Modal pasti penting dan perlu untuk dapat menduduki posisi penting dalam pemerintahan dan partai politik. Itu sudah umum berlaku dalam konteks politik Indonesia. Jika tak punya modal, tak usah bermimpi menjadi Menteri, Gubernur, Bupati dan jabatan-jabatan elite lainnya. Tapi, apa sebegitu pentingkah modal itu? Lalu, modal seperti apa yang bisa menjadi penentu untuk menjadi Gubernur Aceh? Uangkah, popularitaskah atau network dengan elite jakartakah?
Tapi, cuma sedikit yang tahu bahwa menjadi Gubernur Aceh tak perlu modal besar, popularitas atau network. Modal menjadi gubernur Aceh cukup punya “bola”. Tak percaya?
Bola, pasti semua orang tahu bola. Itu si kulit bundar yang membuat semua orang gila—gila bola.Kita malah sering nonton bola dan juga menikmatinya. Atau kita pernah menjadi pemain bola, saat masih kecil.
Terus, apa kaitannya dengan hiruk-pikuk politik atau Pilkada di Aceh? Apakah bola begitu penting untuk memenangkan kandidat dalam Pilkada? Kalo begitu, pasti semua orang punya bola di rumah, atau akan membelinya.
Saya punya beberapa argumen untuk menjawab proposisi-proposisi saya di atas. Jika tak percaya, silakan membaca tulisan ini sampai habis. Jika tetap tak percaya, silakan gugat saya, karena telah menebarkan kebohongan atau meracuni otak anda.
Pertama, saya akan memulai dengan filosofi permainan bola. Dalam permaian bola, belum menjadi jaminan bahwa negara besar atau klub besar yang identik dengan kampium sepak bola akan langsung menang atau menjadi juara. Anda pasti tahu Brazil, negara yang punya tradisi sepak bola dan favorit juara Piala Dunia 2006 di Jerman. Apa yang terjadi? Brazil rontok di tangan Perancis yang sama sekali tidak difavoritkan. Perancis kemudian kalah dari Italia.
Atau lihat Barcelona dan Chelsea. Barcelona yang juara Champion kalah dari Sevilla dalam perebutan piala Raja. Chelsea memulai musim ini dengan tersendat dan dikalahkan oleh Midlesbrouh di Liga Primier.
Dalam permainan bola, semua bisa terjadi dan tak bisa diprediksi. Kalkulasi di atas kertas tak selalu sama di lapangan. Bola itu bulat, kata orang. Tim populer, pemain termahal, dan negara superpower tak menjadi jaminan akan langsung menjadi raksasa sepak bola. Karena, popularitas dan nama besar tak selamanya berarti bisa menang.
Dalam permainan, hanya klub yang memiliki taktik dan teknik jitulah yang bisa menang. Ada strategi-strategi yang dimainkan. Tahu di mana kelemahan dan kelebihan lawan. Kemudian tahu cara mengatasinya. Di sini sebuah klub tentu sangat pandai mempelajari teknik lawan. Club yang memiliki teknik terbaiklah yang selalu bisa menang. Jangan heran, jika dalam sepak bola ada pelatih yang mencoba menganalisasi kekuatan lawan memakai analisis SWOT (Kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan).
Kedua, apakah dalam permainan politik sama seperti dalam permainan bola? Sama, malah dalam politik lebih abu-abu. Kita tak bisa menerka siapa lawan atau kawan kita. Dalam politik, umum berlaku teori Machievalli: “tak ada kawan atau lawan sejati, yang ada hanya kepentingan.” Sangat abu-abu.
Lalu, apakah dalam politik dibutuhkan analisis SWOT? Tak selalu harus. Analisis itu kadang-kadang menciptakan “maop” bagi diri sendiri, dan mengakrabkan kita pada sikap kalah sebelum bertanding.
Jadi, belum tentu orang terkenal akan langsung menang Pilkada. Siapa yang tak kenal Azwar Abubakar-Nasir Djamil; Djali Yusuf (apalagi korban DM); Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar, dan lain-lain. Siapa yang tak kenal mereka?
