Ada banyak kekhawatiran pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 15 Agustus, kemarin. Kekhawatiran itu hampir sama seperti kekhawatiran saat ditandatangani kesepakatan Cessation of Hostilities Agreement (Perjanjian Penghentian Permusuhan, CoHA) 9 Desember 2002 silam, di mana civil society tidak diberikan ruang yang cukup untuk mengekspresikan hak demokratisnya dalam kesepakatan itu.
Dalam klausul CoHA dulu, misalnya, ada satu point yang disepakati para pihak untuk memberikan ruang bagi masyarakat sipil menyuarakan hak demokratisnya. Namun, dalam pelaksanaannya justru sering dibatasi, dihalangi, dan tak jarang dituding sebagai sikap yang anti pada perdamaian dan merusak proses damai yang ada.
“Quo Vadis” Civil Society?
Sebelumnya—agar tidak menimbulkan interpretasi macam-macam—istilah civil society yang saya maksudkan di sini tidak merujuk pada salah satu elemen masyarakat sipil, melainkan semua elemen yang ada.
Pengertian civil society yang saya gunakan di sini merujuk pada pengertian yang diberikan oleh M. Henningsen dalam Democracy or the Promise of Civil Society, makalah pada The Eleventh World Conference of the World Futures Studies Federation, Budapest, Hongary, 27-31 Mei 1990 seperti dikutip oleh AS Hikam dalam “Demokrasi Melalui Civil Society” dalam “Anarki Kepatuhan” (Th Sumartana dan Mohamad Sobary, 1996).
Di situ civil society dipahami secara institusional sebagai pengelompokan anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.
Pertanyaan “quo vadis” civil society di atas relevan untuk diajukan berkaitan penandatanganan kesepakatan RI-GAM. Pasca penandatanganan MoU antara RI dan GAM, apakah civil society lantas menjadi diam, menjadi penonton atau ikut menjaga proses perdamaian tersebut?
Setelah membaca draft MoU yang beredar di milis-milis, tak disebutkan secara jelas peran apa yang mesti dan bisa dimainkan oleh kalangan civil society, serta sejauhmana mereka bisa melakukannya. Civil society menjadi elemen tersendiri di luar kesepakatan tersebut. Padahal, sejauh ini kalangan civil society memiliki pandangan tersendiri dalam melihat penyelesaian konflik Aceh. Di mana pandangan mereka berbeda secara subtansial dengan pandangan kedua kelompok tadi (RI dan GAM).
Yang mesti diingat oleh kita adalah, bahwa ditandatanganinya kesepakatan atau MoU tersebut tidak dengan sendirinya permasalahan Aceh selesai. Boleh jadi, misalnya, MoU tersebut menyelesaikan permasalahan antara RI dengan GAM. Tapi tak serta merta permasalahan antara pemerintah dengan masyarakat sipil Aceh selesai, atau antara GAM dan masyarakat Aceh kelar. Artinya kita hendak mengingatkan bahwa problem Aceh sebenarnya tak hanya permasalahan pemerintah dengan GAM saja, melainkan permasalahan pemerintah RI dan rakyat Aceh.
Saya tak melihat dengan adanya MoU tersebut, serta tak laginya GAM mempersoalkan masalah kemerdekaan Aceh dapat membunuh keinginan sebagian rakyat Aceh untuk memisahkan diri. Saya tak ingin mengatakan bahwa saya memahami psikologi masyarakat Aceh, sehingga mengambil kesimpulan begini. Saya hanya menangkap kesan yang berkembang di masyarakat khususnya selama saya berinteraksi dengan mereka baik sebelum CoHA, selama maupun setelah CoHA gagal.
Argumentasi saya sederhana saja, memang selama ini yang paling ngotot menuntut kemerdekaan Aceh adalah GAM. Tetapi yang menginginkan kemerdekaan bukan hanya GAM saja. Rumus ini dulu yang mesti dipegang erat-erat. Sehingga kita tak salah menafsirkan MoU serta aspirasi rakyat Aceh. Selama ini boleh saja kita mempolitisir keinginan rakyat bahwa mereka cinta NKRI, mereka tak ingin pisah, dan lain-lain, yang sebenarnya lebih menyiratkan pernyataan elite politik dengan mengatasnamakan dan klaim sebagai suara rakyat.
