Pembukaan dan peresmian sekretariat Partai GAM, Sabtu (07/07/07) lalu di Banda Aceh dengan menggunakan simbol bintang bulan (bendera GAM) menimbulkan reaksi luar biasa—bahkan berlebihan—dari elite-elite di Jakarta. Jakarta sepertinya belum siap menerima proses demokrasi berjalan di Aceh.
Padahal, sejak ditandatangani MoU Helsinki 15 Agustus 2005 silam, sudah terbuka peluang pembentukan partai lokal di Aceh sebagai bagian dari proses demokrasi. Ketentuan untuk itu diperkuat dengan UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) dan PP No 20/2007 tentang Partai Politik Lokal.
Pasca-MoU Helsinki, GAM telah siap menanggalkan perjuangan bersenjata, berganti dengan perjuangan politik. Untuk tujuan itu, GAM ikhlas memusnahkan semua senjata yang menjadi alat perjuangan selama ini dalam usaha memisahkan Aceh dari Indonesia. Bahkan, GAM juga telah ikut berpartisipasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), di mana ada delapan kandidat GAM yang unggul di 8 Kabupaten/Kota.
Ketakutan pihak Jakarta terhadap partai GAM yang tercermin dari pernyataan Gubernur Lemhanas, Muladi SH, yang terkesan sangat berlebihan dan tak rasional. Apalagi, jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan keinginan GAM menguasai parlemen lalu menggelar referendum untuk Aceh. Bukankah dalam MoU Helsinki sudah disepakati bahwa GAM tak bicara lagi merdeka ataupun referendum. Untuk membuktikan keikhlasan GAM terhadap MoU Helsinki, mereka rela senjata dimusnahkan. Lalu, kenapa masih ada kecurigaan mereka akan menghidupkan lagi benih-benih separatisme yang sudah ditanggalkan?
Tentang ketakutan terhadap lahirnya Partai GAM, Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Ibrahim bin Syamsuddin sampai membuat tamsilan, bahwa Pemerintah Pusat siap hamil tapi tak siap melahirkan. (Serambi Indonesia, 12/07)
Sementara Muhammad Nazar, ketika merespon pernyataan provokatif dari elite-elite di Jakarta tentang partai GAM menyatakan, ”Kita kan sudah sepakat, Pemerintah Aceh dan partai politik lokal berada dalam sistem konstitusi RI.” Pertanyaan kemudian adalah komitmen seperti apa lagi yang harus ditunjukkan oleh GAM dan rakyat Aceh untuk diterima dalam NKRI?
Fascinatio Partai GAM
Respon yang luar biasa terhadap kelahiran Partai GAM (disadari atau tidak) mengandung—meminjam istilah Daniel Dhakidea (2003)—Fascinatio yaitu sesuatu yang menarik perhatian, pada gilirannya dalam makna asli justru mengandung dua arti sekaligus yaitu: menarik perhatian karena sangat memukau, akan tetapi juga mengandung arti kedua: hantu!
Kehadiran partai GAM sangat ditunggu-tunggu oleh mantan kombatan GAM yang bernaung di bawah Komite Peralihan Aceh (KPA) dan juga oleh masyarakat Aceh. Kelahiran Partai GAM menjadi daya tarik bagi para mantan GAM, masyarakat Aceh ataupun para pengamat. Tetapi di sisi lain, partai GAM dianggap sebagai hantu yang menakutkan khususnya bagi kaum ultra-nasionalis yang menganggap kehadiran Partai GAM akan melahirkan kembali ide separatisme di Aceh.
Direktur Eksekutif Propatria, Hari Prihatono menyatakan ketakutan elite politik di Jakarta terhadap kelahiran Partai GAM, menunjukkan bahwa birokrasi kita dari tingkat pusat sampai daerah masih sama dengan gaya Orde Baru yang selalu menggunakan perspektif NKRI. (Serambi Indonesia, 12/07)
Tentang analisa dari Lemhanas, bahwa tujuan akhir pembentukan partai GAM adalah referendum untuk merdeka, menurutnya merupakan analisa yang terlalu jauh dan hal yang dibesar-besarkan. ”Lebih berbahaya mana, mereka (mantan pejuang GAM) mendirikan partai bernama Merah Putih tapi tujuannya untuk merdeka atau mereka menggunakan lambang atau simbol GAM dengan menggunakan asas Pancasila?”
Padahal, tak semua pihak di Aceh senang dengan penggunaan Bendera GAM sebagai simbol partai. Sebab, simbol bintang bulan itu merupakan simbol Negara dan terlalu kecil maknanya jika digunakan untuk partai politik. Malah, mantan Juru Bicara KPA, Sofyan Dawood meminta agar penggunaan bendera GAM sebagai simbol partai tak dipaksakan, sebab secara prinsip merupakan lambang yang besar, dan bukan lagi milik kelompok tertentu melainkan sudah menjadi milik masyarakat Aceh.
