Oleh Taufik Al Mubarak
Judul ini modifikasi dari tema diskusi DUDUK PERKARA di TV7 yang mengangkat topik: Bersama SBY, Berubahkah Nasib Kita? Saya memandang topik ini perlu didiskusikan lagi dalam lingkup yang lebih kecil, seperti tergambar dalam judul tulisan ini. Topik ini penting diangkat—untuk menjadi discourse—di tengah bergulirnya isu perubahan yang bakal mewarnai hari-hari pemerintahan SBY, presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Euphoria perubahan bukan hanya terhembus di pusat kekuasaan melainkan juga menyebar di pelosok tanah air. Inikah kesempatan kita untuk menyongsong perubahan?
Semua harapan perubahan kini digantungkan pada sosok SBY, yang oleh beberapa kalangan dan simpatisannya atau orang-orang yang memujinya menjuluki “Jenderal yang berfikir.” Dan sebagian lagi menjulukinya “sang demokrat.” Julukan-julukan ini diberikan karena performa SBY yang dinilai berwibawa, cerdas dan sangat sistematis dalam berbicara. Walaupun dia berasal dari latar belakang militer, tetapi lewat politik pencitraan, dia dianggap militer yang lebih terkesan sipil ketimbang militer sungguhan.
Apapun kata orang tentang dia, pertanyaan ini layak diajukan: Apakah harapan-harapan rakyat untuk perubahan bisa diwujudkan oleh SBY? Bukankah tema perubahan hanya sebuah utopia sebagaimana utopia yang dijanjikan oleh presiden-presiden sebelumnya seperti Bung Karno dengan utopia pembangunan karakter bangsa dan revolusi atau Soeharto dengan gagasan besarnya “pembangunan nasional” yang ternyata keropos itu. Bukankah SBY kini menciptakan sebuah utopia baru, untuk menyenangkan rakyat Indonesia. Karena seperti kita tahu, rakyat Indonesia senang dengan utopia-utopia.
Sementara persoalan bangsa sekarang, bukanlah siapa yang bisa menawarkan suatu utopia baru dan berharap rakyat terpesona dengan utopia itu. Melainkan bagaimana impian rakyat untuk hidup sejahtera terpenuhi. Rakyat pada dasarnya tidak menuntut hal yang muluk-muluk dari presiden terpilih. Hanya janji-janji yang terlanjur diucapkan dalam kampanye, dialog dan penyataan di media ditepati. Rakyat sudah bosan ditimbun dengan janji-janji. Rakyat sekarang butuh bukti.
Pemerintah baru juga harus mampu meyakinkan rakyat bahwa mereka tidak salah memilih orang untuk menggapai cita-cita bersama sebagaimana komitmen fouding father beberapa puluh tahun silam. Pemerintah harus bisa meyakinkan rakyat bahwa mereka memiliki sepenuhnya Negara ini. Tidak ada rakyat yang menderita. Semua harus diperlakukan sama. Tak terdengar lagi ada rakyat yang dibantai di bawah bendera merah putih ini. Tak ada lagi penindasan, tak ada lagi konflik Aceh dan Papua. Tidak ada lagi rakyat yang susah dalam NKRI
Dalam konteks Aceh, kita perlu mengutip kembali pernyataan SBY bahwa menurutnya “pendekatan militer untuk konflik Aceh dan juga Papua tidak bisa menyelesaikan masalah melainkan menimbulkan masalah baru. Harus difikirkan solusi yang komprehensif.” Kita tidak tahu, apakah SBY benar-benar serius dengan pernyataannya atau hanya sekedar menjanjikan adanya perubahan kebijakan untuk Aceh dan Papua. Karena sebagaimana pengalaman sebelumnya, seperti Habibie dan Megawati yang menyampaikan bahwa jika mereka berkuasa tidak akan membiarkan setetes darah pun tumpah di Aceh. Tetapi kenyataan yang justru sebaliknya, memang bukan setetes melainkan banjir darah.
Apa yang disampaikan oleh SBY ini sebenarnya sudah sering diungkapkan baik oleh pengamat maupun rakyat Aceh sendiri. Tetapi, tak pernah didengar. Pemerintah tidak pernah belajar dari sejarah. Apalagi belajar dari kebijakan yang gagal di masa lalu. pernyataan SBY perlu kita garis bawahi karena sebentar lagi dia memangku jabatan presiden yang oleh beberapa kalangan dianggap bisa mewujudkan perubahan.