Sementara rakyat tak pernah diberikan kesempatan untuk mengungkapkan aspirasinya. Rakyat tak pernah dibebaskan untuk menentukan pilihannya, termasuk apa yang terbaik untuk mereka. Keinginan rakyat itu kemudian seolah-olah bisa diwakilkan oleh elite politik, pemimpin mereka atau para wakil rakyat yang sebenarnya tak pernah akrab dengan kehidupan mereka, dan tak pernah merasakah hidup seperti mereka.
Agenda civil society
Pertanyaannya kemudian, dimanakah sebenarnya posisi civil society dalam kesepakatan RI-GAM? Apakah civil society memiliki peran khusus atau sebagai penonton dalam kesepakatan tersebut? Ataukah civil society tak memiliki tempat dalam kesepakatan tersebut?
Kekhawatiran seperti ini wajar saja terjadi. Apalagi jika diurut ke belakang, khususnya ketika berjalannya CoHA dua tahun lalu, masyarakat sipil seperti pendatang baru dalam konflik Aceh dan tak memiliki peran apapun terkait kesepakatan tersebut. Meski dalam CoHA diatur tentang peran sipil, khususnya pasal 2 point f, bahwa kedua belah pihak memberikan kesempatan kepada masyarakat sipil untuk menyuarakan hak demokratisnya tanpa dihalang-halangi. Kenyataannya, gerak masyarakat sipil sangat terbatas. Banyak demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil berakhir dengan pembubaran oleh aparat.
Timbul kesan, CoHA hanya kesepakatan antara RI dan GAM, dan masyarakat sipil tak termasuk di dalamnya. Karena tak sedikit anggota masyarakat sipil yang melakukan sosialisasi hasil CoHA kepada masyarakat dituding sebagai gerakan yang merusak perdamaian. Tudingan ini seringkali berbuah pada penangkapan seperti dialami oleh Muhammad Nazar, Ketua Dewan Presidium SIRA. Ada juga yang dimasukkan dalam status DPO oleh aparat keamanan seperti Kautsar, mantan Ketua SMUR.
Hal seperti ini disampaikan agar jangan sampai nantinya apa dilakukan oleh masyarakat sipil dipandang sebagai bentuk penolakan atau anti perdamaian, atau gerakan yang merusak proses damai. Sehingga melemahkan daya kritis dan juga peran masyarakat sipil itu sendiri.
Terlepas dari kekhawatiran di atas, masyarakat sipil meskipun tak diatur dalam kesepakatan namun memiliki tanggung jawab moral yang sama juga dengan pihak pemerintah RI dan GAM, untuk menjaga proses damai berlangsung dengan baik.
Hal pertama tentunya ikut serta dalam proses sosialisasi kesepakatan MoU itu. Hal ini penting dilakukan agar masyarakat yang selama ini hidup tertekan dapat mengetahui apa yang sedang terjadi, untuk menghilangkan ketakutan dan trauma, agar berani untuk menyampaikan aspirasinya yang selama ini tentu dipendam.
Sosialisasi ini juga dapat bermakna sebagai pendidikan politik bagi rakyat. Apalagi, menyongsong terbentuknya partai lokal yang mana memberikan peluang kepada masyarakat untuk terlibat di dalamnya (lihat di point Partisipasi Politik, khususnya point 1.2.6)
Selain itu, masyarakat sipil juga perlu membentuk lembaga monitoring tersendiri di luar Aceh Monitoring Mission (AMM) dan lembaga monitoring DPR. Hal ini dilakukan untuk mengantipasi kecurangan dan ketidakpatuhan para pihak yang mungkin terjadi, yang luput dari pemantauan AMM. Karenanya, aliansi masyarakat sipil perlu membentuk lembaga pemantauan kesepakatan seperti Cease-Fire Watch (CFW) sewaktu CoHA.
