(Sebuah Catatan untuk Tjipta Lesmana)
Tulisan Tjipta Lesmana, “100 Hari Pemerintahan SBY dan GAM” (Sinar Harapan, 28/01) sebenarnya cukup menarik dalam menilai kinerja 100 hari pemerintahan SBY-JK. Tapi ada beberapa hal yang menurut saya sudah salah kaprah. Beberapa hal itu seperti, keinginan pemerintah SBY berdialog dengan GAM disebutnya sebagai “cacat terbesar pemerintah SBY dalam usia 100 hari.” Dalam penilaiannya, apa yang ditempuh oleh SBY sekarang suatu bentuk pengulangan kesalahan 2,5 tahun lalu sewaktu beliau menjabat Menko Polkam. Saat itu, antara pemerintah RI dan GAM dicapai sebuah kesepakatan penghentian permusuhan (CoHA).
Hal lain yang juga perlu diperdebatkan di sini adalah sikapnya yang melihat konflik Aceh sebagai masalah internal Indonesia. Kebijakan pemerintah mau berdialog dengan GAM, menurutnya, sama dengan mengakui GAM sebagai international entity. Pemerintah diminta untuk mengendalikan proses penyelesaian konflik tersebut tanpa harus didikte oleh pihak lain.
Kiranya beberapa hal ini yang perlu diperjelas, agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami dan menilai subtansi sebuah dialog untuk perdamaian Aceh. Saya sendiri, sebenarnya cukup sepakat dengan saudara Tjipta tentang kegagalan pemerintahan SBY, dan menurut saya banyak janji SBY dalam kampanye sebelum menjadi presiden sebagai utopia, dan kini rakyat sangat merasakan adanya kenyataan itu. Tapi sebagai anggota masyarakat yang cinta perdamaian, saya ingin mengingatkan kita semua pada pertanyaan: apakah berdialog dengan GAM untuk mencapai perdamaian sebagai sebuah kesalahan (cacat)? Pertanyaan ini perlu dikunyah matang-matang, agar tidak ada vonis bahwa dialog sebagai tindakan yang sia-sia.
Saya justru punya penilaian berbeda dengan saudara Tjipta Lesmana, bahwa yang merupakan kecacatan terbesar justru bukan keinginan untuk berdialog melainkan kebijakan pemerintah yang memperpanjang darurat sipil, dan operasi ofensif yang diperlihatkan TNI/Polri pascatsunami dengan menembak mati 120 anggota GAM (jumlah ini pun masih bisa diperdebatkan, apakah semua yang diklaim ditembak itu sebagai anggota GAM?). Di sini jelas terlihat sebuah perbedaan pandangan antara angan-angan ideal seorang pengamat politik seperti Tjipta Lesmana dengan kemauan pragmatis TNI/Polri yang memanfaatkan momentum Tsunami untuk menghancurkan GAM. Harapan saudara Tjipta, dalam suasana musibah seperti ini, TNI tidak perlu menghancurkan GAM dengan peluru, tetapi kenyataan yang diperlihatkan TNI justru berkebalikan dengan harapan beliau.
Membunuh Perdamaian
Dalam hal perdamaian ini, saya tidak begitu senang menggunakan ungkapan Erich From, bahwa “jika kita menginginkan damai bersiaplah untuk perang.” Karena perang tidak pernah menjanjikan perdamaian. Ini yang perlu digaris bawahi. Saya lebih suka pada logika Muhammad Nazar (Ketua Presidium SIRA yang sedang mendekam di LP Malang), yang meminta pemerintah untuk menghidupkan logika damai dan nurani kemanusiaan yang selama ini dimatikan oleh logika perang dan jiwa kekerasan. Perang, sebutnya tidak memenangkan siapa-siapa, melainkan mengalahkan perdamaian, keadilan, kebebasan dan kemanusiaan (Bisnis Indonesia, 23/01).
Bagi kita dan juga bagi pecinta perdamaian dan kemanusiaan, perang tidak menghasilkan apa-apa, melainkan kehancuran. Kenyataan itu yang kita saksikan pada parade perang dunia I dan II dan berbagai perang mutakhir di berbagai belahan bumi sekarang ini. Malah ada ungkapan yang kita dengar, bahwa jika kita tidak mengakhiri perang, maka perang-lah yang akan mengakhiri kita. Coba kita renungkan baik-baik ungkapan ini.
