“Hanjeut tameungon deungon ureung paleh hareuta teuh habeh geutanyoe binasa”
Ungkapan di atas sering diulang-ulang oleh rakyat Aceh semasa masih dalam suasana konflik. Ungkapan itu semacam pengingat agar rakyat Aceh tak mudah terpengaruh dengan janji-janji manis yang disampaikan oleh elite-elite politik di Jakarta. Di kalangan rakyat Aceh, ungkapan itu sangatlah popular bahkan dalam sebuah pledoi aktivis Aceh yang sekarang menjabat Wakil Kepala Pemerintahan Aceh (Muhammad Nazar, red), ungkapan seperti itu dapat ditemukan. Saat konfrontasi dengan Jakarta, ungkapan itu menjadi bagian dari kampanye pemisahan Aceh dari Indonesia.
Jakarta tak pernah benar-benar ikhlas dengan perdamaian yang sedang dinikmati rakyat Aceh. Tak usah jauh-jauh, MoU Helsinki yang dicapai dengan susah payah tak dijadikan sebagai landasan dalam perumusan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA). Bahkan UU PA yang disahkan pada 11 Juli 2006 lalu, banyak bertentangan dengan MoU Helsinki. Kalangan masyarakat sipil Aceh melihat UU PA banyak kelemahan, bahkan lebih mundur dari UU No 18 Tahun 2001. Karena itu, seperti terlihat dalam Aksi Penyelamatan Perdamaian Aceh tanggal 16 Agustus 2006, masyarakat Aceh meminta agar UU PA disempurnakan dan disesuaikan dengan MoU Helsinki.
Salah satu point yang menjadi titik perhatian mereka adalah masalah kewenangan pemerintah Indonesia di Aceh. Dalam MoU Helsinki, sudah disepakati 6 kewenangan Jakarta di Aceh, yaitu: pertahanan eksternal, fiscal dan moneter, hubungan internasional, keamanan nasional, bidang hukum atau kehakiman dan bidang kebebasan beragama.
Bukti lainnya Jakarta mengkhianati rakyat Aceh adalah terlihat dalam perumusan Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh. Dalam PP tersebut, hampir semua urusan di Aceh ditangani oleh pusat, sementara pemerintah Aceh hanya dapat amisnya saja.
Kepala Pemerintah Aceh, Irwandi Yusuf seperti dikutip detikcom terkejut dengan draft PP tersebut. “Yang bikin draft (draft PP Kewenangan-red) otaknya kotor dan tidak jujur,” sebut Irwandi di Hotel Gran Melia, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Rabu (18/04).
Tak lupa Irwandi menyebutkan bahwa pergolakan di Aceh selama ini adalah akibat ketidakjujuran Pemerintah Pusat. Karena itu, tindakan dan kebijakan seperti itu, harapnya, tak diulangi lagi oleh pemerintah.
Irwandi Yusuf, yang terpilih sebagai Kepala Pemerintah Aceh dari jalur Independen, bahkan mempertaruhkan jabatannya agar draft PP ini tak disahkan. “Kalau ini dipaksakan jadi PP, untuk apa saya jadi Gubernur, sebaliknya saya berhenti saja jadi Gubernur,” tegasnya lagi. Kepada wartawan, Irwandi mengaku emosi dengan rancangan draft yang merugikan Aceh itu. Karena dalam pandangan Irwandi, jika PP itu disahkan akan merusak nuansa perdamaian yang sudah berjalan di Aceh.
Malah, seperti diberitakan sebuah media online, Irwandi mengaku mengirim SMS pada Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin yang juga salah satu penandatangan MoU yang isinya kekecewaan Irwandi pada draft PP Kewenangan pemerintah yang bersifat nasional, karena akan menimbulkan kembali gejolak yang luar biasa di Aceh.
Protes dan ketidaksenangan Irwandi terhadap draft PP Kewenangan Nasional ternyata langsung mendapat tanggapan dari pemerintah Pusat di Jakarta. Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, misalnya, meminta kepada Kepala Pemerintah Aceh, Irwandi Yusuf agar tidak melakukan komplain dulu terhadap PP Kewenangan tersebut. Yusril meminta agar pemerintah Aceh menyampaikan keberatan dengan cara-cara yang konstruktif.
