Grove Paterson, seorang tokoh pers di Amerika mendefinisikan tanggung jawab sosial pers sebagai keharusan memastikan bahwa ‘koran adalah wakil masyarakat secara keseluruhan, bukan kelompok tertentu saja.'
Sebagai seorang anggota masyarakat yang peduli pada kebebasan pers, Saya merasa sangat prihatin sekali terhadap kasus yang menimpa TEMPO. Keprihatinan Saya cukup beralasan. Jika kebebasan pers dibunuh, maka sebenarnya bukan hanya kebenaran yang dibunuh melainkan juga keinginan bangsa untuk maju harus ditunda. Yang saya tahu, pembangunan suatu bangsa/negara sangat terkait juga dengan sejauh mana tingkat kebebasan pers di negara itu. Di negara-negara yang memiliki kebebasan pers relatif lebih baik, sering diikuti dengan pesatnya pertumbuhan di negara itu.
Atas alasan ini, TEMPO harus dibela sebagai pembelaan atas kebebasan pers. TEMPO harus dibela dari rongrongan—meminjam istilah Bambang Harymurti dalam pleidoinya: kekuatan jahat—yang hendak membungkam kebebasan pers di Indonesia yang mulai sedikit longgar. Karena sebenarnya bukan hanya kebebasan yang direnggut, tetapi juga kepentingan masyarakat untuk mendapatkan informasi secara benar dan kritis.
Dalam sebuah Pelatihan Jurnalistik di Universitas Indonesia beberapa bulan yang lalu, seorang wartawan TEMPO (saya lupa namanya) menyampaikan tentang permintaan anak buah Tommy—yang menyerang kantor TEMPO—bahwa jika pihak TEMPO mau membeberkan nama narasumber TEMPO yang memberikan keterangan maka persoalan dengan TEMPO dianggap selesai. Dari itu saya menangkap bahwa TEMPO sudah bertindak secara cukup arif dengan melindungi saksi atau narasumbernya. Walaupun konsekuensinya TEMPO harus dituntut ke pengadilan.
Pernyataan itu teringat kembali ketika membaca Pleidoi Bambang Harymurti (Pemred TEMPO) seperti dimuat dalam TEMPO edisi 30 Agt-6 Sept 04. Saya melihat pemberitaan TEMPO “Ada Tomy di Tenabang” (Edisi 3-8 Maret 2003) sebagai informasi yang penting diketahui oleh publik. Walaupun dengan memuat pemberitaan seperti itu, pihak TEMPO harus berurusan dengan kelompok tertentu seperti Tommy Winata. TEMPO sudah menunaikan kewajiban/atau telah melaksanakan tanggung jawab sosial pers dengan menyiarkan pemberitaan tentang hal itu.
Dalam hal ini, TEMPO sudah berusaha menempatkan diri sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik. TEMPO memerankan diri sebagai wakil dari masyarakat untuk melakukan kontrol sosial. Karena di sinilah letak “simbiosis mutualisme” antara TEMPO sebagai media dengan publik pembacanya. Di mana media perlu membangun relasi dengan publik yang diwakilinya dengan melemparkan suatu kasus atau masalah yang berhubungan publik untuk didiskusikan secara bersama-sama. Dengan begitu, akan mudah didapat titik terang atas suatu masalah, yang sebelumnya nampak sebagai misteri bisa menjadi jelas dan terungkap.
Apalagi kasus pasar Tanah Abang. Pembakaran pasar Tanah Abang bukan hanya pembakaran terhadap pasar grosir terbesar di Asia Tenggara melainkan juga “membakar” kesempatan berusaha dan harapan hidup masyarakat kelas bawah yang mengadu nasib di sana. Sisi ini juga harus dilihat secara benar. Bahwa negeri ini bukan hanya milik mereka yang punya akses ke kekuasaan dan modal besar, melainkan juga milik mereka yang secara sosial ekonomi kurang beruntung.