Masalahnya sekarang, perdamaian belum menjadi sebuah kesepakatan di antara pihak-pihak yang bertikai di Aceh. Malah keduanya (TNI dan GAM) mendefinisikan perdamaian menurut ukurannya masing-masing. Tidak jarang, definisi yang diberikan keduanya saling konfrontatif. Bagi TNI, perdamaian Aceh berarti tidak ada lagi GAM, tidak ada lagi gerakan yang menuntut referendum untuk Aceh. Sementara bagi GAM, perdamaian Aceh berarti tidak ada lagi TNI/Polri di Aceh, Aceh harus menjadi negara sendiri. Selain itu, dalam pandangan pemerintah, perdamaian di Aceh akan tercipta jika otonomi khusus diterima sebagai solusi penyelesaian konflik Aceh, dan GAM harus kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Perbedaan pandangan seperti ini justru menghadirkan konfrontatif antara TNI/Polri dan GAM, dan menciptakan ketakutan terhadap masyarakat. Masyarakat terjepit antara pihak-pihak yang bertikai, dan sering menjadi korban. Padahal, masyarakat punya pemahaman sendiri dalam memaknai perdamaian, seperti tidak ada lagi kontak senjata antara TNI/Polri, tidak ada lagi ketakutan dan serta mereka bebas bekerja tanpa merasa takut akan kena imbas dari konflik bersenjata dari kedua belah pihak.
Di sini kemudian keinginan masyarakat bertemu pada logika kemanusiaan yang melihat masyarakat adalah pihak yang paling berhak menikmati perdamaian. Keinginan seperti ini akan segera terwujud jika tercipta suatu kondisi yang kondusif bagi masyarakat untuk menikmati kebebasan. Suasana kondusif itu sendiri akan tercipta jika dicapai suatu kesepakatan untuk penghentian segala bentuk kekerasan, dan penghentian konflik bersenjata.
Keinginan dialog sebenarnya untuk mengakomodir harapan masyarakat seperti ini yang ingin hidup dalam ketenangan. Masyarakat Aceh sudah cukup ‘puas’ menikmati kondisi yang tidak normal, penuh dengan konflik. Sudah saatnya kita mendengar jeritan mereka, bahwa mereka sudah lelah hidup dalam suasana perang. Mereka punya harapan untuk menikmati kebebasan dan kedamaian.
Makanya, dialog yang sedang digelar ini di Helsinki, Finlandia, antara pemerintah RI dan GAM sesegera mungkin menghasilkan suatu kesepakatan yang menggembirakan bagi rakyat Aceh. Dialog yang sedang digelar itu sama sekali bukanlah sebuah pilihan politik yang keliru apalagi dinilai sebagai tindakan cacat. Asalkan dialog itu menghasilkan sesuatu yang riil buat rakyat Aceh. Lain halnya jika dialog itu hanya untuk mempertebal dan mempertegas garis permusuhan antara pemerintah RI dan GAM. Jelas itu tidak bermakna apa-apa.
Jadi sangat keliru jika mengganggap dialog RI-GAM yang sedang berlangsung itu seperti mengulangi kesalahan 2,5 tahun lalu, kebetulan saat itu melibatkan SBY. Sekarang yang dilihat bukan aktor SBY-nya, tetapi semangat kedua belah pihak (RI-GAM) untuk mempersembahkan perdamaian untuk rakyat Aceh yang baru didera musibah gempa dan tsunami. Kita berharap kondisi seperti CoHA hadir lagi di Aceh.
Faktanya, ketika dicapai kesepakatan dalam bentuk CoHA (perjanjian penghentian permusuhan) antara RI-GAM berhasil menurunkan eskalasi korban di Aceh. Grafik tindak kekerasan dari kedua belah pihak sangat menurun. Jarang terdengar kontak senjata terjadi antara pihak TNI/Polri dan GAM. Malah seperti dilaporkan oleh sejumlah media, ada anggota TNI/Polri yang duduk minum kopi di warung kopi bersama anggota GAM. Pasar-pasar tradisional Aceh yang terdapat di pelosok-pelosok desa mulai ramai lagi. Masyarakat sudah berani keluar malam, tanpa takut bakal ditangkap atau menjadi korban kontak senjata.