“Menurut saya, karena masih dalam bentuk draft, sebaiknya Gubernur (Kepala Pemerintah Aceh-red) memberikan masukan bagaimana pandangan dan pendapatnya. Jadi bukan dalam bentuk protes, karena kita sesama pemerintah,” kata Yusril seperti dikutip detikcom, (19/04)
Menurut Yusril, draft PP tersebut disusun berdasarkan masukan dari banyak pihak, terutama dari daerah. Karenanya, sangat terbuka kesempatan bagi pemerintah Aceh untuk menyampaikan usulan-usulan atas draft tersebut. Apalagi sebut Yusril, tak hanya draft PP kewenangan, draft lain juga seperti itu. “Draft akhir yang sudah saya teliti untuk disampaikan ke presiden pun seringkali harus dipresentasikan dulu dalam rapat cabinet. Setelah semua sepakat, baru presiden menandatanganinya,” terang Yusril lagi yang beberapa hari lalu dicopot dari jabatan Mensesneg.
Meski demikian, rakyat Aceh harus melihat bahwa draft PP Kewenangan Nasional, yang mengatur kembali kewenangan pusat terhadap daerah tanpa merujuk MoU Helsinki adalah sebuah bentuk pengkhianatan Jakarta terhadap keikhlasan rakyat Aceh untuk berdamai. Birahi Jakarta tak pernah bergeser dari keinginan untuk menguasai kembali Aceh dalam segala lini.
Jika dalam MoU Helsinki, Jakarta hanya memiliki kewenangan di enam bidang seperti pertahanan eksternal, fiscal dan moneter, hubungan internasional, keamanan nasional, hukum atau kehakiman dan kebebasan beragama. Namun, di dalam rancangan draft PP Kewenangan Nasional, Jakarta memasukkan tambahan kewenangan di bidang lainnya seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perdagangan hingga penanaman modal.
Tak hanya itu, beberapa waktu lalu juga sempat muncul protes dari Wakil Kepala Pemerintahan Aceh, Muhammad Nazar terhadap Peraturan Menteri Keuangan (Permen-Keu) No 37/PMK.07/2007 yang menetapkan Prognosa (perkiraan) besaran dana bagi hasil minyak dan gas (Migas) Aceh tahun 2007 sebesar Rp 750.675.358.000,-. Angka prognosa yang ditetapkan ini sangat jauh berbeda dari prognosa tahun sebelumnya sekitar Rp. 2.300.000.000.000,-. Perkiraan seperti ini sangat merugikan Aceh, dan bisa menimbulkan kemarahan dari rakyat Aceh.
Aliansi Masyarakat Aceh Timur (AMAT) bahkan langsung menyurati Presiden RI cq Menteri Keuangan di Jakarta yang menyatakan kekecewaan terhadap Permen-Keu tersebut. Menurut AMAT, Permen-Keu No.37/PMK.07/2007 merupakan bukti bahwa pejabat Indonesia tidak konsisten terhadap Undang-undang No 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Pejabat di Jakarta, sebut AMAT tidak senang melihat rakyat Aceh hidup sejahtera dan membangun daerahnya yang hancur karena konflik dan tsunami menjadi seperti Singapura.
Karena itu, dalam surat yang ditandatangani Koordinator AMAT, Fauzi Nazir meminta Presiden RI c/q Menteri Keuangan agar segera menetapkan kembali Prognosa (perkiraan) yang baru tentang besaran dana bagi hasil minyak dan gas agar mencapai Rp. 2,3 trilyun tahun 2007, dan pada setiap tahun ke depan dana bagi hasil minyak dan gas (Migas) tersebut harus ditambah 10% sampai berakhirnya batas waktu perjanjian antara pemerintah RI dengan asing atau pihak lain.
Jika itu tak juga dilakukan, pengkhianatan Jakarta terhadap keikhlasan rakyat Aceh berdamai akan menuai reaksi dan perlawanan besar-besaran dari rakyat Aceh. Karena, sejak MoU Helsinki ditandatangani, terlihat Jakarta seperti tak ikhlas dengan perdamaian Aceh. UU PA yang menjadi ruh penyelenggaraan pemerintah Aceh dibuat asal-asalan tanpa merujuk pada MoU Helsinki. Banyak kewenangan Aceh yang menjadi kabur di dalam UU PA. Belum lagi masalah rancangan PP Kewenangan dan Permen-Keu, semakin membuat rakyat Aceh percaya bahwa Jakarta telah mengkhianati Aceh.
Apakah ini trik Jakarta untuk memancing kemarahan rakyat Aceh, agar MoU Helsinki bubar?
