Aku makin kenal dengan gerakan. Nasib akhirnya menuntun aku mengenal SIRA lebih dekat. Aku semakin sering ikut dalam acara-acara SIRA. Kuliah, kemudian sama sekali tak lagi jadi nomor satu. Argumentasiku yang kuingat saat itu, "jika ingin pintar, maka jangan kuliah" semakin mempengaruhiku dan kucoba pengaruhi beberapa orang kawan.
Yang kuingat saat itu, meski sudah jarang masuk kuliah, aku tak pernah berhenti membaca koran. Aktivitas ini sudah ku jalani sejak sekoah di menengah pertama. Membaca koran menjadi rutinitas yang tak pernah kutinggalkan. Rubrik yang paling kusenangi saat itu adalah luar negeri dan opini. Pengetahuan umumku sedikit bertambah, yang kemudian kuakui sangat membantu aktivitasku sekarang. Aku jadi berfikir, tak mau terus menerus membaca karya orang. Aku bertekad, aku harus menjadi penulis agar tulisanku juga dibaca oleh orang.
Aku masih ingat, ketika masih duduk di bangku sekolah menengah, banyak buku catatan sekolah yang aku sulap menjadi buku kumpulan cerpen dan puisi. Setiap kesempatan kugunakan untuk mencoret halaman-demi halaman yang kosong. Seakan aku punya obsesi yang harus terwujud: jadi penulis. Keinginan itu baru tercapai ketika aku duduk di kelas 2 MAN. Aku sangat senang ketika cerpen pertamaku "POTRET TUA" dimuat di Harian Waspada yang terbit di Medan. Tak hanya itu, puisi-puisi ku yang sama sekali tak puitis juga sudah mulai dimuat di Harian terbesar di luar Jawa itu. Setelah itu, cerpen "PARJO" juga dimuat. Keinginanku menjadi penulis tinggal menunggu waktu saja.
Ternyata, ketika duduk di bangku kuliah, orientasiku bukan lagi menulis cerpen. Aku sudah lebih sering menulis artikel yang dekat ke politik. Hal itu, tentu saja karena seringnya aku berurusan dengan dunia politik. Padahal, lewat cerpen juga kita bisa menyampaikan pesan politik. Sejak itu, aku mulai menulis tulisan-tulisan berupa opini atau essay, di mana tulisan tersebut menghiasi halaman opini Serambi Indonesia. Tulisan pertama yang dimuat di kolom Opini Serambi Indonesia adalah Puasa Manahan Nafsu Jahat, yang berisi refleksi tentang keharusan penghentian perang di bulan puasa antara pihak RI dan GAM.
Ketika menjadi mahasiswa, aku ikut terlibat dalam berbagai demonstrasi mahasiswa, dan menjadi pendiri beberapa lembaga gerakan mahasiswa seperti Penyambung Aspirasi untuk Keadilan (Perak), Himpunan Aktivis Anti Militerisme (HANTAM) dan lain-lain. Selain itu, ikut terlibat dalam pers kampus sebagai editor di Tabloid mahasiswa Ar Raniry Post.
Kehidupan di dunia aktivis membuat aku pernah menjadi tahanan Polresta Banda Aceh karena kasus pengibaran Bendera PBB, Referendum, GAM dan RI bersama kawan-kawan dari HANTAM. Aksi pengibaran bendera itu dikenal dengan demo meminta gencatan senjata (cease fire) antara RI dan GAM.
Saat berlangsung Darurat Militer, aku ikut menyelamatkan diri ke Jakarta bersama dengan para aktivis lainnya. Di Jakarta Taufik juga mengembangkan karirnya di Bidang menulis.Hal ini terbukti dengan dimuatnya tulisan atau opini di Koran Sinar Harapan. Tak hanya itu, aku juga menulis untuk situs-situs berita seperti di penulis lepas, modus dan acehkita. Aktivitas sehari-hari mengelola buletin SATUVISI yang diterbitkan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).
Aku kembali lagi ke Aceh setelah sebulan penandatangan MoU Helsinki. Aku masih ingat, tanggal 9 September 2005, dengan menumpang Sriwijaya Air, aku meninggalkan Jakarta. Itulah hari terakhirku di Jakarta yang sempat kusinggahi selama lebih 2,5 tahun. Sebelumnya, aku sama sekali tak berfikir bahwa aku akan tinggal selama itu di Jakarta, tempat semua kebijakan perang melawan Aceh dirumuskan.