Semua orang Aceh pasti pernah mendengar informasi tentang mereka ini. Lalu, apakah dengan nama besar itu, mereka akan langsung menang. Jelas tidak.
Kemudian, apakah yang memiliki modal besar dan network dengan elite Jakarta secara otomatis juga langsung bisa menang? Tak juga. Meski memiliki modal banyak, sekarang ini tetap tak bisa menyogok seluruh rakyat untuk mendukungnya. Sistem politik sekarang berbeda dengan masa sebelumnya, di mana Gubernur hanya dipilih oleh segelintir wakil rakyat. Ingat, Gubernur dipilih oleh seluruh rakyat Aceh. Mampukah sang kandidat menyogok rakyat semuanya? Bisa bangkrut papa sang kandidat, apalagi jika kemudian juga tetap kalah.
Jadi, solusinya simpel saja. Untuk memenangkan kursi Gubernur cukup dengan “bola.” Dan kita pasti akan bisa memenangkan Pilkada.
Bola yang saya maksud, tentu tak sebulat bola yang terbayang oleh kita. Bola di sini adalah sebuah singkatan dan modal sosial bagi sang calon untuk memenangkan pilkada. Dengan memiliki bola, kita dapat menganalisa peluang calon untuk menang. Analisisnya tak berbelit-belit tapi cepat dan jelas, sehingga kita bisa mengukur kekuatan masing-masing kandidat.
Bola (baca: BoLA) merupakan singkatan dari Basis (massa pendukung yang terorganisir), Organisir (ada basis massa yang perlu diorganisir), Loyalitas dan Aksi. Sang calon mesti punya basis kuat. Jika belum punya, organisir dan berdayakan mereka. Meski demikian, kita tak cukup hanya punya basis saja, tapi kita mesti ukur loyalitas mereka. Apakah itu basis ideologis atau basis musiman yang bisa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi? Ini perlu diperjelas juga.
Untuk menguji loyalitas, kita mesti melakukan test case dengan aksi. Dengan aksi diketahui, seberapa loyal basis untuk mendukung kita. Jika yang hadir aksi hanya beberapa orang, kita mesti berfikir ulang untuk ikut pencalonan. Karena, kita hanya menjadi penggembira saja, dan lalu kecewa. Entahlah!
Penulis adalah chief editor www.sirareferendum.org
Tapi, cuma sedikit yang tahu bahwa menjadi Gubernur Aceh tak perlu modal besar, popularitas atau network. Modal menjadi gubernur Aceh cukup punya “bola”. Tak percaya?
Bola, pasti semua orang tahu bola. Itu si kulit bundar yang membuat semua orang gila—gila bola.Kita malah sering nonton bola dan juga menikmatinya. Atau kita pernah menjadi pemain bola, saat masih kecil.
Terus, apa kaitannya dengan hiruk-pikuk politik atau Pilkada di Aceh? Apakah bola begitu penting untuk memenangkan kandidat dalam Pilkada? Kalo begitu, pasti semua orang punya bola di rumah, atau akan membelinya.
Saya punya beberapa argumen untuk menjawab proposisi-proposisi saya di atas. Jika tak percaya, silakan membaca tulisan ini sampai habis. Jika tetap tak percaya, silakan gugat saya, karena telah menebarkan kebohongan atau meracuni otak anda.
Pertama, saya akan memulai dengan filosofi permainan bola. Dalam permaian bola, belum menjadi jaminan bahwa negara besar atau klub besar yang identik dengan kampium sepak bola akan langsung menang atau menjadi juara. Anda pasti tahu Brazil, negara yang punya tradisi sepak bola dan favorit juara Piala Dunia 2006 di Jerman. Apa yang terjadi? Brazil rontok di tangan Perancis yang sama sekali tidak difavoritkan. Perancis kemudian kalah dari Italia.
Atau lihat Barcelona dan Chelsea. Barcelona yang juara Champion kalah dari Sevilla dalam perebutan piala Raja. Chelsea memulai musim ini dengan tersendat dan dikalahkan oleh Midlesbrouh di Liga Primier.