Perlu Membangun Kepercayaan
Jika polemik tentang partai GAM ini terus berlangsung, kita takutkan akan berpengaruh terhadap proses damai yang sedang berjalan di Aceh. Padahal, baik RI maupun GAM terikat pada MoU Helsinki yang melahirkan perdamaian di Aceh. Selama ini, MoU Helsinki berjalan maksimal karena masing-masing pihak masih saling percaya satu sama lain. Artinya, MoU Helsinki yang sudah ditandatangani sama-sama dijaga sehingga proses implementasi di lapangan berjalan mulus.
Pihak GAM sebenarnya sudah sangat banyak berkorban untuk sebuah perdamaian di Aceh. Mereka tak hanya rela senjata mereka dipotong-potong oleh pihak AMM melainkan juga mereka tak pernah protes terhadap UU PA yang telah disahkan. Padahal, saat UU PA disahkan sebagian besar masyarakat Aceh menolaknya karena banyak butir-butir MoU Helsinki tak diakomodir dalam UU PA. Padahal, jika mau, GAM bisa menolak UU PA. Tetapi hal itu tak dilakukan oleh GAM karena akan berpengaruh terhadap jalannya perdamaian di Aceh.
Selain itu, mereka juga ikut bertarung dalam pemilihan kepada daerah di Aceh. Hal ini dilakukan bahwa GAM benar-benar ikhlas dengan proses yang ada. Sekarang, banyak elite-elite GAM yang menjadi kepala daerah tingkat dua (Bupati/Walikota). Bukankah itu bentuk penerimaan GAM terhadap konsep NKRI?
Karena itu, sikap curiga yang terlanjur bersemi kembali sudah sepatutnya dihilangkan. Tak perlu ada analisa berlebihan terhadap kelahiran partai GAM sebagai embrio gerakan separatis. Cobalah bersikap arif dalam merespon setiap persoalan, tak langsung mengklaim negatif. Yang perlu dilakukan sekarang adalah membangun sikap saling percaya dan bukan sikap curiga. Lebih penting memikirkan bagaimana menjaga agar perdamaian Aceh tetap langgeng dan membantu Pemerintah Aceh mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat Aceh ketimbang meributkan hal-hal yang tidak perlu.
Tulisan ini sudah pernah dimuat di harian Serambi Indonesia
Padahal, sejak ditandatangani MoU Helsinki 15 Agustus 2005 silam, sudah terbuka peluang pembentukan partai lokal di Aceh sebagai bagian dari proses demokrasi. Ketentuan untuk itu diperkuat dengan UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) dan PP No 20/2007 tentang Partai Politik Lokal.
Pasca-MoU Helsinki, GAM telah siap menanggalkan perjuangan bersenjata, berganti dengan perjuangan politik. Untuk tujuan itu, GAM ikhlas memusnahkan semua senjata yang menjadi alat perjuangan selama ini dalam usaha memisahkan Aceh dari Indonesia. Bahkan, GAM juga telah ikut berpartisipasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), di mana ada delapan kandidat GAM yang unggul di 8 Kabupaten/Kota.
Ketakutan pihak Jakarta terhadap partai GAM yang tercermin dari pernyataan Gubernur Lemhanas, Muladi SH, yang terkesan sangat berlebihan dan tak rasional. Apalagi, jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan keinginan GAM menguasai parlemen lalu menggelar referendum untuk Aceh. Bukankah dalam MoU Helsinki sudah disepakati bahwa GAM tak bicara lagi merdeka ataupun referendum. Untuk membuktikan keikhlasan GAM terhadap MoU Helsinki, mereka rela senjata dimusnahkan. Lalu, kenapa masih ada kecurigaan mereka akan menghidupkan lagi benih-benih separatisme yang sudah ditanggalkan?
Tentang ketakutan terhadap lahirnya Partai GAM, Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Ibrahim bin Syamsuddin sampai membuat tamsilan, bahwa Pemerintah Pusat siap hamil tapi tak siap melahirkan. (Serambi Indonesia, 12/07)
Sementara Muhammad Nazar, ketika merespon pernyataan provokatif dari elite-elite di Jakarta tentang partai GAM menyatakan, ”Kita kan sudah sepakat, Pemerintah Aceh dan partai politik lokal berada dalam sistem konstitusi RI.” Pertanyaan kemudian adalah komitmen seperti apa lagi yang harus ditunjukkan oleh GAM dan rakyat Aceh untuk diterima dalam NKRI?
