Aceh kini bukan hanya sebuah daerah yang dirajang perang, tapi juga sejumlah pertanyaan! Begitu menurut Goenawan Mohammad, sebagaimana ditulisnya dalam catatan pinggir (Tempo, 27 Juli 2003). Sejumlah misteri di Aceh belum terungkap. Konflik masih melebar dan sehingga sulit diselesaikan. Kesulitan itu diperparah lagi ketika pemerintah RI secara sepihak memberlakukan Darurat Militer di Aceh. Sehingga peluang perdamaian tertutup, rasa kemanusiaan tergadai dan manusia saling membunuh.
Ya…itulah pentas drama tragika yang sedang berlaku di Aceh. Atas sesuatu yang abstrak manusia saling membunuh dan menghilangkan nyawa. Padahal kita telah sama maklum, hidup adalah hak asasi manusia yang utama. Serangkaian drama tragika itu, meski memiriskan hati, namun harus “diterima” dan dijalani karena itu keputusan yang dipaksakan pemerintah Indonesia. Setuju atau tidak setuju, keputusan itu tetap berlaku.
Kita pun teringat ucapan Nietzsche, “kekuatan adalah sejati, dan kebenaran adalah milik mereka yang punya kekuatan.” Mereka yang punya kuasa berhak mendefinisikan kebenaran. Dan itulah yang sedang dipentaskan di Aceh. Membaca koran bukan membuat kita menjadi sekedar tahu dan lalu ragu, tapi benar-benar membutakan. Kita ragu ketika membaca koran karena ketakbenaran yang ditulisnya (kebanyakan mengutip sumber militer). Kita menjadi bingung, dan harus membaca koran dengan logika terbalik: Bacalah apa yang tidak ditulis oleh koran!
Logika itu menjadi obat mujarab ketika bergulat mencari setitik kebenaran di Aceh. Sebuah fakta menjadi kabur ketika menjadi berita. Kita pun tidak mendapatkan sesuatu tentang kebenaran sebuah peristiwa dari koran. Koran hanya mengulang apa yang sering diulang-ulang pengucapannya oleh militer. Militer mendominasi berita, karena itu berita menjadi dusta dan kita tidak bisa mempercayai media. Tapi itu hanya kesimpulan kita yang tidak dapat menerimanya. Lantas, seharusnya kita tidak membacanya.
Itu jalan satu-satunya ketika tidak lagi mempercayai berita yang di tulis oleh media. Diam adalah jalan terbaik. Namun, itu tidak lazim dan etis. Diam berarti membiarkan ketakbenaran menjadi kebenaran dan membiarkan fakta diputarbalikan menjadi dusta. Diam jelas bukan solusi.
Dan kita perlu mencari alternatif lain, untuk protes ketika ruang protes benar-benar di tutup. Alternatif lain ini lalu dimanfaatkan secara bagus oleh Tri Agus lewat buku humornya GAM (Geer Aceh Merdeka) terbitan Garba Budaya. Buku ini bukan sekedar kumpulan 200 humor yang membuat kita tertawa, tetapi terkandung kebenaran atau realitas yang tidak dapat diungkapkan media.
Bedanya, realitas di sini diramu dengan bahan lelucon sehingga terkesan tidak serius (kurang keseriusan). Memang untuk Aceh tidak perlu sebuah keseriusan, apalagi ketika berhadapan dengan keseriusan pemerintah RI. Pemerintah RI benar-benar serius kali ini. Uniknya, seperti diakui oleh Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers (sekarang mantan), salah satu penyebab terkendalanya penyelesaian konflik bersenjata di Aceh karena cenderung menggunakan pendekatan yang keras dan penuh ketegangan (baca; terlalu serius) (hal.17).