Ungkapan di atas sering diulang-ulang oleh rakyat Aceh semasa masih dalam suasana konflik. Ungkapan itu semacam pengingat agar rakyat Aceh tak mudah terpengaruh dengan janji-janji manis yang disampaikan oleh elite-elite politik di Jakarta. Di kalangan rakyat Aceh, ungkapan itu sangatlah popular bahkan dalam sebuah pledoi aktivis Aceh yang sekarang menjabat Wakil Kepala Pemerintahan Aceh (Muhammad Nazar, red), ungkapan seperti itu dapat ditemukan. Saat konfrontasi dengan Jakarta, ungkapan itu menjadi bagian dari kampanye pemisahan Aceh dari Indonesia.
Jakarta tak pernah benar-benar ikhlas dengan perdamaian yang sedang dinikmati rakyat Aceh. Tak usah jauh-jauh, MoU Helsinki yang dicapai dengan susah payah tak dijadikan sebagai landasan dalam perumusan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA). Bahkan UU PA yang disahkan pada 11 Juli 2006 lalu, banyak bertentangan dengan MoU Helsinki. Kalangan masyarakat sipil Aceh melihat UU PA banyak kelemahan, bahkan lebih mundur dari UU No 18 Tahun 2001. Karena itu, seperti terlihat dalam Aksi Penyelamatan Perdamaian Aceh tanggal 16 Agustus 2006, masyarakat Aceh meminta agar UU PA disempurnakan dan disesuaikan dengan MoU Helsinki.
Salah satu point yang menjadi titik perhatian mereka adalah masalah kewenangan pemerintah Indonesia di Aceh. Dalam MoU Helsinki, sudah disepakati 6 kewenangan Jakarta di Aceh, yaitu: pertahanan eksternal, fiscal dan moneter, hubungan internasional, keamanan nasional, bidang hukum atau kehakiman dan bidang kebebasan beragama.
Bukti lainnya Jakarta mengkhianati rakyat Aceh adalah terlihat dalam perumusan Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh. Dalam PP tersebut, hampir semua urusan di Aceh ditangani oleh pusat, sementara pemerintah Aceh hanya dapat amisnya saja.
Kepala Pemerintah Aceh, Irwandi Yusuf seperti dikutip detikcom terkejut dengan draft PP tersebut. “Yang bikin draft (draft PP Kewenangan-red) otaknya kotor dan tidak jujur,” sebut Irwandi di Hotel Gran Melia, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Rabu (18/04).
Tak lupa Irwandi menyebutkan bahwa pergolakan di Aceh selama ini adalah akibat ketidakjujuran Pemerintah Pusat. Karena itu, tindakan dan kebijakan seperti itu, harapnya, tak diulangi lagi oleh pemerintah.
Irwandi Yusuf, yang terpilih sebagai Kepala Pemerintah Aceh dari jalur Independen, bahkan mempertaruhkan jabatannya agar draft PP ini tak disahkan. “Kalau ini dipaksakan jadi PP, untuk apa saya jadi Gubernur, sebaliknya saya berhenti saja jadi Gubernur,” tegasnya lagi. Kepada wartawan, Irwandi mengaku emosi dengan rancangan draft yang merugikan Aceh itu. Karena dalam pandangan Irwandi, jika PP itu disahkan akan merusak nuansa perdamaian yang sudah berjalan di Aceh.
Malah, seperti diberitakan sebuah media online, Irwandi mengaku mengirim SMS pada Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin yang juga salah satu penandatangan MoU yang isinya kekecewaan Irwandi pada draft PP Kewenangan pemerintah yang bersifat nasional, karena akan menimbulkan kembali gejolak yang luar biasa di Aceh.
Protes dan ketidaksenangan Irwandi terhadap draft PP Kewenangan Nasional ternyata langsung mendapat tanggapan dari pemerintah Pusat di Jakarta. Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, misalnya, meminta kepada Kepala Pemerintah Aceh, Irwandi Yusuf agar tidak melakukan komplain dulu terhadap PP Kewenangan tersebut. Yusril meminta agar pemerintah Aceh menyampaikan keberatan dengan cara-cara yang konstruktif.