SBY akan diuji oleh kebijakannya untuk Aceh pada awal-awal pemerintahannya. Apakah kebijakan yang diambil SBY seperti tergambar dari pernyataannya atau malah tidak sama sekali. Jika kebijakan di awal pemerintahannya sudah keliru, sulit berharap selanjutnya akan benar-benar tepat. Awal yang buruk biasanya juga berakhir dengan lebih buruk lagi. Dan SBY harus menunjukkan bukti bahwa dia mempunyai kebijakan yang komprehensif dan berbeda dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Kita patut memuji keinginannya untuk menyelesaikan Aceh tanpa pertumpahan darah. Tapi komitmen seorang tokoh tidak bisa diukur dari bagusnya pernyataan. Tetapi SBY punya momen untuk meyakinkan rakyat Aceh dan public Indonesia, bahwa dia serius dengan komitmennya untuk menyelesaikan Aceh tanpa pertumpahan darah (tidak menggunakan pendekatan militer). Kita akan segera tahu bagaimana sikapnya menjelang berakhirnya status darurat sipil yang sudah berlangsung 6 bulan serta apakah dia membuka kembali ruang perundingan dengan GAM. Andai SBY benar-benar komitmen dengan ucapannya, tentu dia sudah mempersiapkan sebuah opsi untuk Aceh yang akan diterima oleh rakyat Aceh.
Kita berpijak dari kenyataan bahwa kita tidak akan bisa membangun masa depan Aceh menjadi lebih baik dengan terus menerus menanam benci dan dendam. Konflik Aceh tidak menjadi selesai dengan terus menerus mempertahankan pendekatan militer, tetapi perlu dicari solusi lain yang lebih menghargai historisitas rakyat Aceh.
Pemerintah tidak bisa membangun Aceh tanpa adanya dukungan dari rakyat Aceh. Pemerintah tidak bisa membangun Aceh tanpa kepercayaan rakyat Aceh. Sangat penting bagi SBY membangun kembali kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah.
Selama ini, diakui atau tidak, kepercayaan rakyat Aceh pada pemerintah pusat dan juga Pemda sangat rendah sekali. Bagi rakyat Aceh, pemerintah Pusat dianggap pihak yang bertanggung jawab atas penderitaan yang mereka alami. Mereka cenderung melihat pemerintah sebagai pihak yang kejam dan rakus. Segala kebijakan yang dikeluarkan selalu dicibir dan tidak mendapat respon positif dari rakyat Aceh. Untuk itulah cara-cara kekerasan harus ditinggalkan oleh pemerintah jika ingin menarik mereka kembali.
Jika pemerintah mendatang masih menggunakan cara-cara kekerasan/pendekatan militer, kita pesimis kepercayaan itu akan pulih kembali. Sementara jika SBY sadar akan kegagalan solusi militer sebagaimana dinyatakannya, masih ada harapan untuk itu. Pemerintah belum terlambat untuk menyadari kekeliruaanya. Asal ada niat dari pemerintah untuk memperbaikinya, dengan tidak mengulangi kekeliruan yang sama.
Rakyat Aceh belum bisa lupa, bahwa SBY sosok yang memiliki peran dominan dalam hal penyelesaian konflik Aceh ketika masih menjabat Menko Polkam dalam kabinet Megawati. Kebijakan pemerintah soal Aceh tidak terlepas adanya peran dari dirinya. Termasuk misalnya keinginan pemerintah untuk berunding maupun ketika proses damai CoHA gagal. Sehingga rakyat Aceh memandang, sosok SBY tidak jauh berbeda dengan Megawati dalam hal Aceh.
Tetapi, kemenangan mutlak SBY di Aceh tidak bisa diabaikan begitu saja. Setidaknya ada dua hal yang perlu dicatat di sini. Pertama, kemenangan SBY ini merupakan bentuk kepercayaan rakyat Aceh terhadap sosok SBY. Di mana pencitraan SBY sebagai presiden pro perubahan termakan di Aceh. Kedua, kemenangan SBY karena ada intervensi dari aparat keamanan, atau terpengaruh dengan isu perubahan yang digulirkan oleh SBY. Ini bisa dimengerti, mungkin saja para prajurit di lapangan berusaha memenagkan SBY dan berharap ada kebijakan baru soal Aceh agar mereka bisa berkumpul kembali dengan sanak keluarga. Logikannya, jika Megawati tetap menang, tak ada perubahan kebijakan apapun soal Aceh dan mereka tetap berada di Aceh, dan itu menyakitkan.
Seperti kita ketahui, dengan kemenangan mutlak SBY di Aceh, cukup beralasan kita berharap banyak padanya untuk menyelesaikan Aceh dengan damai. Tinggal sekarang bagaimana SBY menarik simpati rakyat dengan terobosan perubahan yang akan dilakukannya begitu dilantik sebagai presiden ke 6 RI. Karena rakyat sekarang sudah bisa membedakan mana janji dan mana bukti.