Dua bulan di Aceh, aku jadi cemburu sama teman-temanku. Mereka banyak yang sudah bekerja di berbagai NGO. Aku sendiri masih harus menyesuaikan diri dengan Aceh yang sudah lama kutinggalkan. Dua bulan tanpa aktivitas tentu saja membuat kita suntuk, dan tak semangat. Tapi, begitu memasuki bulan November, seorang kawan yang bekerja di GTZ di Pidie memberitahu bahwa GTZ menerima karyawan baru. Aku diminta untuk memasukkan CV. Sebelumnnya aku sempat ragu, apakah aku bisa bekerja di lembaga asing yang punya peraturan ketat. Tapi mencoba tak ada salahnya. Aku hanya diinterview sebentar (tepatnya ngobrol-ngobrol), karena ternyata hari itu juga aku sudah mulai bisa bekerja di GTZ. Aku dikontrak untuk dua bulan. (Aku terima bekerja karena tak lama kontraknya, sebab aku belum bisa meninggalkan Banda Aceh, karena targetku menyelesaikan kuliah)
Mulailah aku meninggalkan Banda Aceh menuju Sigli. Karena aku ditempatkan di GTZ Pidie sebagai Community Worker untuk Kecamatan Kembang Tanjong. Aku bekerja sama akhir Desember 2006. Ketika kontrak dua bulan itu berakhir, aku menerima kontrak baru di lain proyek untuk 6 bulan. Jadilah sejak Januari aku menjadi karyawan GTZ SLGSR (Support for local governance for suistainable recontruction). Ketika Juni 2006 abis kontrak, aku berfikir bahwa proyek SLGSR tak dilanjutkan, dan aku kembali jadi pengangguran. Ternyata pihak SLGSR tak mau karyawannnya terbengkalai. Merekapun kembali menginterview kami satu persatu dan menanyakan ingin bekerja di proyek apa lagi di GTZ. Mereka bisa merekomendasikan kami untuk diterima di proyek lain. (bersambung)
Aku dah ngantuk.....nanti aku sambung lagi.
Skripsi, sama sekali belum aku sentuh. Serba salah juga. Mau diterusin, takut nanti judul itu gak diterima oleh fakultas (belum seminar judul, karena belum cukup mahasiswa untuk bisa seminar judul yaitu lima orang). Tapi, aku sengaja mempersiapkan bahan-bahan dulu, jika nanti disetujui ya syukur, kalo ga paling bisa diseriusin buat buku. Judul skripsi aku juga lumayan berat, "Efektivitas Propaganda Sentral Informasi Referendum Aceh" yang mengambil studi pemberitaan Serambi Indonesia sepanjang Tahun 1999 tentang kampanye SIRA untuk referendum Aceh.
Aku punya target, bulan Februari 2008 bisa selesai kuliah. Soalnya, sudah bosan juga jadi mahasiswa, ingin cepat jadi sarjana. Kawan-kawan satu leting (2000) banyak yang sudah selesai S2, sementara aku sendiri S1 masih kabur. Belum selesai kuliah, jadi beban juga. Banyak hal yang harus ditunda gara-gara kuliah terbengkalai. Sebut saja program menikah. Padahal diliat dari umur, aku sudah bisa menikah. Tapi, apa boleh buat, menyelesaikan kuliah dan menikah sama-sama membutuhkan perhatian lebih, dan sama-sama bobot bebannya. Jadi, tak bisa dijalani sekaligus. Belum lagi, belum punya kerja tetap. Mau dikasih apa anak orang.
Kok jadi ngelantur ya...ga lagi fokus. Padahal, di tengah suasana dingin seperti ini aku mau menulis cerita tentang aku sendiri. Selama ini, aku asyik menulis tentang orang. Sesekali menulis tentang diri sendiri kan tak ada salahnya. Walaupun nanti banyak orang kasih komentar, tak jadi soal. Memang sih menulis cerita sendiri kita tak bisa objektif, dan cenderung sombong. Tapi, kita kan bisa berusaha menjadi objektif. Biarlah orang nanti menulis, kita objektif apa ga.
Oya, kata orang tuaku, nama aku dulunya tak ada hubungannya dengan nama aku sekarang. Cuma nama belakang aja yang punya sedikit hubungan. Tapi, nama belakang juga hasil rakitan aku sendiri. Orang tuaku baru tahu ketika kuberitahu bahwa aku tambahin nama belakang. Ketika kecil, entah karena orang tuaku kagum pada sosok presiden Mesir Husni Mubarak, aku sendiri tak tahu. Mereka sepakat memberiku nama Presiden Mesir untuk namaku. Aku sih tak protes, karena saat itu belum bisa bicara. Jadi, di tengah ketakmengertian aku terima nama itu dengan pasrah (tanpa protes). Jadilah namaku Husni Mubarak.