Pendekatan ketegangan yang bisa disebutkan adalah lewat jalur kekerasan dan sekarang darurat militer. Menurutnya, kita cenderung mengabaikan pendekatan yang lebih lembut—katakanlah memberikan kesejahteraan dan tidak menyakiti rakyat sipil yang tidak ikut GAM. Nah…..mungkin jika didekati secara lembut, mereka akan sadar. Seperti diakui sendiri oleh editor buku ini, bahwa humor tidak mungkin menghentikan perang, tetapi menurutnya lewat humor kita mengetahui apa keinginan rakyat Aceh yang sebenarnya. Umumnya rakyat Aceh kalau ditanya selalu menjawab “Kamoe ka hek udeep lam konflik” (Kami sudah lelah hidup dalam konflik).
Hal ini tercermin lewat humor yang ada dalam buku ini. Dan pemerintah hendaknya mendengar “suara” jujur ini. Bahwa rakyat Aceh sebenarnya sedang memprotes pemerintah mengapa selalu mengandalkan pendekatan refresif (militer), bukankah masih banyak cara lain yang lebih santun. Perlu, protes dilakukan dengan sikap santai dan mudah. Disamping untuk melatih otak melupakan sejenak persoalan yang melilitnya juga untuk menekan emosi jika mungkin muncul. Sementara pihak-pihak yang memang elergi dengan “versi lain” tidak kebakaran jenggot ketika membacanya.
Artinya kita menggelitik dan mengkritik dengan sangat bijak dan kental warna humornya. Mengkritik tidak perlu membangun front konfrontasi. Sama seperti membunuh tidak berarti sedang mencabut nyawa.Membuat orang tertawa sama perlunya dengan mengungkap berita yang benar. Ditengah kondisi Aceh yang tidak stabil, tertawa jadi medium yang baik. Setidaknya kita dapat melupakan sejenak kepedihan hidup yang terjadi.
Namun tertawa yang diingini buku ini bukan sekedar tertawa tanpa makna. Kita tertawa karena realitas yang tidak bisa diungkapkan dan dikaburkan. Karena itu kita pantas tertawa. Apalagi fakta yang disuguhkan kepada kita tidak mencerminkan realita. Kita tertawa karena ketidakmampuan kita mengungkap fakta secara gamblang juga kebohongan yang dibuat “mereka.”Penemuan kuburan massal yang diklaim dilakukan oleh GAM yang digali oleh masyarakat bersama TNI membuat pihak Komnas HAM harus turun tangan.
Kisah ini cukup menarik, karena menyangkut nama baik dan pembentukan opini publik tentang siapa yang melakukan pelanggaran HAM berat. Namun, masyarakat punya kiat tersendiri menguji siapa yang jujur dalam hal ini apakah TNI ataukah ada pihak lain yang tidak diberi akses untuk membela diri. Seperti di gambarkan dalam buku ini, masyarakat di kabupaten Pidie yang sudah tahu kuburan massal masa DOM menguji kejujuran TNI dengan melaporkan bahwa mereka menemukan kuburan massal tetapi tidak berani menggalinya. TNI segera menggali dan dalam konferensi pers mengungkapkan mereka berhasil menemukan kuburan massal korban GAM (hal. 119-120)
Buku ini terdiri dari beberapa bab. Yang semuanya memiliki sebuah keterikatan visi dan penyadaran bagi pembaca. Aceh itu perkara yang tidak mesti harus ditangani serius. Bab pertama, Acehdot (kisah polem dan maneh). Dalam bab ini berisi cerita menggelitik tentang Aceh. umumnya tentang kepolosan rakyat dalam merespon sebuah persoalan dengan sepele. Bab kedua, Aceh tapi Nyata (embedded journalist embel gedes).
Di sini berisi kisah-kisah reportase jurnalis yang menggelitik dan kadangkala berkisah tentang kedunguan wartawan “alumni” Sanggabuana. Aceh tapi nyata—plesetan dari aneh tapi nyata. Membaca itu juga sudah kelihatan nilai humornya. Pesan yang ingin disampaikan dari kalimat ini adalah, apa yang diungkapkan dari buku ini—tentang tragedy Aceh—walau disuguhkan dengan format humor tetap menawarkan sebuah realitas.
