Kekuasaan berpotensi dan punya kecenderungan melakukan tindakan korup, sewenang-wenang dan menindas. Untuk itulah peran cendekiawan yang telah berubah wujud menjadi pemegang kekuasaan tetap dibutuhkan untuk melakukan kerja-kerja perbaikan (perubahan).
Munculnya beberapa kandidat calon gubernur dan wakil gubernur Aceh hasil verifikasi KIP yang berlatar belakang akademisi (cendekiawan), membuka kembali diskursus tentang 'cendekiawan dan kekuasaan' yang pernah dipopulerkan oleh Julien Benda puluhan tahun silam. Diantara calon gubernur yang dapat disebut akademisi adalah Irwandi Yusuf, Humam Hamid, Hasbi Abdullah (Unsyiah), Syauqas Rahmatillah (IAIN) dan dari tingkat Bupati ada Tgk Bukhari Daud (Unsyiah).
Kedua terma ini (cendekiawan dan kekuasaan) sudah menjadi isu lintas generasi ketika Julien Benda mengeritik cendekiawan Perancis yang terlibat dalam urusan bukan otoritasnya sebagai pengkhianatan kaum intelektual.[i] Julien Benda, dalam bukunya, Pengkhianatan Kaum Intelektual, membagi masyarakat dalam dua bagian yang tidak saling berhubungan satu sama lain. Pertama adalah cendekiawan yang dipandang sebagai golongan yang mendedikasikan hidupnya dalam pencarian kebenaran. Kedua, kaum awam yaitu mereka yang seluruh hidupnya terikat kepada fungsi mengejar kepentingan material dan duniawi.
Keterlibatan cendekiawan dalam politik praktis (struktur kekuasaan) dianggap melacurkan diri: melakukan tugas yang bukan menjadi tugasnya. Dia memerankan tokoh antagonis seperti dalam film-film picisan, tokoh yang tidak mewakili dirinya dan menimbulkan perdebatan: salah tafsiran.
Perdebatan seputar cendekiawan dan kekuasan selalu bertemu pada pertanyaan yang sungguh relevan, apakah cendekiawan boleh bersikap ganda? Karena keduanya (cendekiawan dan kekuasaan) masih dianggap dua kutub yang terpisah. Cendekiawan merupakan sosok yang mendakwahkan kebenaran (sosok yang suci), sementara kekuasaan sering dipahami sebagai “mesin refresi", kesewanang-wenangan, korup dan penindas. Keduanya memiliki wilayah otonomi masing-masing, yang jauh bertolak belakang (dalam berbagai praktek).
Perdebatan itu kemudian mengalir dan bertemu pada pertanyaan lain dan membuat kita ragu-ragu. Apakah seharusnya cendekiawan berjuang “dari luar” atau “dari dalam?” Apalagi kondisi politik di Aceh sekarang ini memberikan peluang yang besar kepada kaum cendekiawan untuk berkiprah? Pemikiran ini berpunca pada kenyataan politik yang selalu merangsang cendekiawan untuk terlibat. Muncul anggapan, bahwa ketika berjuang di luar sistem tidak memberikan hasil apa-apa, maka pilihan terakhirnya adalah mencoba masuk dalam sistem dan berharap bisa merubah sistem (lebih pada perubahan kebijakan).
Namun, persoalan selalu muncul ketika memilih masuk dalam sistem yang banyak di antara para cendekiawan tersebut terseret dan seperti melupakan khittahnya untuk tetap kritis kepada kekuasaan. Selain itu, kepentingan pribadi (self-interest) mengalahkan fungsi kritis yang harus dijalankannya.
Selain itu, sering juga muncul argumen yang secara tegas mendukung sikap mendua kaum cendekiawan, asalkan fungsi cendekiawanannya masih dilakukan yaitu kritis.
