Ekonomi Aceh Pascatsunami

Taufik Al Mubarak

Gempa dan tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember tahun lalu menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir Aceh. Musibah itu tak hanya merenggut ratusan ribu korban jiwa masyarakat Aceh melainkan juga menghancurkan sebagian besar insfrastruktur, permukiman, sarana sosial seperti gedung sekolah, ekonomi dan lain-lain. Bencana itu juga mempengaruhi kondisi sosial politik masyarakat Aceh, termasuk dampak psikologisnya.

Tulisan ini akan menyoroti beberapa kerusakan dan imbas tsunami pada sektor ekonomi. Juga akan disorot peluang-peluang untuk memajukan sektor yang rusak itu dengan melihat modal dan potensi yang sangat besar itu.

Imbas Terhadap Sektor Ekonomi
Seperti telah kita ketahui bersama, sektor ekonomi termasuk sektor yang paling parah dihantam oleh tsunami. Imbas kerusakan itu terlihat pada bidang perindustrian dan perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah, pertanian dan kehutanan, perikanan dan kelautan serta ketenagakerjaan. Perekonomian masyarakat lumpuh total dan butuh beberapa tahun untuk memulihkannya dan menjadikannya seperti semula.

Tingkat terparah terjadi pada industri kecil menengah, di mana tingkat kerusakannya mencapai 65%, hal ini dimaklumi karena sektor inilah yang menjadi garapan sebagian besar masyarakat. Sementara pada industri besar, tingkat kerusakannya sekitar 60%. Seperti PT Semen Andalas Indonesia, misalnya, perusahaan yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh itu mengalami rusak parah, begitu juga dengan PT. Pupuk Iskandar Muda dan PT. ASEAN Aceh Fertilizer. Tetapi tingkat kerusakan pada dua PT itu tidak sebegitu parah dibandingkan dengan PT. Semen Andalas. Namun bisa ditaksir tingkat kerusakan aset industri manufaktur pada skala menengah mencapai Rp. 84 miliar.

Kerusakan terparah juga terjadi pada sektor perdagangan. Data yang tercatat pada buku utama Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) menyebutkan, bahwa fasilitas perdagangan di Aceh yang diperkirakan mengalami kerusakan meliputi 65 kelompok pertokoan, 54 pasar permanen, 69 pasar non permanen, 69 Supermarket, 1 pasar hewan, 19 pasar ikan, 25 bank umum, dan 4 Bank Perkreditan Rakyat. Kerusakan juga menimpa 59 hotel dan tempat penginapan serta usaha kecil yang bergerak di bidang perkayuan, kulit, besi, keramik, pakaian dan pengolahan makanan.

Sementara dalam bidang pertanian dan kehutanan yang menjadi areal tanaman pangan dan holtikultura yang diusahakan oleh rakyat juga mengalami kerusakan. Ada 23.330 ha sawah dan 22.785 ha lahan tegalan yang rusak.

Kerusakan juga terjadi pada tanaman perkebunan rakyat seluas 43.500 ha. seperti kelapa 23.533 ha, karet 5.395 ha, kopi 6.242, mete 6.931 ha, kelapa sawit 1.600 ha, pinang 2.761 ha, kakao 2.768 ha, nilam 710 ha, cengkeh 4.600 ha, pala 1.808 ha, dan jahe 218 ha.

Data yang dikeluarkan oleh Unsyiah for Aceh Recontruction (7 Maret 2005) memperlihatkan bahwa sektor perikanan yang menjadi mata pencaharian masyarakat pesisir Aceh juga ikut terimbas. Data itu menyebutkan terdapat 19 unit (sekitar 0,37 %) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang rusak.

Hal yang sama juga terlihat pada Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Di mana dari jumlah 72 buah pangkalah pendaratan ikan (PPI) yang tersebar di 8 kabupaten, sekitar 32 terkena dampak tsunami, yaitu 5 di kabupaten Aceh, 6 di kabupaten Pidie, 10 di kabupaten Aceh utara, dan 8 di kabupaten Aceh Barat.

Tambak yang menjadi tempat budi daya udang windu dan ikan milik masyarakat juga mengalami kerusakan parah. Hal itu karena areal itu sangat dekat dengan laut yang menjadi tempat terparah dihantam tsunami. Budi daya tambak itu tersebar di 11 kabupaten/kota pantai yang umumnya terkena dampak langsung dari bencana gempa bumi dan tsunami, dengan luas total sebelum terkena bencana sebesar 36,614 ha. (data World Bank)

Upaya Pemulihan Ekonomi
Pasca musibah dahsyat itu, mata dunia terbelalak melihat Aceh. Simpati pun mengalir deras yang diikuti dengan pemberian bantuan kepada masyarakat yang terimbas langsung tsunami. Modal dalam bentuk bantuan segera mengalir ke Aceh dan dalam jumlah yang sangat besar. Modal itu bisa membangun kembali Aceh yang porak-poranda jika dikelola dengan baik.