Dalam permainan bola, semua bisa terjadi dan tak bisa diprediksi. Kalkulasi di atas kertas tak selalu sama di lapangan. Bola itu bulat, kata orang. Tim populer, pemain termahal, dan negara superpower tak menjadi jaminan akan langsung menjadi raksasa sepak bola. Karena, popularitas dan nama besar tak selamanya berarti bisa menang.
Dalam permainan, hanya klub yang memiliki taktik dan teknik jitulah yang bisa menang. Ada strategi-strategi yang dimainkan. Tahu di mana kelemahan dan kelebihan lawan. Kemudian tahu cara mengatasinya. Di sini sebuah klub tentu sangat pandai mempelajari teknik lawan. Club yang memiliki teknik terbaiklah yang selalu bisa menang. Jangan heran, jika dalam sepak bola ada pelatih yang mencoba menganalisasi kekuatan lawan memakai analisis SWOT (Kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan).
Kedua, apakah dalam permainan politik sama seperti dalam permainan bola? Sama, malah dalam politik lebih abu-abu. Kita tak bisa menerka siapa lawan atau kawan kita. Dalam politik, umum berlaku teori Machievalli: “tak ada kawan atau lawan sejati, yang ada hanya kepentingan.” Sangat abu-abu.
Lalu, apakah dalam politik dibutuhkan analisis SWOT? Tak selalu harus. Analisis itu kadang-kadang menciptakan “maop” bagi diri sendiri, dan mengakrabkan kita pada sikap kalah sebelum bertanding.
Jadi, belum tentu orang terkenal akan langsung menang Pilkada. Siapa yang tak kenal Azwar Abubakar-Nasir Djamil; Djali Yusuf (apalagi korban DM); Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar, dan lain-lain. Siapa yang tak kenal mereka?
Semua orang Aceh pasti pernah mendengar informasi tentang mereka ini. Lalu, apakah dengan nama besar itu, mereka akan langsung menang. Jelas tidak.
Kemudian, apakah yang memiliki modal besar dan network dengan elite Jakarta secara otomatis juga langsung bisa menang? Tak juga. Meski memiliki modal banyak, sekarang ini tetap tak bisa menyogok seluruh rakyat untuk mendukungnya. Sistem politik sekarang berbeda dengan masa sebelumnya, di mana Gubernur hanya dipilih oleh segelintir wakil rakyat. Ingat, Gubernur dipilih oleh seluruh rakyat Aceh. Mampukah sang kandidat menyogok rakyat semuanya? Bisa bangkrut papa sang kandidat, apalagi jika kemudian juga tetap kalah.
Jadi, solusinya simpel saja. Untuk memenangkan kursi Gubernur cukup dengan “bola.” Dan kita pasti akan bisa memenangkan Pilkada.
Bola yang saya maksud, tentu tak sebulat bola yang terbayang oleh kita. Bola di sini adalah sebuah singkatan dan modal sosial bagi sang calon untuk memenangkan pilkada. Dengan memiliki bola, kita dapat menganalisa peluang calon untuk menang. Analisisnya tak berbelit-belit tapi cepat dan jelas, sehingga kita bisa mengukur kekuatan masing-masing kandidat.
Bola (baca: BoLA) merupakan singkatan dari Basis (massa pendukung yang terorganisir), Organisir (ada basis massa yang perlu diorganisir), Loyalitas dan Aksi. Sang calon mesti punya basis kuat. Jika belum punya, organisir dan berdayakan mereka. Meski demikian, kita tak cukup hanya punya basis saja, tapi kita mesti ukur loyalitas mereka. Apakah itu basis ideologis atau basis musiman yang bisa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi? Ini perlu diperjelas juga.
Untuk menguji loyalitas, kita mesti melakukan test case dengan aksi. Dengan aksi diketahui, seberapa loyal basis untuk mendukung kita. Jika yang hadir aksi hanya beberapa orang, kita mesti berfikir ulang untuk ikut pencalonan. Karena, kita hanya menjadi penggembira saja, dan lalu kecewa. Entahlah!
Penulis adalah chief editor www.sirareferendum.org
Tags:
Artikel