Pertemuan Helsinki III (yang berlangsung pada 12-17 April 2005) ini tidak akan menghasilkan keputusan apapun jika logika haus perang dan pemaksaan kehendak masih dipertahankan. Dialog kemudian hanya menjadi media untuk mempertebal permusuhan dan membuat keputusan perang menjadi lebih legal.
Logika ini dapat dibaca, misalnya, dalam berbagai kesempatan pemerintah Indonesia menyampaikan bahwa penyelesaian Aceh tetap dalam kerangka NKRI. Sikap ini merupakan batas toleransi RI dalam merespon sikap politik GAM yang menginginkan kemerdekaan Aceh secara penuh. Tak ada kompromi. Lalu, konfrontasi pun tidak dapat dihindari. Perang meletus, kedua belah pihak saling membunuh. Namun, ketika keduanya sudah lelah berperang, jeda perang diciptakan dan perundingan digelar. Jika telah sama-sama merasa kuat dan mampu untuk berperang lagi, kesepakatan damai yang dibuat lalu dibatalkan.
Fakta itu yang kita tangkap dari pengalaman sebelumnya. Kedua belah pihak telah terkontaminasi sebuah pepatah yang begitu populer sewaktu terjadi perang dunia pertama, “Si vis pacem para bellum” (Jika kau menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang)—yang oleh Erich Fromm, seorang tokoh humanis, disebut sebagai gejala umum di Jerman dua tahun sebelum perang dunia dimulai. Pepatah ini diajarkan oleh guru bahasa latinnya yang sangat ditentangnya.
Karena itu, baik pihak RI maupun GAM harus diberitahu, perang sudah lama berlangsung di Aceh sehingga tak perlu diciptakan lagi. Namun yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana menghentikan perang itu dan kemudian memberikan kesempatan kepada rakyat Aceh untuk menentukan masa depannya sendiri. Jangan terus terlena pada logika: perang-damai; perang-damai dan seterusnya. Sementara perdamaian tidak pernah menjadi sesuatu yang establish dan permanen di Aceh.
Pertanyaannya sekarang, mampukah kedua belah pihak mengalahkan logika perang yang selama ini begitu dipuja dalam pertemuan Helsinki III ini sebagai ijtihad mewujudkan perdamaian abadi di Aceh? Pertanyaan ini pantas kita kedepankan di tengah keprihatinan atas musibah yang menimpa Aceh akhir Desember tahun lalu.
Helsinki III dan Momentum Perdamaian
Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan beberapa indikator dan akan terbaca dalam pertemuan Helsinki III ini, misalnya apakah keputusan yang dihasilkan kedua belah pihak dapat dilihat sebagai keinginan untuk mengakhiri perang atau malah memelihara momentum untuk memulai lagi perang.
Pertama, pihak RI dan GAM memberikan peluang yang lebih besar kepada rakyat Aceh untuk hidup dalam damai. Kedua belah pihak memberikan kesempatan kepada rakyat Aceh untuk menentukan masa depannya sendiri melalui sebuah mekanisme yang demokratis yang melibatkan partisipasi rakyat secara penuh dan bebas dari berbagai anasir politik dan kepentingan.
Jadi, dialog bukan sebagai kedok atau medium untuk membuat keputusan yang memberikan peluang pecahnya perang, melainkan sebagai sarana menghasilkan keputusan politik yang berpihak kepada rakyat. Keputusan politik yang berpihak kepada rakyat dapat dilihat dari seberapa besar porsi teradopsinya aspirasi rakyat dijadikan sebagai kerangka atau agenda dialog, serta seberapa besar aspirasi rakyat termuat dalam klausul-klausul kesepakatan.
Karena itu, komentar yang mencoba menggiring bahwa Helsinki III bukan untuk membuat kesepakatan (agreement) harus ditolak. Helsinki III bukan lagi medium mempersamakan persepsi, melainkan sebagai forum untuk menghasilkan keputusan. Yang mesti disamakan adalah apa yang bisa dilakukan untuk menghilangkan penderitaan rakyat Aceh? Kesadaran ini saja sudah bisa memberikan masukan kepada kedua belah pihak untuk mempercepat perdamaian.
Namun, jika Helsinki III masih bernasib seperti pertemuan sebelumnya, maka dapat dibaca bahwa logika perang masih menjadi pegangan keduanya.
Kedua, terbangun sebuah kesadaran, bahwa akhir dari perjuangan kedua belah pihak (RI dan GAM) adalah untuk kesejahteraan rakyat Aceh. Kesadaran ini dibuktikan dengan keseriusan menghasilkan sebuah kesepakatan damai yang dapat dijadikan pegangan dan mekanisme bagi perwujudan gencatan senjata. Tahap menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Aceh adalah terhentinya perang dan kekerasan. Jika perang belum berhenti, kesejahteraan adalah mitos belaka.