“Menurut saya, karena masih dalam bentuk draft, sebaiknya Gubernur (Kepala Pemerintah Aceh-red) memberikan masukan bagaimana pandangan dan pendapatnya. Jadi bukan dalam bentuk protes, karena kita sesama pemerintah,” kata Yusril seperti dikutip detikcom, (19/04)
Menurut Yusril, draft PP tersebut disusun berdasarkan masukan dari banyak pihak, terutama dari daerah. Karenanya, sangat terbuka kesempatan bagi pemerintah Aceh untuk menyampaikan usulan-usulan atas draft tersebut. Apalagi sebut Yusril, tak hanya draft PP kewenangan, draft lain juga seperti itu. “Draft akhir yang sudah saya teliti untuk disampaikan ke presiden pun seringkali harus dipresentasikan dulu dalam rapat cabinet. Setelah semua sepakat, baru presiden menandatanganinya,” terang Yusril lagi yang beberapa hari lalu dicopot dari jabatan Mensesneg.
Meski demikian, rakyat Aceh harus melihat bahwa draft PP Kewenangan Nasional, yang mengatur kembali kewenangan pusat terhadap daerah tanpa merujuk MoU Helsinki adalah sebuah bentuk pengkhianatan Jakarta terhadap keikhlasan rakyat Aceh untuk berdamai. Birahi Jakarta tak pernah bergeser dari keinginan untuk menguasai kembali Aceh dalam segala lini.
Jika dalam MoU Helsinki, Jakarta hanya memiliki kewenangan di enam bidang seperti pertahanan eksternal, fiscal dan moneter, hubungan internasional, keamanan nasional, hukum atau kehakiman dan kebebasan beragama. Namun, di dalam rancangan draft PP Kewenangan Nasional, Jakarta memasukkan tambahan kewenangan di bidang lainnya seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perdagangan hingga penanaman modal.
Tak hanya itu, beberapa waktu lalu juga sempat muncul protes dari Wakil Kepala Pemerintahan Aceh, Muhammad Nazar terhadap Peraturan Menteri Keuangan (Permen-Keu) No 37/PMK.07/2007 yang menetapkan Prognosa (perkiraan) besaran dana bagi hasil minyak dan gas (Migas) Aceh tahun 2007 sebesar Rp 750.675.358.000,-. Angka prognosa yang ditetapkan ini sangat jauh berbeda dari prognosa tahun sebelumnya sekitar Rp. 2.300.000.000.000,-. Perkiraan seperti ini sangat merugikan Aceh, dan bisa menimbulkan kemarahan dari rakyat Aceh.
Aliansi Masyarakat Aceh Timur (AMAT) bahkan langsung menyurati Presiden RI cq Menteri Keuangan di Jakarta yang menyatakan kekecewaan terhadap Permen-Keu tersebut. Menurut AMAT, Permen-Keu No.37/PMK.07/2007 merupakan bukti bahwa pejabat Indonesia tidak konsisten terhadap Undang-undang No 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Pejabat di Jakarta, sebut AMAT tidak senang melihat rakyat Aceh hidup sejahtera dan membangun daerahnya yang hancur karena konflik dan tsunami menjadi seperti Singapura.
Karena itu, dalam surat yang ditandatangani Koordinator AMAT, Fauzi Nazir meminta Presiden RI c/q Menteri Keuangan agar segera menetapkan kembali Prognosa (perkiraan) yang baru tentang besaran dana bagi hasil minyak dan gas agar mencapai Rp. 2,3 trilyun tahun 2007, dan pada setiap tahun ke depan dana bagi hasil minyak dan gas (Migas) tersebut harus ditambah 10% sampai berakhirnya batas waktu perjanjian antara pemerintah RI dengan asing atau pihak lain.
Jika itu tak juga dilakukan, pengkhianatan Jakarta terhadap keikhlasan rakyat Aceh berdamai akan menuai reaksi dan perlawanan besar-besaran dari rakyat Aceh. Karena, sejak MoU Helsinki ditandatangani, terlihat Jakarta seperti tak ikhlas dengan perdamaian Aceh. UU PA yang menjadi ruh penyelenggaraan pemerintah Aceh dibuat asal-asalan tanpa merujuk pada MoU Helsinki. Banyak kewenangan Aceh yang menjadi kabur di dalam UU PA. Belum lagi masalah rancangan PP Kewenangan dan Permen-Keu, semakin membuat rakyat Aceh percaya bahwa Jakarta telah mengkhianati Aceh.
Apakah ini trik Jakarta untuk memancing kemarahan rakyat Aceh, agar MoU Helsinki bubar?
Tags:
Berita