Justru yang pantas disebut sebuah cacat adalah kebijakan SBY yang memperpanjang Darurat Sipil di Aceh, dan mempertahankan operasi ofensif TNI/Polri di Aceh. Yang pantas disebut sebuah tindakan cacat adalah kebijakan pemerintah (sewaktu Megawati) yang memberlakukan seluruh wilayah Aceh status bahaya dengan tingkat Darurat Militer pada medio Mei 2003, membatalkan secara sepihak proses CoHA serta menutup rapat pintu dialog dengan GAM. Kebijakan ini justru membuat penyelesaian Aceh jatuh ke titik nol. Banyak jatuh korban akibat kebijakan “keras” pemerintah ini.
Pemerintah membunuh Perdamaian, itu mungkin kesimpulan kita terhadap kebijakan pemerintah menerapkan status darurat militer di Aceh dan menutup pintu dialog. Karena terbukti, kebijakan ini tidak juga memberikan titik terang bagi penyelesaian Aceh secara komprehensif dan bermartabat.
Problem Internal?
Dapatkah kita menyebut konflik Aceh semata-mata problem internal Indonesia? Apalagi anggapan jika berdialog dengan GAM berarti mengakui GAM sebagai entity international. Jelas ini suatu kekaburan dan menyederhanakan masalah.
Bukankah sebelumnya pemerintah sudah pernah berdialog dengan GAM sehingga menghasilkan CoHA? Saat itu, dialog difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC), sebuah LSM internasional yang memiliki reputasi internasional. Selain itu, dialog tersebut banyak melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh dunia, di mana berarti konflik Aceh sudah menjadi problem internasional. Kesimpulan ini, dapat kita saksikan dengan banyaknya respon internasional terhadap praktik pelanggaran HAM di Aceh dan imbauan agar konflik Aceh diselesaikan dengan jalan damai. Berarti, ada sebuah sikap internasional yang melihat konflik Aceh sebagai bagian dari problem meraka, dan mereka punya tanggung jawab moral untuk mengakhiri konflik yang sudah berlangsung lama itu.
Konflik bersenjata seperti di Aceh yang banyak menjatuhkan korban, mau tak mau sudah memancing internasional untuk terlibat pada penyelesaian. Apalagi, negara-negara besar seperti Amerika, Jepang dan tentunya PBB sudah pernah terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Aceh dalam bentuk fasilitasi Tokyo Meeting 17-18 Mei 2003 yang kemudian menjadi arena bagi pemerintah menarik diri dari dialog.
Sesungguhnya, pandangan yang melihat konflik Aceh sebagai problem internal RI sebuah kerancuan. Pasalnya, Indonesia sendiri sebelumnya pernah terlibat dalam upaya penyelesaian konflik di Moro, Filipina antara Pemerintah Philipina dan MNLF pimpinan Nur Misuari tahun 1996. Saat itu Hasan Wirayudha, terlibat sebagai ketua delegasi perundingan, atau sebagai fasilitator pertemuan. Bukankah sangat egois, jika kita bisa ikut campur dalam perundingan di negara lain, sementara konflik di dalam negeri coba diselesaikan sendiri.
Menganggap penyelesaian konflik Aceh bisa dikendalikan oleh pemerintah sendiri tanpa melibatkan internasional justru riskan. Karena dari pengalaman yang ada, opsi pemerintah tak pernah jauh dari penggunaan kekuatan senjata untuk meredam konflik seperti di Tim Tim, Papua dan Poso. Seharusnya semua kita berfikir positif untuk opsi perdamaian. Bukan malah sebaliknya menggembosinya dengan berbagai pandangan yang justru memberikan angin segar pada penyelesaian versi militer.
Bukankah kenyataan selama ini memperlihatkan kepada kita bahwa logika pemerintah dalam menyelesaikan konflik Aceh selalu mengedepankan kekuatan militer? Seolah tidak ada opsi lain selain penggunaan kekuatan senjata. Dan ini yang tidak kita inginkan. Seberapa besar apapuan masalahnya, penyelesaian lewat mekanisme dialogis dan perundingan tetaplah solusi yang lebih manusiawi.