Yang tak boleh dilupakan adalah bahwa masyarakat sipil perlu memperkuat posisi tawarnya, dengan cara memperkuat organ-organ yang ada. Dengan kuatnya organ ini, masyarakat sipil menjadi salah satu elemen yang juga ikut diperhitungkan sebagai pihak yang perlu dimintai pendapat dan didengar aspirasinya baik oleh Pemerintah RI, GAM maupun pihak asing.
Karenanya, perlu adanya penyatuan konsep, perencanaan dan aksi bersama masyarakat sipil seandainya MoU tersebut memiliki nasib seperti CoHA. Apa yang mesti dilakukan? Serta sikap apa yang mesti diambil untuk mengantasipasi berulangnya tragedi kegagalan CoHA.
Dengan memiliki posisi tawar, elemen sipil ini memiliki suara yang sama kuatnya dengan para pihak untuk mendorong pihak ketiga agar ikut menjaga dan menyelamatkan proses damai ini.
Jika ada salah satu pihak yang hendak menarik diri secara sepihak dari MoU bisa dibendung dan digagalkan. Dan masyarakat sipil bisa memberikan pandangannya sebagai masukan bagi pihak AMM atau CMI.
Selain itu, kalangan civil society Aceh perlu mendesak pemerintah RI agar aktivis yang selama ini masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) maupun yang sudah divonis dipulihkan namanya. Karena selama DM banyak aktivis yang mengkampanyekan perdamaian tapi dituduh sebagai GAM atau terlibat makar. Padahal banyak yang murni aktivis kemanusiaan.
Terakhir, civil society mesti terus mengampanyekan tentang proses hukum bagi pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan baik sewaktu berlakunya DOM, Pasca DOM maupun sewaktu Darurat Militer, Darurat Sipil dan tertib sipil. Tugas ini perlu dilakukan karena dalam draft MoU point HAM (point 2.3) hanya menyebutkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan didirikan di Aceh dengan tugas merancang dan menentukan langkah-langkah rekonsiliasi. Tak disebutkan bagaimana hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan.
Sumber acehkita (2005-08-16 11:45:58) atau sehari setelah MoU ditandatangani.
Dalam klausul CoHA dulu, misalnya, ada satu point yang disepakati para pihak untuk memberikan ruang bagi masyarakat sipil menyuarakan hak demokratisnya. Namun, dalam pelaksanaannya justru sering dibatasi, dihalangi, dan tak jarang dituding sebagai sikap yang anti pada perdamaian dan merusak proses damai yang ada.
“Quo Vadis” Civil Society?
Sebelumnya—agar tidak menimbulkan interpretasi macam-macam—istilah civil society yang saya maksudkan di sini tidak merujuk pada salah satu elemen masyarakat sipil, melainkan semua elemen yang ada.
Pengertian civil society yang saya gunakan di sini merujuk pada pengertian yang diberikan oleh M. Henningsen dalam Democracy or the Promise of Civil Society, makalah pada The Eleventh World Conference of the World Futures Studies Federation, Budapest, Hongary, 27-31 Mei 1990 seperti dikutip oleh AS Hikam dalam “Demokrasi Melalui Civil Society” dalam “Anarki Kepatuhan” (Th Sumartana dan Mohamad Sobary, 1996).
Di situ civil society dipahami secara institusional sebagai pengelompokan anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.
Pertanyaan “quo vadis” civil society di atas relevan untuk diajukan berkaitan penandatanganan kesepakatan RI-GAM. Pasca penandatanganan MoU antara RI dan GAM, apakah civil society lantas menjadi diam, menjadi penonton atau ikut menjaga proses perdamaian tersebut?
Setelah membaca draft MoU yang beredar di milis-milis, tak disebutkan secara jelas peran apa yang mesti dan bisa dimainkan oleh kalangan civil society, serta sejauhmana mereka bisa melakukannya. Civil society menjadi elemen tersendiri di luar kesepakatan tersebut. Padahal, sejauh ini kalangan civil society memiliki pandangan tersendiri dalam melihat penyelesaian konflik Aceh. Di mana pandangan mereka berbeda secara subtansial dengan pandangan kedua kelompok tadi (RI dan GAM).
