Bahasa punya kekuatan yang sangat dahsyat dalam mengeja sebuah realita. Konon, bahasa sastera (puisi, sajak, hikayat dll) yang dihasilkan melalui pena sasterawan lebih berbahaya daripada senjata serdadu. Kalimat-kalimat retorik yang digubah seorang sastrawan mampu menyihir pendengar dan pembaca untuk bergerak/bertindak karena kekuatan hipnotis yang dimilikinya.
Sepanjang sejarah perjalanannya, Acheh telah banyak menghasilkan para sastrawan-sastrawan kondang. Bukan hanya dari segi kuantitas dan jumlah karya sastera yang dihasilkan tetapi kwalitas dan bobot serta pengaruh yang ditimbulkannya. Keberadaan mereka kemudian tidak dapat dipisahkan dari heroisme dan militansi bangsa Acheh dalam melawan kaum kafir penjajah. Kita mencatat nama-nama seperti Tgk Chik di Pante Kulu, Do Karim dll. Dengan syair gubahannya hikayat perang sabi dan hikayat koumpeni mampu membuat pejuang Acheh bertahan dan mampu berperang untuk waktu yang sangat lama.
Tajak Prang Musoh beruntoh dum sitree Nabi
Nyang meu ungki keu Rabbi Ku Po Nyang Esa
Musoe hantem prang cyit malang ceulaka tuboh
Rugoe roh syuruga tan roh rugoe roh balah neraka………
Siapa nyana, syair itu telah membuat rakyat Acheh menjadi pejuang-pejuang yang kokoh semangat dan pantang menyerah. Nuansa religius yang terkandung dalam syair tersebut mampu membuat pejuang Acheh bangkit dari tidur dan rela mati di medan juang. Tidak ada yang diharapkan oleh rakyat Acheh selain mati syahid. Tak aneh kalau sepanjang tahun 1998-2000, syair tersebut begitu populer dan dihafal oleh rakyat Acheh baik anak-anak maupun dewasa. Karena pancaran aura dan pesan-pesan religius yang dikandungnya. Militansi rakyat Acheh yang beberapa tahun nampak menurun seakan bangkit lagi dan menemukan bentuknya yang asli sebagai pejuang dan pembela agama serta kaum tertindas.
Timbulnya semangat dan militansi itu ternyata karena pengaruh dari sebuah hasil karya sastera. Sehingga kita tidak bisa memahami kekuatan apa yang dimiliki oleh sebuah hikayat Acheh yang begitu menggemparkan itu. Nama-nama mereka direkam dengan sangat baik dalam benak-benak sastrawan Acheh modern. Padahal jumlah karya yang mereka hasilkan sangatlah sedikit untuk ukuran sekarang, tapi nilai “magic” hasil karya mereka mampu membuat nama mereka tetap dikenang. Nama mereka menjadi melegenda dan dinilai sebagai sasterawan agung.
Begitulah, bahasa sastera telah mampu membuat orang tidak mampu melupakan namanya.
Bahasa kemudian begitu efektif dijadikan sebagai sebuah media untuk menggambarkan suatu realitas yang terjadi di masyarakat. Bahasa mampu membongkar berbagai praktek-praktek hegemoni negara (penguasa) terhadap suatu komunitas masyarakat secara lugas dan tuntas. Ketimpangan dan ketidakadilan, kedhaliman, penjajahan dan berbagai kasus kemanusiaan ternyata begitu mudah dituangkan dalam kalimat-kalimat pendek dan ringkas. Namun efektif untuk menggambarkan realita yang sesungguhnya. Sehingga tragedi-tragedi kemanusiaan mampu dipahami hanya lewat ungkapan sastrawan yang halus namun mampu memberi pengaruh yang dahsyat.
Bahasa kemudian begitu efektif dijadikan sebagai sebuah media untuk menggambarkan suatu realitas yang terjadi di masyarakat. Bahasa mampu membongkar berbagai praktek-praktek hegemoni negara (penguasa) terhadap suatu komunitas masyarakat secara lugas dan tuntas. Ketimpangan dan ketidakadilan, kedhaliman, penjajahan dan berbagai kasus kemanusiaan ternyata begitu mudah dituangkan dalam kalimat-kalimat pendek dan ringkas. Namun efektif untuk menggambarkan realita yang sesungguhnya. Sehingga tragedi-tragedi kemanusiaan mampu dipahami hanya lewat ungkapan sastrawan yang halus namun mampu memberi pengaruh yang dahsyat.