Penulis adalah masyarakat Aceh yang cinta perdamaian
Tulisan Tjipta Lesmana, “100 Hari Pemerintahan SBY dan GAM” (Sinar Harapan, 28/01) sebenarnya cukup menarik dalam menilai kinerja 100 hari pemerintahan SBY-JK. Tapi ada beberapa hal yang menurut saya sudah salah kaprah. Beberapa hal itu seperti, keinginan pemerintah SBY berdialog dengan GAM disebutnya sebagai “cacat terbesar pemerintah SBY dalam usia 100 hari.” Dalam penilaiannya, apa yang ditempuh oleh SBY sekarang suatu bentuk pengulangan kesalahan 2,5 tahun lalu sewaktu beliau menjabat Menko Polkam. Saat itu, antara pemerintah RI dan GAM dicapai sebuah kesepakatan penghentian permusuhan (CoHA).
Hal lain yang juga perlu diperdebatkan di sini adalah sikapnya yang melihat konflik Aceh sebagai masalah internal Indonesia. Kebijakan pemerintah mau berdialog dengan GAM, menurutnya, sama dengan mengakui GAM sebagai international entity. Pemerintah diminta untuk mengendalikan proses penyelesaian konflik tersebut tanpa harus didikte oleh pihak lain.
Kiranya beberapa hal ini yang perlu diperjelas, agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami dan menilai subtansi sebuah dialog untuk perdamaian Aceh. Saya sendiri, sebenarnya cukup sepakat dengan saudara Tjipta tentang kegagalan pemerintahan SBY, dan menurut saya banyak janji SBY dalam kampanye sebelum menjadi presiden sebagai utopia, dan kini rakyat sangat merasakan adanya kenyataan itu. Tapi sebagai anggota masyarakat yang cinta perdamaian, saya ingin mengingatkan kita semua pada pertanyaan: apakah berdialog dengan GAM untuk mencapai perdamaian sebagai sebuah kesalahan (cacat)? Pertanyaan ini perlu dikunyah matang-matang, agar tidak ada vonis bahwa dialog sebagai tindakan yang sia-sia.
Saya justru punya penilaian berbeda dengan saudara Tjipta Lesmana, bahwa yang merupakan kecacatan terbesar justru bukan keinginan untuk berdialog melainkan kebijakan pemerintah yang memperpanjang darurat sipil, dan operasi ofensif yang diperlihatkan TNI/Polri pascatsunami dengan menembak mati 120 anggota GAM (jumlah ini pun masih bisa diperdebatkan, apakah semua yang diklaim ditembak itu sebagai anggota GAM?). Di sini jelas terlihat sebuah perbedaan pandangan antara angan-angan ideal seorang pengamat politik seperti Tjipta Lesmana dengan kemauan pragmatis TNI/Polri yang memanfaatkan momentum Tsunami untuk menghancurkan GAM. Harapan saudara Tjipta, dalam suasana musibah seperti ini, TNI tidak perlu menghancurkan GAM dengan peluru, tetapi kenyataan yang diperlihatkan TNI justru berkebalikan dengan harapan beliau.
Membunuh Perdamaian
Dalam hal perdamaian ini, saya tidak begitu senang menggunakan ungkapan Erich From, bahwa “jika kita menginginkan damai bersiaplah untuk perang.” Karena perang tidak pernah menjanjikan perdamaian. Ini yang perlu digaris bawahi. Saya lebih suka pada logika Muhammad Nazar (Ketua Presidium SIRA yang sedang mendekam di LP Malang), yang meminta pemerintah untuk menghidupkan logika damai dan nurani kemanusiaan yang selama ini dimatikan oleh logika perang dan jiwa kekerasan. Perang, sebutnya tidak memenangkan siapa-siapa, melainkan mengalahkan perdamaian, keadilan, kebebasan dan kemanusiaan (Bisnis Indonesia, 23/01).
Bagi kita dan juga bagi pecinta perdamaian dan kemanusiaan, perang tidak menghasilkan apa-apa, melainkan kehancuran. Kenyataan itu yang kita saksikan pada parade perang dunia I dan II dan berbagai perang mutakhir di berbagai belahan bumi sekarang ini. Malah ada ungkapan yang kita dengar, bahwa jika kita tidak mengakhiri perang, maka perang-lah yang akan mengakhiri kita. Coba kita renungkan baik-baik ungkapan ini.