Seperti Mahmudi misalnya dalam tulisannya Cendekiawan, Politik dan Kekuasaan[ii] menulis: “Dalam konteks perkembangan sosio-kultural di Indonesia yang secara sosiologis dan antropologis sangat terstruktur, maka tampilnya kaum cendekiawan ke pentas politik justru menemukan relevansinya.” Mahmudi, menganggap apa yang telah digaungkan oleh Julien Benda, bahwa tugas seorang cendekiawan/intelektual bukan untuk mengubah dunia, tetapi untuk tetap setia kepada suatu cita-cita yang perlu dipertahankan demi moralitas umat manusia, seperti keadilan (La Justice), kebenaran (La Verite) dan rasio (La Raison) memiliki banyak kelemahan. Apalagi ketika dihadapkan dalam konteks politik hari ini.
Perdebatan seputar Cendekiawan dan Kekuasaan
Seperti Mahmudi misalnya dalam tulisannya Cendekiawan, Politik dan Kekuasaan[ii] menulis: “Dalam konteks perkembangan sosio-kultural di Indonesia yang secara sosiologis dan antropologis sangat terstruktur, maka tampilnya kaum cendekiawan ke pentas politik justru menemukan relevansinya.” Mahmudi, menganggap apa yang telah digaungkan oleh Julien Benda, bahwa tugas seorang cendekiawan/intelektual bukan untuk mengubah dunia, tetapi untuk tetap setia kepada suatu cita-cita yang perlu dipertahankan demi moralitas umat manusia, seperti keadilan (La Justice), kebenaran (La Verite) dan rasio (La Raison) memiliki banyak kelemahan. Apalagi ketika dihadapkan dalam konteks politik hari ini.
Perdebatan seputar Cendekiawan dan Kekuasaan
Kalau disimak secara mendalam, perdebatan di atas bergerak dari dua mainstream pandangan. Pertama, pandangan yang menempatkan cendikiawan sebagai resi, manusia yang tidak memiliki kepentingan praksis dalam keterlibatan sosialnya, kecuali demi tegaknya kebenaran itu sendiri. Sering disebut sebagai “angan-angan ideal.” Kedua, “angan-angan pragmatic.” Seorang cendekiawan bukanlah kelas sosial tersendiri tetapi memiliki keterkaitan social dimana kegiatan yang diberi kategori kecendikiawanan mendapat tempat dalam hubungan sosial pada umumnya.[iii]
Munculnya kedua pandangan seperti ini tidak terlepas dari perdebatan yang pernah muncul antara kaum cendekiawan. Julien Benda, intelektual Perancis sukses memancing kaum intelektual lain untuk mendefinisikan kembali istilah cendekiawan. Tesisnya yang terkenal adalah, “Cendekiawan yang terlibat dalam kancah politik (kekuasaan) dan mengabdikan diri pada kegiatan politik praktis dan melupakan tugasnya sebagai penjaga moral sebagai bentuk pengkhianatan kaum cendekiawan (La Trahison des clercs).”
Sementara Karl Mannhein, justru menuduh cendekiawan yang tidak terlibat dalam kerja-kerja praksis, tetapi hanya menyuarakan kebenaran dari menara gading sebagai orang yang telah melakukan pengkhianatan kaum cendekiawan. Malah, pengkhianatan atas pengkhianatan cendekiawan.[iv]
Antonio Gramsci dalam bukunya Selection from Prison Notebooks (1978), menyebutkan bahwa "Semua manusia adalah cendekiawan (intelektual), namun tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi cendekiawan." Atas pandangan ini, Gramsci membagi dua golongan cendekiawan, yaitu: Pertama, cendekiawan tradisional (seperti guru, ulama, dll). Kedua, cendekiawan organik, yaitu kalangan profesional.[v]
Perdebatannya selalu berkutat pada pandangan seperti disebutkan di atas: Satu mendukung keterlibatan cendekiawan dalam kegiatan politik praktis (kekuasan), sementara yang lainnya justru mengharamkan.