Bahasa dirasakan begitu penting, bukan saja sekedar alat komunikasi, persoalan linguistik dan fonem-fonem kaku lainnya. Bahasa secara efektif mampu mendefinisikan keadaan, realitas dalam konteks-konteks pertarungan sosial kelompok-kelompok masyarakat. Lewat ungkapan-ungkapan bahasa satrawan, kita dengan mudah berdialog dengan kekuasaan, dengan bahasa kita dengan gampang menelanjangi dan meruntuhkan sebuah rezim dan dengan bahasa pula kita mampu berbicara dan menunjukkan realita eksistensi individu dan masyarakat. Bahasa mampu berbicara tentang hak-hak dan kewajiban suatu komunitas. Bahasa mampu menjelaskan realitas penjajahan.
Dalam perjalanan selanjutnya, bahasa sastrawan kemudian secara sepihak dipersepsikan sebagai hantu yang menakutkan. Saking takutnya, harga sebuah demokrasi ditelanjangi, kebebasan dipasung dan kebenaran dinafikan serta dimusuhi dan tak jarang dibasmi. Sampel untuk ini dapat kita sebutkan seperti kasus pencekalan WS Rendra, sastrawan nasional yang kritis. Karena puisi-puisinya yang sering memprotes kebijakan rezim penguasa. Beliau dicekal pergi ke Acheh pada masa rezim otoriter Soeharto. Iwan Fals, seorang penyanyi dengan jiwa “merdeka”nya mengungkapkan ketimpangan rezim penguasa lewat bait-bait syair lagunya harus pasrah mendekam dalam penjara. Kreativitas mereka dipasung, dan kebenaran syairnya dinafikan…!
Yang menarik kasus yang menimpa sastrawan muda Acheh sebagai bentuk kekerdilan budaya sebuah rezim dipentaskan pada pertemuan sastrawan Nusantara X di Johor Bahru, negeri Johor Darul Ta’zim Malaysia 21 April 1999, seperti dilaporkan tabloid Karisma (edisi no. 05 Thn I Minggu IIIdan IV Mei 1999)
“ketakutan dan tindakan represif pemerintah Indonesia terhadap Aceh ternyata bukan saja di ejawantahkan melalui tindakan militer tetapi juga dengan menghambat segala kemungkinan yang memberi kesempatan diobok-oboknya ketidakadilan yang mereka lakukan terhadap rakyat dimana internasional, termasuk dikawasan negera serumpun melalui media budaya”
Akhirnya puisi-puisi dari Acheh yang note bene akan dibawakan oleh Fairus M Nur dan Ameer Hamzah ternyata tidak diberikan kesempatan untuk tampil. Konon karena “permintaan” konsul RI disana yang tidak mau lagi kecolongan seperti suksesnya utusan Riau menyuarakan puisi “Aku Tidak Lagi Mencintaimu Indonesia” empat hari sebelumnya pada acara yang berbeda.
Begitulah kekuatan yang dimiliki sebuah puisi. Karena pengaruh yang dimiliki dan ditimbulkannya membuat di tutup ruang geraknya. Sehingga kenapa penyair selalu diposisikan musuh oleh negara.
Tidak ada salahnya kalau sekarang kita sosialisasikan konflik Acheh, tragedi kemanusiaan dan tindakan amoral pemerintah terhadap rakyat lewat media seni seperti Puisi, Teater dan lain-lain. Sebagai contoh kita dapat sebutkan suksesnya Ratna Serumpet dengan Alia, Luka serambi Mekkah dan kampanye yang dilakukan oleh KaSUHA di Jakarta, DKA yang bekerjasama dengan NGO dan Elsam sukses menyuarakan kasus Acheh lewat sebuah buku antologi puisi tentang pelanggaran HAM.
Begitulah bahasa, dengannya kita mampu membaca realita. Mari kita menggalakkan kampanye kasus Acheh lewat seni Budaya karena disamping efektif juga memiliki pengaruh yang lebih dahsyat untuk menggambarkan tragedi Acheh yang sesungguhnya. Bukankah sebagian kasus Acheh dikampanyekan lewat seni?
--- > tulisan ini sudah pernah dimuat di www.cybersastra.net (Jumat, 5 Juli 2002)
Tags:
Artikel