Di sini, sebenarnya TEMPO sudah berdiri di belakang kaum lemah dan memperjuangkan nasib mereka. TEMPO mencoba membantu mereka untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Bahwa kasus terbakarnya pasar Tanah Abang bukan semata-mata peristiwa biasa, atau hanya sebagai musibah. Melainkan harus dilihat dari sisi yang lain sebagai permainan orang-orang “hebat” di negeri ini untuk meluaskan bisnisnya.
Berita itu sendiri merupakan hasil investigasi penulisnya yang mencoba menangkap pendapat masyarakat di sekitar tempat kejadian. Dengan model seperti ini, kebenaran atau duduk soalan suatu perkara dapat diketahui secara objektif. Dalam kehidupan seperti sekarang ini, setidaknya masyarakat perlu mendapatkan informasi lebih besar dari sebelumnya dari media. Informasi itu sendiri tidak hanya berasal dari sumber resmi. Rakyat juga harus didengar karena mereka juga punya hak mengungkap kebenaran.
Dengan begitu, setidaknya media sudah membantu pemerintah menjalankan tugasnya. Apa yang selama ini tidak mendapat perhatian dan hanya dilihat sebagai kasus biasa. Dengan adanya pemberitaan begini pemerintah bisa mencari tahu penyebabnya, setidaknya mengetahui persoalan yang dialami oleh rakyat yang menderita. Sehingga memikirkan bentuk penyelesaiannya.
Ukuran kebenaran dengan sendirinya tidak lagi ditentukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan/modal. Karena masyarakat kita bisa disebut sudah lebih cerdas dari sebelumnya. Masyarakat tidak mentah-mentah menerima pemberitaan media, melainkan juga akan mencari kebenaran di balik pemberitaan tersebut. Masyarakat kita adalah masyarakat sederhana di satu sisi dan masyarakat modern di sisi lain atau transisi menuju masyarakat modern. Dalam masyarakat sederhana—seperti definisi yang diberikan Komisi Kebenaran Pers Amerika dalam buku Media Massa dan Masyarakat Modern (terjemahan;2003)—kebenaran akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan media dengan informasi dari sumber-sumber lain. Sementara dalam masyarakat modern, isi media merupakan sumber informasi dominan, sehingga media lebih dituntut untuk menyajikan berita yang benar. Atas pertimbangan dua model masyarakat ini, TEMPO memuat berita seperti itu.
Di Indonesia sendiri, untuk sementara kita harus merumuskan ulang ukuran kebenaran pemberitaan sistem cover both side. Bagaimana operasional cover both side? Jika seorang wartawan melihat seorang polisi memukuli seorang masyarakat sampai meninggal, dan dia ada pada saat itu, apakah untuk keperluan cover both side dia harus mengkonfirmasi kepada atasan di polisi itu. Apakah lalu wartawan harus meragukan penglihatannya. Jika dia mengikuti kaidah cover both side, berita dia yang sebelum ditulis sudah benar menjadi abu-abu ketika menjadi pemberitaan.
Di sini saya tidak berada dalam posisi membela investigasi yang dilakukan oleh wartawan TEMPO seperti disampaikan dalam Pleidoi Pemred-nya, melainkan mencoba berbaik sangka pada pemberitaan TEMPO dan mencari kebenaran dari berita tersebut. Kadang-kadang kebenaran harus dicari dari sobekan-sobekan koran. Tugas media hanyalah menyampaikannya kepada publik pembacanya suatu kejadian atau peristiwa, lalu masyarakat yang menilai kebenaran berita tersebut walaupun harus berhadapan dengan orang-orang hebat itu.
Terakhir saya hanya bisa menyampaikan lewat tulisan singkat ini: Bebaskan TEMPO!! Jangan kriminalkan pers. Saatnya perkara pers harus diselesaikan dengan menggunakan UU Pers bukan KUHP. Pasal 63 ayat (2) KUHP menyatakan: “Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana khusus, maka hanya khusus itulah yang dikenakan.” Dengan begitu, UU Pers merupakan lex specialist (aturan khusus) terhadap KUHP (generalist) dan peraturan perundang-undangan yang lain. Dalam perkara TEMPO, seharusnya UU Pers yang digunakan bukan KUHP.