Aceh tapi nyata hendak mengungkapkan bahwa opini yang dib entuk oleh media selama ini ada ketidakbenarannya. Namun, apa yang ditulis dalam buku ini—walau lewat anekdot—punya nilai-nilai kebenaran. Dan bab ketiga, serambi mekkah (bercanda dalam duka). Bab ini berisi tentang kisah miris rakyat Aceh selama digelarnya operasi militer oleh pemerintah. Ternyata, ditengah kegetiran hidup yang melanda seluruh rakyat Aceh, mereka masih mampu tersenyum dan tertawa. Serta masih bisa membuat orang lain tertawa. Baca saja kisah orang Aceh menipu nyamuk. Bagaimana nyamuk yang ganas bisa menjadi takluk lewat tipuan gaya Aceh (hal. 122-123)
Membaca Filosofi Rakyat Aceh
Salah satu keunikan dari Aceh, budaya resistensi. Aceh akan melawan sepanjang itu untuk mempertahankan harga diri. Aceh akan melawan jika dikhianati dan didhalimi. Apa relevansi dengan ulasan kita adalah bahwa rakyat Aceh akan terus melawan walau dibungkam bagaimanapun. Dan buku ini adalah satunya manisfestasi dari filosofi hidup rakyat Aceh. Aceh tetap melawan lewat buku yang tidak terlalu besar ini. Lewat humorpun mereka akan melawan.
Disini, mungkin untuk alasan inilah buku ini diterbitkan. Seperti diakui sendiri oleh editor buku ini, penerbitan buku kocak ini dimaksudkan sebagai media “perlawanan.” Menurutnya, penerbitan buku ini sangat penting karena sudah tak ada—atau setidaknya sedikit sekali—cara yang paling jitu untuk menghentikan kekerasan di serambi mekkah.
Walaupun berbentuk buku humor, buku ini punya pesan penting. yaitu, humor atau cerita lucu dari suatu bangsa—apalagi yang sedang ditindas—merupakan cerminan pendapat umum bangsa itu, sekaligus sebagai penanda mengenai suatu peristiwa penting.Bagi yang bosan dengan berita-berita kekerasan di Aceh atau perlu kejelasan dari suatu peristiwa, buku ini sedikit membantu. Ternyata Aceh tidak seperti yang digembar-gemborkan oleh media—seram, mencekam dan kacau.
Buku ini menyodorkan sisi-sisi lain dari perjalanan perang Aceh. Penuh heroic, kocak dan keluguan yang dimiliki oleh orang Aceh. Disamping menyodorkan sejumlah fakta yang disertai dengan humor segar. Pembaca akan mampu menangkap pesannya begitu membaca buku ini. Apalagi jika sering menyimak berita-berita tentang Aceh di media massa.Ada sebuah humor yang sedikit mengganggu, sehingga seolah-olah orang Aceh harus selalu diwaspadai. “Jika ada satu orang Aceh, boleh jadi dia menjadi ‘Aceh Pungo’ (gila-red). Jika dua orang Aceh bertemu, mungkin mereka membentuk ‘Aceh kongsi’ untuk berdagang. Jika tiga orang Aceh berkumpul, mereka berkeinginan membentuk ‘Aceh sepakat’. Nah jika ada empat orang Aceh atau lebih berdiskusi, perlu dicurigai mereka akan mendirikan negara baru.”
Stereotype (Penggambaran) seperti ini sangat merugikan Aceh seakan-akan prototype Aceh adalah separatis. Implikasinya orang akan mencurigai setiap perkumpulan yang ada orang Aceh.Terlepas dari itu, buku ini bagus dibaca oleh mereka yang selama ini begitu peduli dengan konflik Aceh. Sering timbul rasa bosan, putus asa, tegang dan lupa tertawa. Lewat buku ini mungkin bisa menjadi penawar dan obat untuk menumbuhkan kembali semangat yang meredup seiring dengan sikap keras pemerintah. Atau setidaknya kita perlu menertawakan diri sendiri karena kita masih waras seperti diinginkan editor buku ini. Aceh tapi nyata!!! Seperti disinggung di awal buku ini (pengantar dari penerbit). Hanya ada dua jenis orang yang tak bisa ketawa, yaitu kalau tidak “sedang sakit” ya “pasti sedang punya niat jahat”.