Masalahnya sekarang, perdamaian belum menjadi sebuah kesepakatan di antara pihak-pihak yang bertikai di Aceh. Malah keduanya (TNI dan GAM) mendefinisikan perdamaian menurut ukurannya masing-masing. Tidak jarang, definisi yang diberikan keduanya saling konfrontatif. Bagi TNI, perdamaian Aceh berarti tidak ada lagi GAM, tidak ada lagi gerakan yang menuntut referendum untuk Aceh. Sementara bagi GAM, perdamaian Aceh berarti tidak ada lagi TNI/Polri di Aceh, Aceh harus menjadi negara sendiri. Selain itu, dalam pandangan pemerintah, perdamaian di Aceh akan tercipta jika otonomi khusus diterima sebagai solusi penyelesaian konflik Aceh, dan GAM harus kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Perbedaan pandangan seperti ini justru menghadirkan konfrontatif antara TNI/Polri dan GAM, dan menciptakan ketakutan terhadap masyarakat. Masyarakat terjepit antara pihak-pihak yang bertikai, dan sering menjadi korban. Padahal, masyarakat punya pemahaman sendiri dalam memaknai perdamaian, seperti tidak ada lagi kontak senjata antara TNI/Polri, tidak ada lagi ketakutan dan serta mereka bebas bekerja tanpa merasa takut akan kena imbas dari konflik bersenjata dari kedua belah pihak.
Di sini kemudian keinginan masyarakat bertemu pada logika kemanusiaan yang melihat masyarakat adalah pihak yang paling berhak menikmati perdamaian. Keinginan seperti ini akan segera terwujud jika tercipta suatu kondisi yang kondusif bagi masyarakat untuk menikmati kebebasan. Suasana kondusif itu sendiri akan tercipta jika dicapai suatu kesepakatan untuk penghentian segala bentuk kekerasan, dan penghentian konflik bersenjata.
Keinginan dialog sebenarnya untuk mengakomodir harapan masyarakat seperti ini yang ingin hidup dalam ketenangan. Masyarakat Aceh sudah cukup ‘puas’ menikmati kondisi yang tidak normal, penuh dengan konflik. Sudah saatnya kita mendengar jeritan mereka, bahwa mereka sudah lelah hidup dalam suasana perang. Mereka punya harapan untuk menikmati kebebasan dan kedamaian.
Makanya, dialog yang sedang digelar ini di Helsinki, Finlandia, antara pemerintah RI dan GAM sesegera mungkin menghasilkan suatu kesepakatan yang menggembirakan bagi rakyat Aceh. Dialog yang sedang digelar itu sama sekali bukanlah sebuah pilihan politik yang keliru apalagi dinilai sebagai tindakan cacat. Asalkan dialog itu menghasilkan sesuatu yang riil buat rakyat Aceh. Lain halnya jika dialog itu hanya untuk mempertebal dan mempertegas garis permusuhan antara pemerintah RI dan GAM. Jelas itu tidak bermakna apa-apa.
Jadi sangat keliru jika mengganggap dialog RI-GAM yang sedang berlangsung itu seperti mengulangi kesalahan 2,5 tahun lalu, kebetulan saat itu melibatkan SBY. Sekarang yang dilihat bukan aktor SBY-nya, tetapi semangat kedua belah pihak (RI-GAM) untuk mempersembahkan perdamaian untuk rakyat Aceh yang baru didera musibah gempa dan tsunami. Kita berharap kondisi seperti CoHA hadir lagi di Aceh.
Faktanya, ketika dicapai kesepakatan dalam bentuk CoHA (perjanjian penghentian permusuhan) antara RI-GAM berhasil menurunkan eskalasi korban di Aceh. Grafik tindak kekerasan dari kedua belah pihak sangat menurun. Jarang terdengar kontak senjata terjadi antara pihak TNI/Polri dan GAM. Malah seperti dilaporkan oleh sejumlah media, ada anggota TNI/Polri yang duduk minum kopi di warung kopi bersama anggota GAM. Pasar-pasar tradisional Aceh yang terdapat di pelosok-pelosok desa mulai ramai lagi. Masyarakat sudah berani keluar malam, tanpa takut bakal ditangkap atau menjadi korban kontak senjata.