Sebagai seorang anggota masyarakat yang peduli pada kebebasan pers, Saya merasa sangat prihatin sekali terhadap kasus yang menimpa TEMPO. Keprihatinan Saya cukup beralasan. Jika kebebasan pers dibunuh, maka sebenarnya bukan hanya kebenaran yang dibunuh melainkan juga keinginan bangsa untuk maju harus ditunda. Yang saya tahu, pembangunan suatu bangsa/negara sangat terkait juga dengan sejauh mana tingkat kebebasan pers di negara itu. Di negara-negara yang memiliki kebebasan pers relatif lebih baik, sering diikuti dengan pesatnya pertumbuhan di negara itu.
Atas alasan ini, TEMPO harus dibela sebagai pembelaan atas kebebasan pers. TEMPO harus dibela dari rongrongan—meminjam istilah Bambang Harymurti dalam pleidoinya: kekuatan jahat—yang hendak membungkam kebebasan pers di Indonesia yang mulai sedikit longgar. Karena sebenarnya bukan hanya kebebasan yang direnggut, tetapi juga kepentingan masyarakat untuk mendapatkan informasi secara benar dan kritis.
Dalam sebuah Pelatihan Jurnalistik di Universitas Indonesia beberapa bulan yang lalu, seorang wartawan TEMPO (saya lupa namanya) menyampaikan tentang permintaan anak buah Tommy—yang menyerang kantor TEMPO—bahwa jika pihak TEMPO mau membeberkan nama narasumber TEMPO yang memberikan keterangan maka persoalan dengan TEMPO dianggap selesai. Dari itu saya menangkap bahwa TEMPO sudah bertindak secara cukup arif dengan melindungi saksi atau narasumbernya. Walaupun konsekuensinya TEMPO harus dituntut ke pengadilan.
Pernyataan itu teringat kembali ketika membaca Pleidoi Bambang Harymurti (Pemred TEMPO) seperti dimuat dalam TEMPO edisi 30 Agt-6 Sept 04. Saya melihat pemberitaan TEMPO “Ada Tomy di Tenabang” (Edisi 3-8 Maret 2003) sebagai informasi yang penting diketahui oleh publik. Walaupun dengan memuat pemberitaan seperti itu, pihak TEMPO harus berurusan dengan kelompok tertentu seperti Tommy Winata. TEMPO sudah menunaikan kewajiban/atau telah melaksanakan tanggung jawab sosial pers dengan menyiarkan pemberitaan tentang hal itu.
Dalam hal ini, TEMPO sudah berusaha menempatkan diri sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik. TEMPO memerankan diri sebagai wakil dari masyarakat untuk melakukan kontrol sosial. Karena di sinilah letak “simbiosis mutualisme” antara TEMPO sebagai media dengan publik pembacanya. Di mana media perlu membangun relasi dengan publik yang diwakilinya dengan melemparkan suatu kasus atau masalah yang berhubungan publik untuk didiskusikan secara bersama-sama. Dengan begitu, akan mudah didapat titik terang atas suatu masalah, yang sebelumnya nampak sebagai misteri bisa menjadi jelas dan terungkap.
Apalagi kasus pasar Tanah Abang. Pembakaran pasar Tanah Abang bukan hanya pembakaran terhadap pasar grosir terbesar di Asia Tenggara melainkan juga “membakar” kesempatan berusaha dan harapan hidup masyarakat kelas bawah yang mengadu nasib di sana. Sisi ini juga harus dilihat secara benar. Bahwa negeri ini bukan hanya milik mereka yang punya akses ke kekuasaan dan modal besar, melainkan juga milik mereka yang secara sosial ekonomi kurang beruntung.
Di sini, sebenarnya TEMPO sudah berdiri di belakang kaum lemah dan memperjuangkan nasib mereka. TEMPO mencoba membantu mereka untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Bahwa kasus terbakarnya pasar Tanah Abang bukan semata-mata peristiwa biasa, atau hanya sebagai musibah. Melainkan harus dilihat dari sisi yang lain sebagai permainan orang-orang “hebat” di negeri ini untuk meluaskan bisnisnya.
