Oleh Taufik Al Mubarak*)
Rabu,20/7/05 08:30 WIB
Ada dua persepsi yang berbeda tentang keberadaan militer dan NGO asing di Aceh. Pertama, keberadaan internasional (NGO) khususnya untuk proses rekontruksi Aceh pascabencana diperlukan guna menjamin proses rekontruksi Aceh benar-benar berjalan sesuai harapan. Kedua, keberadaan NGO Internasional hanyak diperlukan untuk kelancaran penyaluran bantuan dan evakuasi korban, di mana membutuhkan banyak tenaga, dan bantuan. Dengan begitu keberadaan mereka di Aceh perly diberi tenggat waktu, dan tidak untuk waktu yang lama. Demikian sering disampaikan oleh pemerintah.
Persepsi pertama, umumnya mewakili sikap negara-negara yang selama ini sudah terlibat dalam penanganan korban bencana di Aceh. Kehadiran mereka di Aceh tidaklah didasarkan pada suatu misi tertentu seperti yang berkembang selama ini. Melainkan semata-mata untuk misi kemanusiaan.
Persepsi kedua, merupakan keinginan pemerintah dan beberapa kelompok Islam, agar keberadaan mereka tidak dikacaukan oleh misi tertentu begitu tugas kemanusiaan selesai. Untuk itu pemerintah perlu menetapkan tenggat waktu terhadap keberadaan mereka. Apalagi, wilayah Aceh bukanlah suatu zona normal di mana semua kepentingan tidak bisa dicurigai. Wilayah Aceh seperti diketahui merupakan arena abnormal dan rentan terhadap berbagai kepentingan, begitu sering disampaikan.
Apapun persepsi di atas, satu hal yang harap dicatat adalah bahwa keberadaan relawan dan NGO asing (internasional) di Aceh merupakan suatu keniscayaan, dan sudah menjadi kewajiban mereka untuk terus berada di Aceh. Apalagi masalah terjadi di Aceh bukanlah suatu bencana biasa, di mana penanganannya tidak perlu terlampau serius. Bencana di Aceh sudah masuk dalam kategori ‘dahsyat’ dan penanganannya juga harus super serius. Kejadian gempa di Aceh adalah suatu bencana nasional yang magnitude-nya luar biasa besar. Berita bencana Aceh menjadi hiasan di media-media nasional dan internasional.
Kebesaran bencana yang menimpa Aceh pada 26 Desember lalu, bukanlah sekedar besar sebagaimana dilaporkan oleh media massa. Tetapi memang benar-benar dahsyat, karena daya kehancurannya yang sangat luar biasa. Beberapa kota di Aceh seperti Banda Aceh, Meulaboh, Lhokseumawe, dan lain-lain sepanjang pesisir barat dan utara rusak berat dan rata dengan tanah.
Kehancuran yang luar biasa itu, sudah disaksikan oleh tokoh-tokoh penting internasional yang memiliki kapasitas untuk itu. Kesaksian Sekjend PBB Kofi Annan, Collin Powell, Perdana Menteri Singapura dan lain-lain merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri. Bahwa bencana yang menimpa Aceh sangat dahsyat.
Sehingga senang atau tidak, keterlibatan NGO-NGO asing (internasional) mutlak diperlukan. Keberadaan Internasional, dalam hal ini PBB berkewajiban untuk terus memonitor, membantu dan memberikan bantuan pascabencana. PBB memiliki beban moral untuk merekontruksi wilayah-wilayah yang dilanda musibah, bukan hanya Aceh melainkan juga semua wilayah lainnya di Asia yang kena musibah.
Pro-kontra Keterlibatan Asing
Meski demikian, banyak juga pihak-pihak yang tak setuju NGO asing berada di Aceh. Pandangan ini umumnya berpijak pada alasan bahwa keterlibatan NGO asing di Aceh dikhawatirkan akan mempengaruhi budaya masyarakat Aceh. Pandangan ini berasal dari kalangan kelompok Islam yang sebenarnya tidak mengakar di Aceh seperti Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Kekhawatiran mereka beralasan, karena pada dasarnya mereka tidak menyukai sesuatu yang berbau Barat. Barat dalam pandangan mereka sebagai musuh umat Islam. Mereka mencurigai keberadaan mereka di Aceh membawa misi khusus seperti kristenisasi. Isu ini yang terus dikampanyekan, agar masyarakat Aceh antipati terhadap keberadaan beberapa NGO asing yang ada di Aceh.
Tujuan kelompok ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan keinginan kalangan Militer, yang dari dulu sangat menentang keras keterlibatan mereka di sana. Berbagai data dari International Crisis Group (ICG), sebuah lembaga HAM yang berbasis di Brussels mensinyalir bahwa kelompok Islam ini memiliki hubungan yang erat dengan militer. Temuan mereka ini menyebabkan kalangan militer tak senang, dan lewat tangan BIN mengusir Sidney Jones (sekarang mantan direktur ICG).