Tetapi, merujuk pada buku ini, orang Aceh masih mampu terlihat tertawa. Orang Aceh masih mampu bergembira-membuat orang lain tertawa lewat protes mereka yang berbentuk humor. Sebenarnya, ketertawaan mereka punya banyak makna. Mereka ingin mengungkap fakta yang sebenarnya tetapi tidak dapat dilakukan. Mereka terkekang. Jalan satu-satunya ya lewat humor.
Di samping membuat orang dapat tertawa juga mereka telah mengungkap sebuah kebenaran. Bagi orang Aceh itu juga bagian dari protes dan perlawanan. Kembali kita teringat ungkapan Mas Gonawan, Aceh memang sejumlah pertanyaan…pertanyaan tentang apa sebuah “indonesia”---ya apa sebenarnya “indonesia” yang hendak dipertahankan!
Ya…itulah pentas drama tragika yang sedang berlaku di Aceh. Atas sesuatu yang abstrak manusia saling membunuh dan menghilangkan nyawa. Padahal kita telah sama maklum, hidup adalah hak asasi manusia yang utama. Serangkaian drama tragika itu, meski memiriskan hati, namun harus “diterima” dan dijalani karena itu keputusan yang dipaksakan pemerintah Indonesia. Setuju atau tidak setuju, keputusan itu tetap berlaku.
Judul : GAM; Geer Aceh MerdekaNamun, di balik semua itu, ada rintihan miris warga kampung yang tak sempat terekspose. Ada tangisan rakyat yang tak mendapat tempat dalam berita. Peluang mereka untuk mengekpresikan diri menjadi tercabut. Tak ada celah bicara. Ketakutan di sebar di mana-mana. Kesalahan--difatwakan sebagai kebenaran. Sementara pejuang kebenaran dituduh sebagai pengkhianatan. Lalu, kebenaran hanya menjadi klaim sementara pihak.
Aceh Tapi Nyata
Editor : Tri Agus S. Siswowiharjo
Penerbit : Garba Budaya dan Friends of Aceh, Jakarta Oktober 2003
Tebal : x+128 halaman
Kita pun teringat ucapan Nietzsche, “kekuatan adalah sejati, dan kebenaran adalah milik mereka yang punya kekuatan.” Mereka yang punya kuasa berhak mendefinisikan kebenaran. Dan itulah yang sedang dipentaskan di Aceh. Membaca koran bukan membuat kita menjadi sekedar tahu dan lalu ragu, tapi benar-benar membutakan. Kita ragu ketika membaca koran karena ketakbenaran yang ditulisnya (kebanyakan mengutip sumber militer). Kita menjadi bingung, dan harus membaca koran dengan logika terbalik: Bacalah apa yang tidak ditulis oleh koran!
Logika itu menjadi obat mujarab ketika bergulat mencari setitik kebenaran di Aceh. Sebuah fakta menjadi kabur ketika menjadi berita. Kita pun tidak mendapatkan sesuatu tentang kebenaran sebuah peristiwa dari koran. Koran hanya mengulang apa yang sering diulang-ulang pengucapannya oleh militer. Militer mendominasi berita, karena itu berita menjadi dusta dan kita tidak bisa mempercayai media. Tapi itu hanya kesimpulan kita yang tidak dapat menerimanya. Lantas, seharusnya kita tidak membacanya.
Itu jalan satu-satunya ketika tidak lagi mempercayai berita yang di tulis oleh media. Diam adalah jalan terbaik. Namun, itu tidak lazim dan etis. Diam berarti membiarkan ketakbenaran menjadi kebenaran dan membiarkan fakta diputarbalikan menjadi dusta. Diam jelas bukan solusi.