Tapi, nama itu sama sekali tak mujarab untuk bocah yang lahir 9 November 1981 (wah ternyata kemarin aku ulang tahun. sama sekali tak teringat. gawat ni dah makin tua). Nama itu sama sekali tak sanggup aku pikul. Kata orang tuaku, aku sering sakit-sakitan, karena nama itu terlalu berat untukku. Setelah konsultasi sana-sini (termasuk sama Teungku di kampung), mereka sepakat mengganti nama Husni Mubarak dengan Taufik. Saat pertama kali di antar ke sekolah MIN, dengan lancar aku perkenalkan namaku Taufik, tentu saja dengan ekpresi takut dan sambil menangis.
Aku lahir di Desa Kumbang Trueng Campli, Glumpang Baro Kabupaten Pidie. Di sinilah pertama kali aku menangis, ketika baru keluar dari rahim ibuku. Aku takut sekali sampai menangis. Entah apa maksudnya. Atau itulah ekspresi kemerdekaan, aku tak tahu. Selebihnya tak banyak yang bisa aku ceritakan.
Pendidikan dasar dimulai di MIN Cot Glumpang dan tamat tahun 1994, lalu melanjutkan ke Pesantren Modern Terpadu (PMT) Al Furqan Bambi (tamat tahun 1997). Selesai dari Bambi melanjutkan ke MAN 1 Sigli dan lulus Tahun 2000. Setelah itu, karena rayuan teman-teman aku tergiur kuliah ke Banda Aceh. Padahal orang tuaku sama sekali tak mampu. Akupun membuat MoU dengan orang tua: Aku cukup dibantu biaya masuk kuliah dan biaya kuliah semester pertama dan dua. Selebihnya, biarlah menjadi tanggungan aku sendiri. Jika tak kubuat MoU seperti ini, mungkin gelar mahasiswa sama sekali tak pernah kusandang. (serba susah jadi orang miskin)
Tekad dan keberanian sudah ada. Aku tinggal menjalaninya saja. Semester pertama dan kedua kuliahku lancar. Aku rajin kuliah. Tak pernah kufikirkan hal-hal selain kuliah. Pokoknya, janjiku sama orang tua benar-benar kupenuhi, bahwa aku akan kuliah dengan rajin dan benar, dan tak akan mengecewakan mereka.
Begitu memasuki semester ketiga, kuliahku mulai kacau. Aku harus memikirkan sendiri biaya kuliah. Pikiranku jadi tak fokus. Antara memikirkan kuliah dan mencari uang buat bayar urang kuliah. Pernah sempat mengajar di TPQ di Lingke, tapi tak bertahan lama. Aku juga sudah mulai mengenal yang namanya demo. Aku berfikir bahwa kuliah menjadi tak penting. Lagi pula tanggung jawabku dengan orang tua sudah tak ada lagi, karena biaya kuliah sudah aku tanggung sendiri. Semakin hari, semakin sering aku ikut demo. Aku makin kenal dengan gerakan. Nasib akhirnya menuntun aku mengenal SIRA lebih dekat. Aku semakin sering ikut dalam acara-acara SIRA. Kuliah, kemudian sama sekali tak lagi jadi nomor satu. Argumentasiku yang kuingat saat itu, "jika ingin pintar, maka jangan kuliah" semakin mempengaruhiku dan kucoba pengaruhi beberapa orang kawan.
Yang kuingat saat itu, meski sudah jarang masuk kuliah, aku tak pernah berhenti membaca koran. Aktivitas ini sudah ku jalani sejak sekoah di menengah pertama. Membaca koran menjadi rutinitas yang tak pernah kutinggalkan. Rubrik yang paling kusenangi saat itu adalah luar negeri dan opini. Pengetahuan umumku sedikit bertambah, yang kemudian kuakui sangat membantu aktivitasku sekarang. Aku jadi berfikir, tak mau terus menerus membaca karya orang. Aku bertekad, aku harus menjadi penulis agar tulisanku juga dibaca oleh orang.
Aku masih ingat, ketika masih duduk di bangku sekolah menengah, banyak buku catatan sekolah yang aku sulap menjadi buku kumpulan cerpen dan puisi. Setiap kesempatan kugunakan untuk mencoret halaman-demi halaman yang kosong. Seakan aku punya obsesi yang harus terwujud: jadi penulis. Keinginan itu baru tercapai ketika aku duduk di kelas 2 MAN. Aku sangat senang ketika cerpen pertamaku "POTRET TUA" dimuat di Harian Waspada yang terbit di Medan. Tak hanya itu, puisi-puisi ku yang sama sekali tak puitis juga sudah mulai dimuat di Harian terbesar di luar Jawa itu. Setelah itu, cerpen "PARJO" juga dimuat. Keinginanku menjadi penulis tinggal menunggu waktu saja.