Penulis adalah pengurus Center for Conflict and Resolution Studies (CCRS), Staff Riset pada The Human Rights Institute (HRI): Jaringan Perguruan Tinggi untuk Hak Asasi Manusia
Judul ini modifikasi dari tema diskusi DUDUK PERKARA di TV7 yang mengangkat topik: Bersama SBY, Berubahkah Nasib Kita? Saya memandang topik ini perlu didiskusikan lagi dalam lingkup yang lebih kecil, seperti tergambar dalam judul tulisan ini. Topik ini penting diangkat—untuk menjadi discourse—di tengah bergulirnya isu perubahan yang bakal mewarnai hari-hari pemerintahan SBY, presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Euphoria perubahan bukan hanya terhembus di pusat kekuasaan melainkan juga menyebar di pelosok tanah air. Inikah kesempatan kita untuk menyongsong perubahan?
Semua harapan perubahan kini digantungkan pada sosok SBY, yang oleh beberapa kalangan dan simpatisannya atau orang-orang yang memujinya menjuluki “Jenderal yang berfikir.” Dan sebagian lagi menjulukinya “sang demokrat.” Julukan-julukan ini diberikan karena performa SBY yang dinilai berwibawa, cerdas dan sangat sistematis dalam berbicara. Walaupun dia berasal dari latar belakang militer, tetapi lewat politik pencitraan, dia dianggap militer yang lebih terkesan sipil ketimbang militer sungguhan.
Apapun kata orang tentang dia, pertanyaan ini layak diajukan: Apakah harapan-harapan rakyat untuk perubahan bisa diwujudkan oleh SBY? Bukankah tema perubahan hanya sebuah utopia sebagaimana utopia yang dijanjikan oleh presiden-presiden sebelumnya seperti Bung Karno dengan utopia pembangunan karakter bangsa dan revolusi atau Soeharto dengan gagasan besarnya “pembangunan nasional” yang ternyata keropos itu. Bukankah SBY kini menciptakan sebuah utopia baru, untuk menyenangkan rakyat Indonesia. Karena seperti kita tahu, rakyat Indonesia senang dengan utopia-utopia.
Sementara persoalan bangsa sekarang, bukanlah siapa yang bisa menawarkan suatu utopia baru dan berharap rakyat terpesona dengan utopia itu. Melainkan bagaimana impian rakyat untuk hidup sejahtera terpenuhi. Rakyat pada dasarnya tidak menuntut hal yang muluk-muluk dari presiden terpilih. Hanya janji-janji yang terlanjur diucapkan dalam kampanye, dialog dan penyataan di media ditepati. Rakyat sudah bosan ditimbun dengan janji-janji. Rakyat sekarang butuh bukti.
Pemerintah baru juga harus mampu meyakinkan rakyat bahwa mereka tidak salah memilih orang untuk menggapai cita-cita bersama sebagaimana komitmen fouding father beberapa puluh tahun silam. Pemerintah harus bisa meyakinkan rakyat bahwa mereka memiliki sepenuhnya Negara ini. Tidak ada rakyat yang menderita. Semua harus diperlakukan sama. Tak terdengar lagi ada rakyat yang dibantai di bawah bendera merah putih ini. Tak ada lagi penindasan, tak ada lagi konflik Aceh dan Papua. Tidak ada lagi rakyat yang susah dalam NKRI
Dalam konteks Aceh, kita perlu mengutip kembali pernyataan SBY bahwa menurutnya “pendekatan militer untuk konflik Aceh dan juga Papua tidak bisa menyelesaikan masalah melainkan menimbulkan masalah baru. Harus difikirkan solusi yang komprehensif.” Kita tidak tahu, apakah SBY benar-benar serius dengan pernyataannya atau hanya sekedar menjanjikan adanya perubahan kebijakan untuk Aceh dan Papua. Karena sebagaimana pengalaman sebelumnya, seperti Habibie dan Megawati yang menyampaikan bahwa jika mereka berkuasa tidak akan membiarkan setetes darah pun tumpah di Aceh. Tetapi kenyataan yang justru sebaliknya, memang bukan setetes melainkan banjir darah.
Apa yang disampaikan oleh SBY ini sebenarnya sudah sering diungkapkan baik oleh pengamat maupun rakyat Aceh sendiri. Tetapi, tak pernah didengar. Pemerintah tidak pernah belajar dari sejarah. Apalagi belajar dari kebijakan yang gagal di masa lalu. pernyataan SBY perlu kita garis bawahi karena sebentar lagi dia memangku jabatan presiden yang oleh beberapa kalangan dianggap bisa mewujudkan perubahan.