Yang mesti diingat oleh kita adalah, bahwa ditandatanganinya kesepakatan atau MoU tersebut tidak dengan sendirinya permasalahan Aceh selesai. Boleh jadi, misalnya, MoU tersebut menyelesaikan permasalahan antara RI dengan GAM. Tapi tak serta merta permasalahan antara pemerintah dengan masyarakat sipil Aceh selesai, atau antara GAM dan masyarakat Aceh kelar. Artinya kita hendak mengingatkan bahwa problem Aceh sebenarnya tak hanya permasalahan pemerintah dengan GAM saja, melainkan permasalahan pemerintah RI dan rakyat Aceh.
Saya tak melihat dengan adanya MoU tersebut, serta tak laginya GAM mempersoalkan masalah kemerdekaan Aceh dapat membunuh keinginan sebagian rakyat Aceh untuk memisahkan diri. Saya tak ingin mengatakan bahwa saya memahami psikologi masyarakat Aceh, sehingga mengambil kesimpulan begini. Saya hanya menangkap kesan yang berkembang di masyarakat khususnya selama saya berinteraksi dengan mereka baik sebelum CoHA, selama maupun setelah CoHA gagal.
Argumentasi saya sederhana saja, memang selama ini yang paling ngotot menuntut kemerdekaan Aceh adalah GAM. Tetapi yang menginginkan kemerdekaan bukan hanya GAM saja. Rumus ini dulu yang mesti dipegang erat-erat. Sehingga kita tak salah menafsirkan MoU serta aspirasi rakyat Aceh. Selama ini boleh saja kita mempolitisir keinginan rakyat bahwa mereka cinta NKRI, mereka tak ingin pisah, dan lain-lain, yang sebenarnya lebih menyiratkan pernyataan elite politik dengan mengatasnamakan dan klaim sebagai suara rakyat.
Sementara rakyat tak pernah diberikan kesempatan untuk mengungkapkan aspirasinya. Rakyat tak pernah dibebaskan untuk menentukan pilihannya, termasuk apa yang terbaik untuk mereka. Keinginan rakyat itu kemudian seolah-olah bisa diwakilkan oleh elite politik, pemimpin mereka atau para wakil rakyat yang sebenarnya tak pernah akrab dengan kehidupan mereka, dan tak pernah merasakah hidup seperti mereka.
Agenda civil society
Pertanyaannya kemudian, dimanakah sebenarnya posisi civil society dalam kesepakatan RI-GAM? Apakah civil society memiliki peran khusus atau sebagai penonton dalam kesepakatan tersebut? Ataukah civil society tak memiliki tempat dalam kesepakatan tersebut?
Kekhawatiran seperti ini wajar saja terjadi. Apalagi jika diurut ke belakang, khususnya ketika berjalannya CoHA dua tahun lalu, masyarakat sipil seperti pendatang baru dalam konflik Aceh dan tak memiliki peran apapun terkait kesepakatan tersebut. Meski dalam CoHA diatur tentang peran sipil, khususnya pasal 2 point f, bahwa kedua belah pihak memberikan kesempatan kepada masyarakat sipil untuk menyuarakan hak demokratisnya tanpa dihalang-halangi. Kenyataannya, gerak masyarakat sipil sangat terbatas. Banyak demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil berakhir dengan pembubaran oleh aparat.
Timbul kesan, CoHA hanya kesepakatan antara RI dan GAM, dan masyarakat sipil tak termasuk di dalamnya. Karena tak sedikit anggota masyarakat sipil yang melakukan sosialisasi hasil CoHA kepada masyarakat dituding sebagai gerakan yang merusak perdamaian. Tudingan ini seringkali berbuah pada penangkapan seperti dialami oleh Muhammad Nazar, Ketua Dewan Presidium SIRA. Ada juga yang dimasukkan dalam status DPO oleh aparat keamanan seperti Kautsar, mantan Ketua SMUR.