Berita itu sendiri merupakan hasil investigasi penulisnya yang mencoba menangkap pendapat masyarakat di sekitar tempat kejadian. Dengan model seperti ini, kebenaran atau duduk soalan suatu perkara dapat diketahui secara objektif. Dalam kehidupan seperti sekarang ini, setidaknya masyarakat perlu mendapatkan informasi lebih besar dari sebelumnya dari media. Informasi itu sendiri tidak hanya berasal dari sumber resmi. Rakyat juga harus didengar karena mereka juga punya hak mengungkap kebenaran.
Dengan begitu, setidaknya media sudah membantu pemerintah menjalankan tugasnya. Apa yang selama ini tidak mendapat perhatian dan hanya dilihat sebagai kasus biasa. Dengan adanya pemberitaan begini pemerintah bisa mencari tahu penyebabnya, setidaknya mengetahui persoalan yang dialami oleh rakyat yang menderita. Sehingga memikirkan bentuk penyelesaiannya.
Ukuran kebenaran dengan sendirinya tidak lagi ditentukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan/modal. Karena masyarakat kita bisa disebut sudah lebih cerdas dari sebelumnya. Masyarakat tidak mentah-mentah menerima pemberitaan media, melainkan juga akan mencari kebenaran di balik pemberitaan tersebut. Masyarakat kita adalah masyarakat sederhana di satu sisi dan masyarakat modern di sisi lain atau transisi menuju masyarakat modern. Dalam masyarakat sederhana—seperti definisi yang diberikan Komisi Kebenaran Pers Amerika dalam buku Media Massa dan Masyarakat Modern (terjemahan;2003)—kebenaran akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan media dengan informasi dari sumber-sumber lain. Sementara dalam masyarakat modern, isi media merupakan sumber informasi dominan, sehingga media lebih dituntut untuk menyajikan berita yang benar. Atas pertimbangan dua model masyarakat ini, TEMPO memuat berita seperti itu.
Di Indonesia sendiri, untuk sementara kita harus merumuskan ulang ukuran kebenaran pemberitaan sistem cover both side. Bagaimana operasional cover both side? Jika seorang wartawan melihat seorang polisi memukuli seorang masyarakat sampai meninggal, dan dia ada pada saat itu, apakah untuk keperluan cover both side dia harus mengkonfirmasi kepada atasan di polisi itu. Apakah lalu wartawan harus meragukan penglihatannya. Jika dia mengikuti kaidah cover both side, berita dia yang sebelum ditulis sudah benar menjadi abu-abu ketika menjadi pemberitaan.
Di sini saya tidak berada dalam posisi membela investigasi yang dilakukan oleh wartawan TEMPO seperti disampaikan dalam Pleidoi Pemred-nya, melainkan mencoba berbaik sangka pada pemberitaan TEMPO dan mencari kebenaran dari berita tersebut. Kadang-kadang kebenaran harus dicari dari sobekan-sobekan koran. Tugas media hanyalah menyampaikannya kepada publik pembacanya suatu kejadian atau peristiwa, lalu masyarakat yang menilai kebenaran berita tersebut walaupun harus berhadapan dengan orang-orang hebat itu.
Terakhir saya hanya bisa menyampaikan lewat tulisan singkat ini: Bebaskan TEMPO!! Jangan kriminalkan pers. Saatnya perkara pers harus diselesaikan dengan menggunakan UU Pers bukan KUHP. Pasal 63 ayat (2) KUHP menyatakan: “Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana khusus, maka hanya khusus itulah yang dikenakan.” Dengan begitu, UU Pers merupakan lex specialist (aturan khusus) terhadap KUHP (generalist) dan peraturan perundang-undangan yang lain. Dalam perkara TEMPO, seharusnya UU Pers yang digunakan bukan KUHP.
Tags:
Artikel