Fascinatio Partai GAM
Respon yang luar biasa terhadap kelahiran Partai GAM (disadari atau tidak) mengandung—meminjam istilah Daniel Dhakidea (2003)—Fascinatio yaitu sesuatu yang menarik perhatian, pada gilirannya dalam makna asli justru mengandung dua arti sekaligus yaitu: menarik perhatian karena sangat memukau, akan tetapi juga mengandung arti kedua: hantu!
Kehadiran partai GAM sangat ditunggu-tunggu oleh mantan kombatan GAM yang bernaung di bawah Komite Peralihan Aceh (KPA) dan juga oleh masyarakat Aceh. Kelahiran Partai GAM menjadi daya tarik bagi para mantan GAM, masyarakat Aceh ataupun para pengamat. Tetapi di sisi lain, partai GAM dianggap sebagai hantu yang menakutkan khususnya bagi kaum ultra-nasionalis yang menganggap kehadiran Partai GAM akan melahirkan kembali ide separatisme di Aceh.
Direktur Eksekutif Propatria, Hari Prihatono menyatakan ketakutan elite politik di Jakarta terhadap kelahiran Partai GAM, menunjukkan bahwa birokrasi kita dari tingkat pusat sampai daerah masih sama dengan gaya Orde Baru yang selalu menggunakan perspektif NKRI. (Serambi Indonesia, 12/07)
Tentang analisa dari Lemhanas, bahwa tujuan akhir pembentukan partai GAM adalah referendum untuk merdeka, menurutnya merupakan analisa yang terlalu jauh dan hal yang dibesar-besarkan. ”Lebih berbahaya mana, mereka (mantan pejuang GAM) mendirikan partai bernama Merah Putih tapi tujuannya untuk merdeka atau mereka menggunakan lambang atau simbol GAM dengan menggunakan asas Pancasila?”
Padahal, tak semua pihak di Aceh senang dengan penggunaan Bendera GAM sebagai simbol partai. Sebab, simbol bintang bulan itu merupakan simbol Negara dan terlalu kecil maknanya jika digunakan untuk partai politik. Malah, mantan Juru Bicara KPA, Sofyan Dawood meminta agar penggunaan bendera GAM sebagai simbol partai tak dipaksakan, sebab secara prinsip merupakan lambang yang besar, dan bukan lagi milik kelompok tertentu melainkan sudah menjadi milik masyarakat Aceh.
Perlu Membangun Kepercayaan
Jika polemik tentang partai GAM ini terus berlangsung, kita takutkan akan berpengaruh terhadap proses damai yang sedang berjalan di Aceh. Padahal, baik RI maupun GAM terikat pada MoU Helsinki yang melahirkan perdamaian di Aceh. Selama ini, MoU Helsinki berjalan maksimal karena masing-masing pihak masih saling percaya satu sama lain. Artinya, MoU Helsinki yang sudah ditandatangani sama-sama dijaga sehingga proses implementasi di lapangan berjalan mulus.
Pihak GAM sebenarnya sudah sangat banyak berkorban untuk sebuah perdamaian di Aceh. Mereka tak hanya rela senjata mereka dipotong-potong oleh pihak AMM melainkan juga mereka tak pernah protes terhadap UU PA yang telah disahkan. Padahal, saat UU PA disahkan sebagian besar masyarakat Aceh menolaknya karena banyak butir-butir MoU Helsinki tak diakomodir dalam UU PA. Padahal, jika mau, GAM bisa menolak UU PA. Tetapi hal itu tak dilakukan oleh GAM karena akan berpengaruh terhadap jalannya perdamaian di Aceh.
Selain itu, mereka juga ikut bertarung dalam pemilihan kepada daerah di Aceh. Hal ini dilakukan bahwa GAM benar-benar ikhlas dengan proses yang ada. Sekarang, banyak elite-elite GAM yang menjadi kepala daerah tingkat dua (Bupati/Walikota). Bukankah itu bentuk penerimaan GAM terhadap konsep NKRI?
Karena itu, sikap curiga yang terlanjur bersemi kembali sudah sepatutnya dihilangkan. Tak perlu ada analisa berlebihan terhadap kelahiran partai GAM sebagai embrio gerakan separatis. Cobalah bersikap arif dalam merespon setiap persoalan, tak langsung mengklaim negatif. Yang perlu dilakukan sekarang adalah membangun sikap saling percaya dan bukan sikap curiga. Lebih penting memikirkan bagaimana menjaga agar perdamaian Aceh tetap langgeng dan membantu Pemerintah Aceh mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat Aceh ketimbang meributkan hal-hal yang tidak perlu.
Tulisan ini sudah pernah dimuat di harian Serambi Indonesia
Tags:
Artikel