Ternyata, ketika duduk di bangku kuliah, orientasiku bukan lagi menulis cerpen. Aku sudah lebih sering menulis artikel yang dekat ke politik. Hal itu, tentu saja karena seringnya aku berurusan dengan dunia politik. Padahal, lewat cerpen juga kita bisa menyampaikan pesan politik. Sejak itu, aku mulai menulis tulisan-tulisan berupa opini atau essay, di mana tulisan tersebut menghiasi halaman opini Serambi Indonesia. Tulisan pertama yang dimuat di kolom Opini Serambi Indonesia adalah Puasa Manahan Nafsu Jahat, yang berisi refleksi tentang keharusan penghentian perang di bulan puasa antara pihak RI dan GAM.
Ketika menjadi mahasiswa, aku ikut terlibat dalam berbagai demonstrasi mahasiswa, dan menjadi pendiri beberapa lembaga gerakan mahasiswa seperti Penyambung Aspirasi untuk Keadilan (Perak), Himpunan Aktivis Anti Militerisme (HANTAM) dan lain-lain. Selain itu, ikut terlibat dalam pers kampus sebagai editor di Tabloid mahasiswa Ar Raniry Post.
Kehidupan di dunia aktivis membuat aku pernah menjadi tahanan Polresta Banda Aceh karena kasus pengibaran Bendera PBB, Referendum, GAM dan RI bersama kawan-kawan dari HANTAM. Aksi pengibaran bendera itu dikenal dengan demo meminta gencatan senjata (cease fire) antara RI dan GAM.
Saat berlangsung Darurat Militer, aku ikut menyelamatkan diri ke Jakarta bersama dengan para aktivis lainnya. Di Jakarta Taufik juga mengembangkan karirnya di Bidang menulis.Hal ini terbukti dengan dimuatnya tulisan atau opini di Koran Sinar Harapan. Tak hanya itu, aku juga menulis untuk situs-situs berita seperti di penulis lepas, modus dan acehkita. Aktivitas sehari-hari mengelola buletin SATUVISI yang diterbitkan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).
Aku kembali lagi ke Aceh setelah sebulan penandatangan MoU Helsinki. Aku masih ingat, tanggal 9 September 2005, dengan menumpang Sriwijaya Air, aku meninggalkan Jakarta. Itulah hari terakhirku di Jakarta yang sempat kusinggahi selama lebih 2,5 tahun. Sebelumnya, aku sama sekali tak berfikir bahwa aku akan tinggal selama itu di Jakarta, tempat semua kebijakan perang melawan Aceh dirumuskan.
Dua bulan di Aceh, aku jadi cemburu sama teman-temanku. Mereka banyak yang sudah bekerja di berbagai NGO. Aku sendiri masih harus menyesuaikan diri dengan Aceh yang sudah lama kutinggalkan. Dua bulan tanpa aktivitas tentu saja membuat kita suntuk, dan tak semangat. Tapi, begitu memasuki bulan November, seorang kawan yang bekerja di GTZ di Pidie memberitahu bahwa GTZ menerima karyawan baru. Aku diminta untuk memasukkan CV. Sebelumnnya aku sempat ragu, apakah aku bisa bekerja di lembaga asing yang punya peraturan ketat. Tapi mencoba tak ada salahnya. Aku hanya diinterview sebentar (tepatnya ngobrol-ngobrol), karena ternyata hari itu juga aku sudah mulai bisa bekerja di GTZ. Aku dikontrak untuk dua bulan. (Aku terima bekerja karena tak lama kontraknya, sebab aku belum bisa meninggalkan Banda Aceh, karena targetku menyelesaikan kuliah)
Mulailah aku meninggalkan Banda Aceh menuju Sigli. Karena aku ditempatkan di GTZ Pidie sebagai Community Worker untuk Kecamatan Kembang Tanjong. Aku bekerja sama akhir Desember 2006. Ketika kontrak dua bulan itu berakhir, aku menerima kontrak baru di lain proyek untuk 6 bulan. Jadilah sejak Januari aku menjadi karyawan GTZ SLGSR (Support for local governance for suistainable recontruction). Ketika Juni 2006 abis kontrak, aku berfikir bahwa proyek SLGSR tak dilanjutkan, dan aku kembali jadi pengangguran. Ternyata pihak SLGSR tak mau karyawannnya terbengkalai. Merekapun kembali menginterview kami satu persatu dan menanyakan ingin bekerja di proyek apa lagi di GTZ. Mereka bisa merekomendasikan kami untuk diterima di proyek lain. (bersambung)
Aku dah ngantuk.....nanti aku sambung lagi.
Tags:
biografi