SBY akan diuji oleh kebijakannya untuk Aceh pada awal-awal pemerintahannya. Apakah kebijakan yang diambil SBY seperti tergambar dari pernyataannya atau malah tidak sama sekali. Jika kebijakan di awal pemerintahannya sudah keliru, sulit berharap selanjutnya akan benar-benar tepat. Awal yang buruk biasanya juga berakhir dengan lebih buruk lagi. Dan SBY harus menunjukkan bukti bahwa dia mempunyai kebijakan yang komprehensif dan berbeda dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Kita patut memuji keinginannya untuk menyelesaikan Aceh tanpa pertumpahan darah. Tapi komitmen seorang tokoh tidak bisa diukur dari bagusnya pernyataan. Tetapi SBY punya momen untuk meyakinkan rakyat Aceh dan public Indonesia, bahwa dia serius dengan komitmennya untuk menyelesaikan Aceh tanpa pertumpahan darah (tidak menggunakan pendekatan militer). Kita akan segera tahu bagaimana sikapnya menjelang berakhirnya status darurat sipil yang sudah berlangsung 6 bulan serta apakah dia membuka kembali ruang perundingan dengan GAM. Andai SBY benar-benar komitmen dengan ucapannya, tentu dia sudah mempersiapkan sebuah opsi untuk Aceh yang akan diterima oleh rakyat Aceh.
Kita berpijak dari kenyataan bahwa kita tidak akan bisa membangun masa depan Aceh menjadi lebih baik dengan terus menerus menanam benci dan dendam. Konflik Aceh tidak menjadi selesai dengan terus menerus mempertahankan pendekatan militer, tetapi perlu dicari solusi lain yang lebih menghargai historisitas rakyat Aceh.
Pemerintah tidak bisa membangun Aceh tanpa adanya dukungan dari rakyat Aceh. Pemerintah tidak bisa membangun Aceh tanpa kepercayaan rakyat Aceh. Sangat penting bagi SBY membangun kembali kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah.
Selama ini, diakui atau tidak, kepercayaan rakyat Aceh pada pemerintah pusat dan juga Pemda sangat rendah sekali. Bagi rakyat Aceh, pemerintah Pusat dianggap pihak yang bertanggung jawab atas penderitaan yang mereka alami. Mereka cenderung melihat pemerintah sebagai pihak yang kejam dan rakus. Segala kebijakan yang dikeluarkan selalu dicibir dan tidak mendapat respon positif dari rakyat Aceh. Untuk itulah cara-cara kekerasan harus ditinggalkan oleh pemerintah jika ingin menarik mereka kembali.
Jika pemerintah mendatang masih menggunakan cara-cara kekerasan/pendekatan militer, kita pesimis kepercayaan itu akan pulih kembali. Sementara jika SBY sadar akan kegagalan solusi militer sebagaimana dinyatakannya, masih ada harapan untuk itu. Pemerintah belum terlambat untuk menyadari kekeliruaanya. Asal ada niat dari pemerintah untuk memperbaikinya, dengan tidak mengulangi kekeliruan yang sama.
Rakyat Aceh belum bisa lupa, bahwa SBY sosok yang memiliki peran dominan dalam hal penyelesaian konflik Aceh ketika masih menjabat Menko Polkam dalam kabinet Megawati. Kebijakan pemerintah soal Aceh tidak terlepas adanya peran dari dirinya. Termasuk misalnya keinginan pemerintah untuk berunding maupun ketika proses damai CoHA gagal. Sehingga rakyat Aceh memandang, sosok SBY tidak jauh berbeda dengan Megawati dalam hal Aceh.
Tetapi, kemenangan mutlak SBY di Aceh tidak bisa diabaikan begitu saja. Setidaknya ada dua hal yang perlu dicatat di sini. Pertama, kemenangan SBY ini merupakan bentuk kepercayaan rakyat Aceh terhadap sosok SBY. Di mana pencitraan SBY sebagai presiden pro perubahan termakan di Aceh. Kedua, kemenangan SBY karena ada intervensi dari aparat keamanan, atau terpengaruh dengan isu perubahan yang digulirkan oleh SBY. Ini bisa dimengerti, mungkin saja para prajurit di lapangan berusaha memenagkan SBY dan berharap ada kebijakan baru soal Aceh agar mereka bisa berkumpul kembali dengan sanak keluarga. Logikannya, jika Megawati tetap menang, tak ada perubahan kebijakan apapun soal Aceh dan mereka tetap berada di Aceh, dan itu menyakitkan.
Seperti kita ketahui, dengan kemenangan mutlak SBY di Aceh, cukup beralasan kita berharap banyak padanya untuk menyelesaikan Aceh dengan damai. Tinggal sekarang bagaimana SBY menarik simpati rakyat dengan terobosan perubahan yang akan dilakukannya begitu dilantik sebagai presiden ke 6 RI. Karena rakyat sekarang sudah bisa membedakan mana janji dan mana bukti.
Penulis adalah pengurus Center for Conflict and Resolution Studies (CCRS), Staff Riset pada The Human Rights Institute (HRI): Jaringan Perguruan Tinggi untuk Hak Asasi Manusia
Tags:
Artikel