Jika logika ini dihidupkan, kedua belah pihak akan dikenang dalam sejarah karena mampu membuat sebuah keputusan penting ini. Apalagi apa yang dihasilkan kedua belah pihak terjadi di saat-saat peristiwa penting sejarah dunia: gempa dan tsunami di Aceh yang menelan ratusan ribu jiwa dan meninggalnya Paus Yohanes Paulus II, pemimpin umat Katolik dunia.
Karena itu apa yang dihasilkan oleh RI-GAM bisa disandingkan dalam sejarah besar itu. Syaratnya adalah sanggup membuat sebuah kesepakatan penting seperti telah ditunjukkan sewaktu membuat kesepakatan tentang Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) 9 Desember 2002 silam.
Sekarang tergantung pada keduanya, apakah mau membuat sejarah atau malah menjadi bahan olok-olok sejarah? Sebab jika keputusan yang diambil kedua belah pihak merugikan rakyat seperti memaksakan kehendak perang dan berpedoman pada logika orang gila perang (bangsa Barbar), maka sejarah akan mencatat bahwa di tengah penderitaan rakyat Aceh akibat bencana dahsyat, masih ada pihak yang berpikir ingin memusnahkan rakyat Aceh dan mencabut mereka dari akar kehidupan.
Jika tidak ingin menjadi bahan olokan sejarah, maka keduanya harus membuktikan bahwa rakyat Aceh masih memiliki harapan dan kesempatan hidup dalam damai. Perdamaian bukan mimpi dan bukan pula utopia. Sehingga, setelah bencana hebat yang menelan korban ratusan ribu orang itu, rakyat Aceh bisa menghibur diri karena perang sudah usai. Saatnya hidup dalam suasana yang lebih normal.
Dialog untuk Perdamaian
Sepertinya kita perlu mengingatkan baik pihak RI maupun GAM, dialog yang digelar itu untuk menciptakan perdamaian, bukan melegalkan perang atau membuat penyelesaian konflik Aceh semakin berbelit-belit dan berlarut-larut. Keduanya harus menepis kesan—seperti terbentuk selama ini—bahwa dialog digelar lebih untuk mempertebal dan mempertegas garis-garis pertentangan. Karena dialog hanya dijadikan sebagai arena mencari siapa lawan tanding untuk kemudian memeranginya.
Kekhawatiran kita ini bukan tidak beralasan. Coba buka kembali sejarah perundingan RI dan GAM, apakah perundingan-perundingan itu bisa dan dapat bertahan lama? Apakah pascaperundingan kedua belah pihak tidak bertengkar lagi? Apakah para perunding GAM tidak ditangkapi, disiksa dan tidak dibunuh? Apakah TNI/Polri dan GAM tidak berperang lagi?
Karena itu, kedua belah pihak juga harus merumuskan kesepakatan jika seandainya kesepakatan terancam bubar atau batal, bagaimana nasib para perunding kedua belah pihak. Faktor kekebalan diplomatik para perunding harus dipikirkan. Keselamatan mereka harus dijamin oleh kedua belah pihak dan pihak mediator.
Hal ini untuk menghindari nasib seperti ketika CoHA gagal dan berakhir tragis. Mitra dialog yang sebelumnya sebagai teman dalam mencari titik temu penyelesaian malah dianggap musuh, lalu kemudian ditangkap. Malah banyak anggota Joint Security Committee (JSC) dari pihak GAM dibunuh ketika berlangsung Darurat Militer. Bukan hanya itu, trust antarkedua belah pihak yang terbangun selama CoHA juga terkoyak.
Selanjutnya, makna dialog haruslah memberikan porsi yang lebih besar untuk saling memahami perbedaan masing-masing. Kedua belah pihak harus bisa menghargai perbedaan dan prinsip teman runding. Karena itu, tekanan salah satu pihak terhadap pihak lain harus dihindari, misalnya jika pihak A tidak menerima, maka dialog batal, dan sebagainya. Hal ini bukan saja melanggar prinsip-prinsip dialog melainkan membuat hasil yang bakal dicapai tidak akan objektif. Yang lebih penting, dialog digelar untuk menghasilkan perdamaian di Aceh.
Sebagai penutup dari tulisan ini, tak ada salahnya kita ingatkan kepada semua pihak kekhawatiran Erich Fromm puluhan tahun lalu terhadap ancaman perang nuklir (kemudian tidak jadi terjadi) yang bakal melanda dunia, “Jika kita akan binasa dalam perang nuklir, hal itu bukan karena manusia tidak mampu menjadi manusia, atau karena manusia pada dasarnya memang jahat; tetapi karena konsensus kebodohan telah mencegahnya untuk melihat realitas dan bertindak atas dasar kebenaran.”
Kekhawatiran seperti ini dapat juga dilihat dalam upaya penyelesaian konflik Aceh, “Bahwa tertundanya perdamaian di Aceh bukan hanya disebabkan oleh gagalnya suatu konsensus politik antar-para pihak bertikai serta bertindak atas dasar kebenaran, melainkan karena logika damai telah dikalahkan oleh logika perang!”
Selamat berunding!! [A]
*) Penulis adalah masyarakat Aceh yang mendambakan perdamaian.
Sumber:www.acehkita.com 15 April 2005
Tags:
Artikel