Kalangan militer mengkhawatikan keberadaan NGO di Aceh akan membuka berbagai penyimpangan dan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI/Polri di Aceh. Karena itu mereka memiliki alasan kuat kenapa Aceh ditutup dari dunia luar.
Isu-isu kristenisasi dan intervensi atas kedaulatan negara sering digunakan oleh pihak Militer dan kelompok Islam ini sebagai alasan menentang keberadaan NGO asing di Aceh.
Padahal, keberadaan mereka selama ini sangat membantu tugas pemerintah. Apalagi gerak mereka yang sangat cepat, dalam membantu korban. Mereka membantu tanpa memandang kelompok suku, agama dan keyakinan politik korban yang dibantunya. Selain itu penerimaan masyarakat Aceh terhadap mereka juga luar bisa.
Dalam pandangan masyarakat Aceh keberadaan mereka di Aceh sangat membantuk meringankan beban mereka. Bantuan-bantuan yang diberikan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, mereka sangat ramah, dan akrab dengan korban.
Antusiasme masyarakat Aceh menerima mereka, tak terlepas dari kenyataan bahwa dari dulu masyarakat Aceh mendambakan kehadiran mereka di Aceh. Malah dalam berbagai aksi, rakyat Aceh meminta kehadiran NGO/LSM internasional di Aceh untuk memantau dan melaporkan berbagai pelanggaran HAM di Aceh kepada masyarakat dunia.
Selain itu, bagi masyarakat Aceh, yang disebut “asing” sebenarnya bukan masyarakat internasional yang bernaung dalam berbagai NGO-NGO, melainkan yang disebut “asing” sebenarnya adalah masyarakat Indonesia. Andreas Harsono, Direktur PANTAU misalnya menulis bahwa yang disebut orang "asing" sebenarnya bukanlah orang "asing" dalam pengertian kita (yaitu bule-bule itu), melainkan yang disebut asing adalah Indonesia.
Karena itu suara-suara sumbang yang meminta agar internasional dan militer asing keluar dari Aceh sangat tidak masuk akal. Jelas sekali menunjukkan bangsa ini tidak tahu berterima kasih kepada pihak yang telah membantu rakyatnya.*)Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Conflict and Resolution Studies (CCRS)
sumber www.modus.or.id
Rabu,20/7/05 08:30 WIB
Ada dua persepsi yang berbeda tentang keberadaan militer dan NGO asing di Aceh. Pertama, keberadaan internasional (NGO) khususnya untuk proses rekontruksi Aceh pascabencana diperlukan guna menjamin proses rekontruksi Aceh benar-benar berjalan sesuai harapan. Kedua, keberadaan NGO Internasional hanyak diperlukan untuk kelancaran penyaluran bantuan dan evakuasi korban, di mana membutuhkan banyak tenaga, dan bantuan. Dengan begitu keberadaan mereka di Aceh perly diberi tenggat waktu, dan tidak untuk waktu yang lama. Demikian sering disampaikan oleh pemerintah.
Persepsi pertama, umumnya mewakili sikap negara-negara yang selama ini sudah terlibat dalam penanganan korban bencana di Aceh. Kehadiran mereka di Aceh tidaklah didasarkan pada suatu misi tertentu seperti yang berkembang selama ini. Melainkan semata-mata untuk misi kemanusiaan.
Persepsi kedua, merupakan keinginan pemerintah dan beberapa kelompok Islam, agar keberadaan mereka tidak dikacaukan oleh misi tertentu begitu tugas kemanusiaan selesai. Untuk itu pemerintah perlu menetapkan tenggat waktu terhadap keberadaan mereka. Apalagi, wilayah Aceh bukanlah suatu zona normal di mana semua kepentingan tidak bisa dicurigai. Wilayah Aceh seperti diketahui merupakan arena abnormal dan rentan terhadap berbagai kepentingan, begitu sering disampaikan.
Apapun persepsi di atas, satu hal yang harap dicatat adalah bahwa keberadaan relawan dan NGO asing (internasional) di Aceh merupakan suatu keniscayaan, dan sudah menjadi kewajiban mereka untuk terus berada di Aceh. Apalagi masalah terjadi di Aceh bukanlah suatu bencana biasa, di mana penanganannya tidak perlu terlampau serius. Bencana di Aceh sudah masuk dalam kategori ‘dahsyat’ dan penanganannya juga harus super serius. Kejadian gempa di Aceh adalah suatu bencana nasional yang magnitude-nya luar biasa besar. Berita bencana Aceh menjadi hiasan di media-media nasional dan internasional.