Tantangan Penguasa
Tantangan Penguasa
Dalam sebuah diskusi publik di D’Rodya Café tentang visi dan misi para kandidat, Mukhlis Mukhtar, mantan Anggota DPRD NAD menilai mereka yang mencalonkan diri sebagai gubernur dan bupati itu sebagai “orang-orang gila. Alasan Muhklis Muhktar karena melihat kondisi Aceh yang sedang sulit ini masih ada pula orang yang mencalonkan dirinya menjadi gubernur maupun bupati. Muhklis Muhktar menilai kondisi Aceh yang carut marut dan yang lagi dilanda berbagai persoalan seperti penanganan korban tsunami dan konflik, serta persoalan lain yang sulit untuk ditangani kenapa masih ada yang mau mencalonkan diri menjadi gubernur dan bupati, lantas apa sebenarnya yang mereka cari?
Menurut penulis, pernyataan Muhklis Muhktar ini sedikit 'bercanda' tapi sesungguhnya memang inilah sebuah kenyataan yang sedang terjadi, sebab walaupun nantinya diantara para akademisi (cendekiawan) ini terpilih manjadi Gubernur Aceh/Bupati/Wali Kota dll, tetaplah kita harapkan orang yang terpilih tersebut harus menampakkan diri sebagai penguasa yang tercerahkan, dan bukan “petualang politik”, yang ingin menikmati segenggam kekuasaan, seperti yang dikhawatirkan Pak Mukhlis tadi.
Menurut penulis, pernyataan Muhklis Muhktar ini sedikit 'bercanda' tapi sesungguhnya memang inilah sebuah kenyataan yang sedang terjadi, sebab walaupun nantinya diantara para akademisi (cendekiawan) ini terpilih manjadi Gubernur Aceh/Bupati/Wali Kota dll, tetaplah kita harapkan orang yang terpilih tersebut harus menampakkan diri sebagai penguasa yang tercerahkan, dan bukan “petualang politik”, yang ingin menikmati segenggam kekuasaan, seperti yang dikhawatirkan Pak Mukhlis tadi.
Untuk akademisi yang sudah mencalonkan diri sebagai kandidat Gubernur/Bupati/Wali Kota perlu kita ingatkan bahwa berjuang di dalam sistem juga sama sulitnya berjuang dengan cara menguap-nguap di dalam ruang kuliah yang kotor dan pengap. Kritikan hanya menjadi santapan mahasiswa kita, dan tak pernah sampai ke telinga penguasa.
Selanjutnya, perlu kita ingatkan juga bahwa kekuasaan berpotensi dan punya kecenderungan melakukan korup, sewenang-wenang dan menindas. Untuk itulah peran cendekiawan yang telah berubah wujud menjadi pemegang kekuasaan tetap dibutuhkan untuk melakukan kerja-kerja perbaikan (perubahan). Meskipun sudah menjadi pemegang kekuasaan, fungsi melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat tetap harus dijalankan.
[i] Julien Benda, Pengkhianatan Kaum Intelektual, Gramedia, 1997
[ii] Mahmudi, Cendekiawan, Politik dan Kekuasaan (Sinar Harapan, 15/07/04)
[iii] Th Sumartana, et al, Anarki Kepatuhan (pengantar), LKIS, Jakarta 1996
[iv] Karl Mannhein: Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge
New York : A Harvest Book, 1936
[v] Antonio Gramsci, Selection from Prison Notebooks (1978)
[i] Julien Benda, Pengkhianatan Kaum Intelektual, Gramedia, 1997
[ii] Mahmudi, Cendekiawan, Politik dan Kekuasaan (Sinar Harapan, 15/07/04)
[iii] Th Sumartana, et al, Anarki Kepatuhan (pengantar), LKIS, Jakarta 1996
[iv] Karl Mannhein: Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge
New York : A Harvest Book, 1936
[v] Antonio Gramsci, Selection from Prison Notebooks (1978)
Tags:
Artikel