Khusus untuk sektor ekonomi yang meliputi beberapa bidang seperti telah dipaparkan di atas, perlu segera diberdayakan dan diberikan bantuan agar masyarakat bisa kembali bekerja dan membangun sektor ekonomi yang telah rusak itu. Langkah pertama tentunya adalah menyediakan rumah tempat mereka hidup/tinggal, dan mengembalikan mereka ke tempatnya semula. Agaknya langkah ini sedikit lamban ditangani sehingga banyak warga masyarakat masih tinggal dan terdampar di kamp-kamp pengungsian dan barak-barak yang sepertinya mematikan kreativitas mereka.

Upaya pemulihan sektor ekonomi ini harus sejalan dengan semangat Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 15 Agustus lalu. Di mana dalam MoU tersebut, sektor ekonomi termasuk poin yang paling substansial dan penting untuk difikirkan. Hal ini akan membantu memulihkan ekonomi masyarakat Aceh.

Apalagi dalam MoU sudah ditegaskan, bahwa Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh; Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh; Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh; Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya; dan Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara. (lihat klausul ekonomi MoU)

Peluang dan akses yang terbuka seperti termuat dalam MoU jika benar-benar terlaksana akan menjadi modal Aceh membangun sektor ekonominya, sehingga masyarakat Aceh menikmati manfaat darinya. Belum lagi hal ini didukung oleh sistem perdagangan Aceh yang hebat dan bisa membuka akses ke semua negara. Impian masa depan Aceh yang gemilang seperti pernah menjadi pusat perdagangan dunia pada masa lalu-nya akan menjadi kenyataan.

Seperti dimuat dalam banyak buku sejarah, bahwa di Aceh dulunya sangat dikenal dengan tanaman lada sebagai komoditi yang diperebutkan di Eropa. Di setiap wilayah Aceh, masyarakatnya diminta untuk menanam lada, cengkeh dan pala. Komoditi-komoditi inilah menjadi andalan kerajaan Aceh, dan akhirnya melirik Aceh untuk memonopoli perdagangan lada. Malah karena persaingan pasaran lada itu, orang Belanda rela berperang dengan orang portugis yang sudah duluan membuka akses perdagangan dengan Aceh. (baca H.M Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, 1961)

Aceh membangun kontak dengan beberapa Negara luar seperti dengan Kerajaan Turki, Amerika, Singapura, Belanda dan Inggris. Aceh menjadi pusat perdagangan yang tumbuh pesat. Hasil alam Aceh menjadi komoditi ekport, dan menjadi rebutan Negara Eropa. Sector perdagangan ini yang perlu dihidupkan sekarang, sehingga Aceh bisa kembali menjadi pusat perdagangann dunia.

Karenanya sekarang, pihak negara donor jangan hanya sekedar memberikan bantuan tetapi bagaimana dengan bantuan itu mampu membantu masyarakat Aceh menghidupkan kembali sektor-sektor ekonomi yang hancur seperti dipaparkan di atas.

Selain itu, pelabuhan bebas Sabang harus dihidupkan. Tak hanya itu beberapa pelabuhan lainnya seperti Kuala Langsa, Idi, dan di Meulaboh harus dibuat dan dihidupkan sehingga berbagai komoditi Aceh bisa diekport ke luar negeri, tanpa perlu melalui Medan. Dengan begitu, harga-harga komoditi Aceh menjadi mahal dan akses masyarakat terhadap barang-barang dari negara lain lebih mudah dengan harga yang terjangkau.

Hal ini bukan impian belaka, karena para pengusaha Aceh yang ada di luar sudah memikirkannya. Malah untuk kepentingan itu, mereka sudah membuat sebuah pusat perdangan Aceh yang diberinama Aceh World Trade Center (A.W.T.C) sebagai pintu dan pusat perdagangan.

Lewat A.W.T.C, masyarakat Aceh bisa meng-ekport hasil alamnya ke luar dengan harga yang mahal. Dengan begitu, sektor-sektor ekonomi seperti bidang pertanian, kelautan, kehutanan akan berkembang pesat. Pada saat itulah kita bisa menggapai kemajuan Aceh.

penulis adalah seorang warga Aceh

*tulisan ini sudah dimuat di majalah Nanggroe edisi November 2005

Post a Comment

Previous Post Next Post