Kebesaran bencana yang menimpa Aceh pada 26 Desember lalu, bukanlah sekedar besar sebagaimana dilaporkan oleh media massa. Tetapi memang benar-benar dahsyat, karena daya kehancurannya yang sangat luar biasa. Beberapa kota di Aceh seperti Banda Aceh, Meulaboh, Lhokseumawe, dan lain-lain sepanjang pesisir barat dan utara rusak berat dan rata dengan tanah.
Kehancuran yang luar biasa itu, sudah disaksikan oleh tokoh-tokoh penting internasional yang memiliki kapasitas untuk itu. Kesaksian Sekjend PBB Kofi Annan, Collin Powell, Perdana Menteri Singapura dan lain-lain merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri. Bahwa bencana yang menimpa Aceh sangat dahsyat.
Sehingga senang atau tidak, keterlibatan NGO-NGO asing (internasional) mutlak diperlukan. Keberadaan Internasional, dalam hal ini PBB berkewajiban untuk terus memonitor, membantu dan memberikan bantuan pascabencana. PBB memiliki beban moral untuk merekontruksi wilayah-wilayah yang dilanda musibah, bukan hanya Aceh melainkan juga semua wilayah lainnya di Asia yang kena musibah.
Pro-kontra Keterlibatan Asing
Meski demikian, banyak juga pihak-pihak yang tak setuju NGO asing berada di Aceh. Pandangan ini umumnya berpijak pada alasan bahwa keterlibatan NGO asing di Aceh dikhawatirkan akan mempengaruhi budaya masyarakat Aceh. Pandangan ini berasal dari kalangan kelompok Islam yang sebenarnya tidak mengakar di Aceh seperti Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Kekhawatiran mereka beralasan, karena pada dasarnya mereka tidak menyukai sesuatu yang berbau Barat. Barat dalam pandangan mereka sebagai musuh umat Islam. Mereka mencurigai keberadaan mereka di Aceh membawa misi khusus seperti kristenisasi. Isu ini yang terus dikampanyekan, agar masyarakat Aceh antipati terhadap keberadaan beberapa NGO asing yang ada di Aceh.
Tujuan kelompok ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan keinginan kalangan Militer, yang dari dulu sangat menentang keras keterlibatan mereka di sana. Berbagai data dari International Crisis Group (ICG), sebuah lembaga HAM yang berbasis di Brussels mensinyalir bahwa kelompok Islam ini memiliki hubungan yang erat dengan militer. Temuan mereka ini menyebabkan kalangan militer tak senang, dan lewat tangan BIN mengusir Sidney Jones (sekarang mantan direktur ICG).
Kalangan militer mengkhawatikan keberadaan NGO di Aceh akan membuka berbagai penyimpangan dan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI/Polri di Aceh. Karena itu mereka memiliki alasan kuat kenapa Aceh ditutup dari dunia luar.
Isu-isu kristenisasi dan intervensi atas kedaulatan negara sering digunakan oleh pihak Militer dan kelompok Islam ini sebagai alasan menentang keberadaan NGO asing di Aceh.
Padahal, keberadaan mereka selama ini sangat membantu tugas pemerintah. Apalagi gerak mereka yang sangat cepat, dalam membantu korban. Mereka membantu tanpa memandang kelompok suku, agama dan keyakinan politik korban yang dibantunya. Selain itu penerimaan masyarakat Aceh terhadap mereka juga luar bisa.
Dalam pandangan masyarakat Aceh keberadaan mereka di Aceh sangat membantuk meringankan beban mereka. Bantuan-bantuan yang diberikan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, mereka sangat ramah, dan akrab dengan korban.
Antusiasme masyarakat Aceh menerima mereka, tak terlepas dari kenyataan bahwa dari dulu masyarakat Aceh mendambakan kehadiran mereka di Aceh. Malah dalam berbagai aksi, rakyat Aceh meminta kehadiran NGO/LSM internasional di Aceh untuk memantau dan melaporkan berbagai pelanggaran HAM di Aceh kepada masyarakat dunia.
Selain itu, bagi masyarakat Aceh, yang disebut “asing” sebenarnya bukan masyarakat internasional yang bernaung dalam berbagai NGO-NGO, melainkan yang disebut “asing” sebenarnya adalah masyarakat Indonesia. Andreas Harsono, Direktur PANTAU misalnya menulis bahwa yang disebut orang "asing" sebenarnya bukanlah orang "asing" dalam pengertian kita (yaitu bule-bule itu), melainkan yang disebut asing adalah Indonesia.
Karena itu suara-suara sumbang yang meminta agar internasional dan militer asing keluar dari Aceh sangat tidak masuk akal. Jelas sekali menunjukkan bangsa ini tidak tahu berterima kasih kepada pihak yang telah membantu rakyatnya.*)Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Conflict and Resolution Studies (CCRS)
sumber www.modus.or.id
Tags:
Artikel