Justru yang pantas disebut sebuah cacat adalah kebijakan SBY yang memperpanjang Darurat Sipil di Aceh, dan mempertahankan operasi ofensif TNI/Polri di Aceh. Yang pantas disebut sebuah tindakan cacat adalah kebijakan pemerintah (sewaktu Megawati) yang memberlakukan seluruh wilayah Aceh status bahaya dengan tingkat Darurat Militer pada medio Mei 2003, membatalkan secara sepihak proses CoHA serta menutup rapat pintu dialog dengan GAM. Kebijakan ini justru membuat penyelesaian Aceh jatuh ke titik nol. Banyak jatuh korban akibat kebijakan “keras” pemerintah ini.
Pemerintah membunuh Perdamaian, itu mungkin kesimpulan kita terhadap kebijakan pemerintah menerapkan status darurat militer di Aceh dan menutup pintu dialog. Karena terbukti, kebijakan ini tidak juga memberikan titik terang bagi penyelesaian Aceh secara komprehensif dan bermartabat.
Problem Internal?
Dapatkah kita menyebut konflik Aceh semata-mata problem internal Indonesia? Apalagi anggapan jika berdialog dengan GAM berarti mengakui GAM sebagai entity international. Jelas ini suatu kekaburan dan menyederhanakan masalah.
Bukankah sebelumnya pemerintah sudah pernah berdialog dengan GAM sehingga menghasilkan CoHA? Saat itu, dialog difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC), sebuah LSM internasional yang memiliki reputasi internasional. Selain itu, dialog tersebut banyak melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh dunia, di mana berarti konflik Aceh sudah menjadi problem internasional. Kesimpulan ini, dapat kita saksikan dengan banyaknya respon internasional terhadap praktik pelanggaran HAM di Aceh dan imbauan agar konflik Aceh diselesaikan dengan jalan damai. Berarti, ada sebuah sikap internasional yang melihat konflik Aceh sebagai bagian dari problem meraka, dan mereka punya tanggung jawab moral untuk mengakhiri konflik yang sudah berlangsung lama itu.
Konflik bersenjata seperti di Aceh yang banyak menjatuhkan korban, mau tak mau sudah memancing internasional untuk terlibat pada penyelesaian. Apalagi, negara-negara besar seperti Amerika, Jepang dan tentunya PBB sudah pernah terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Aceh dalam bentuk fasilitasi Tokyo Meeting 17-18 Mei 2003 yang kemudian menjadi arena bagi pemerintah menarik diri dari dialog.
Sesungguhnya, pandangan yang melihat konflik Aceh sebagai problem internal RI sebuah kerancuan. Pasalnya, Indonesia sendiri sebelumnya pernah terlibat dalam upaya penyelesaian konflik di Moro, Filipina antara Pemerintah Philipina dan MNLF pimpinan Nur Misuari tahun 1996. Saat itu Hasan Wirayudha, terlibat sebagai ketua delegasi perundingan, atau sebagai fasilitator pertemuan. Bukankah sangat egois, jika kita bisa ikut campur dalam perundingan di negara lain, sementara konflik di dalam negeri coba diselesaikan sendiri.
Menganggap penyelesaian konflik Aceh bisa dikendalikan oleh pemerintah sendiri tanpa melibatkan internasional justru riskan. Karena dari pengalaman yang ada, opsi pemerintah tak pernah jauh dari penggunaan kekuatan senjata untuk meredam konflik seperti di Tim Tim, Papua dan Poso. Seharusnya semua kita berfikir positif untuk opsi perdamaian. Bukan malah sebaliknya menggembosinya dengan berbagai pandangan yang justru memberikan angin segar pada penyelesaian versi militer.
Bukankah kenyataan selama ini memperlihatkan kepada kita bahwa logika pemerintah dalam menyelesaikan konflik Aceh selalu mengedepankan kekuatan militer? Seolah tidak ada opsi lain selain penggunaan kekuatan senjata. Dan ini yang tidak kita inginkan. Seberapa besar apapuan masalahnya, penyelesaian lewat mekanisme dialogis dan perundingan tetaplah solusi yang lebih manusiawi.
Penulis adalah masyarakat Aceh yang cinta perdamaian
Tags:
Artikel