Hal seperti ini disampaikan agar jangan sampai nantinya apa dilakukan oleh masyarakat sipil dipandang sebagai bentuk penolakan atau anti perdamaian, atau gerakan yang merusak proses damai. Sehingga melemahkan daya kritis dan juga peran masyarakat sipil itu sendiri.
Terlepas dari kekhawatiran di atas, masyarakat sipil meskipun tak diatur dalam kesepakatan namun memiliki tanggung jawab moral yang sama juga dengan pihak pemerintah RI dan GAM, untuk menjaga proses damai berlangsung dengan baik.
Hal pertama tentunya ikut serta dalam proses sosialisasi kesepakatan MoU itu. Hal ini penting dilakukan agar masyarakat yang selama ini hidup tertekan dapat mengetahui apa yang sedang terjadi, untuk menghilangkan ketakutan dan trauma, agar berani untuk menyampaikan aspirasinya yang selama ini tentu dipendam.
Sosialisasi ini juga dapat bermakna sebagai pendidikan politik bagi rakyat. Apalagi, menyongsong terbentuknya partai lokal yang mana memberikan peluang kepada masyarakat untuk terlibat di dalamnya (lihat di point Partisipasi Politik, khususnya point 1.2.6)
Selain itu, masyarakat sipil juga perlu membentuk lembaga monitoring tersendiri di luar Aceh Monitoring Mission (AMM) dan lembaga monitoring DPR. Hal ini dilakukan untuk mengantipasi kecurangan dan ketidakpatuhan para pihak yang mungkin terjadi, yang luput dari pemantauan AMM. Karenanya, aliansi masyarakat sipil perlu membentuk lembaga pemantauan kesepakatan seperti Cease-Fire Watch (CFW) sewaktu CoHA.
Yang tak boleh dilupakan adalah bahwa masyarakat sipil perlu memperkuat posisi tawarnya, dengan cara memperkuat organ-organ yang ada. Dengan kuatnya organ ini, masyarakat sipil menjadi salah satu elemen yang juga ikut diperhitungkan sebagai pihak yang perlu dimintai pendapat dan didengar aspirasinya baik oleh Pemerintah RI, GAM maupun pihak asing.
Karenanya, perlu adanya penyatuan konsep, perencanaan dan aksi bersama masyarakat sipil seandainya MoU tersebut memiliki nasib seperti CoHA. Apa yang mesti dilakukan? Serta sikap apa yang mesti diambil untuk mengantasipasi berulangnya tragedi kegagalan CoHA.
Dengan memiliki posisi tawar, elemen sipil ini memiliki suara yang sama kuatnya dengan para pihak untuk mendorong pihak ketiga agar ikut menjaga dan menyelamatkan proses damai ini.
Jika ada salah satu pihak yang hendak menarik diri secara sepihak dari MoU bisa dibendung dan digagalkan. Dan masyarakat sipil bisa memberikan pandangannya sebagai masukan bagi pihak AMM atau CMI.
Selain itu, kalangan civil society Aceh perlu mendesak pemerintah RI agar aktivis yang selama ini masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) maupun yang sudah divonis dipulihkan namanya. Karena selama DM banyak aktivis yang mengkampanyekan perdamaian tapi dituduh sebagai GAM atau terlibat makar. Padahal banyak yang murni aktivis kemanusiaan.
Terakhir, civil society mesti terus mengampanyekan tentang proses hukum bagi pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan baik sewaktu berlakunya DOM, Pasca DOM maupun sewaktu Darurat Militer, Darurat Sipil dan tertib sipil. Tugas ini perlu dilakukan karena dalam draft MoU point HAM (point 2.3) hanya menyebutkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan didirikan di Aceh dengan tugas merancang dan menentukan langkah-langkah rekonsiliasi. Tak disebutkan bagaimana hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan.
Sumber acehkita (2005-08-16 11:45:58) atau sehari setelah MoU ditandatangani.
Tags:
Artikel