Dan kita perlu mencari alternatif lain, untuk protes ketika ruang protes benar-benar di tutup. Alternatif lain ini lalu dimanfaatkan secara bagus oleh Tri Agus lewat buku humornya GAM (Geer Aceh Merdeka) terbitan Garba Budaya. Buku ini bukan sekedar kumpulan 200 humor yang membuat kita tertawa, tetapi terkandung kebenaran atau realitas yang tidak dapat diungkapkan media.
Bedanya, realitas di sini diramu dengan bahan lelucon sehingga terkesan tidak serius (kurang keseriusan). Memang untuk Aceh tidak perlu sebuah keseriusan, apalagi ketika berhadapan dengan keseriusan pemerintah RI. Pemerintah RI benar-benar serius kali ini. Uniknya, seperti diakui oleh Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers (sekarang mantan), salah satu penyebab terkendalanya penyelesaian konflik bersenjata di Aceh karena cenderung menggunakan pendekatan yang keras dan penuh ketegangan (baca; terlalu serius) (hal.17).
Pendekatan ketegangan yang bisa disebutkan adalah lewat jalur kekerasan dan sekarang darurat militer. Menurutnya, kita cenderung mengabaikan pendekatan yang lebih lembut—katakanlah memberikan kesejahteraan dan tidak menyakiti rakyat sipil yang tidak ikut GAM. Nah…..mungkin jika didekati secara lembut, mereka akan sadar. Seperti diakui sendiri oleh editor buku ini, bahwa humor tidak mungkin menghentikan perang, tetapi menurutnya lewat humor kita mengetahui apa keinginan rakyat Aceh yang sebenarnya. Umumnya rakyat Aceh kalau ditanya selalu menjawab “Kamoe ka hek udeep lam konflik” (Kami sudah lelah hidup dalam konflik).
Hal ini tercermin lewat humor yang ada dalam buku ini. Dan pemerintah hendaknya mendengar “suara” jujur ini. Bahwa rakyat Aceh sebenarnya sedang memprotes pemerintah mengapa selalu mengandalkan pendekatan refresif (militer), bukankah masih banyak cara lain yang lebih santun. Perlu, protes dilakukan dengan sikap santai dan mudah. Disamping untuk melatih otak melupakan sejenak persoalan yang melilitnya juga untuk menekan emosi jika mungkin muncul. Sementara pihak-pihak yang memang elergi dengan “versi lain” tidak kebakaran jenggot ketika membacanya.
Artinya kita menggelitik dan mengkritik dengan sangat bijak dan kental warna humornya. Mengkritik tidak perlu membangun front konfrontasi. Sama seperti membunuh tidak berarti sedang mencabut nyawa.Membuat orang tertawa sama perlunya dengan mengungkap berita yang benar. Ditengah kondisi Aceh yang tidak stabil, tertawa jadi medium yang baik. Setidaknya kita dapat melupakan sejenak kepedihan hidup yang terjadi.
Namun tertawa yang diingini buku ini bukan sekedar tertawa tanpa makna. Kita tertawa karena realitas yang tidak bisa diungkapkan dan dikaburkan. Karena itu kita pantas tertawa. Apalagi fakta yang disuguhkan kepada kita tidak mencerminkan realita. Kita tertawa karena ketidakmampuan kita mengungkap fakta secara gamblang juga kebohongan yang dibuat “mereka.”Penemuan kuburan massal yang diklaim dilakukan oleh GAM yang digali oleh masyarakat bersama TNI membuat pihak Komnas HAM harus turun tangan.
Kisah ini cukup menarik, karena menyangkut nama baik dan pembentukan opini publik tentang siapa yang melakukan pelanggaran HAM berat. Namun, masyarakat punya kiat tersendiri menguji siapa yang jujur dalam hal ini apakah TNI ataukah ada pihak lain yang tidak diberi akses untuk membela diri. Seperti di gambarkan dalam buku ini, masyarakat di kabupaten Pidie yang sudah tahu kuburan massal masa DOM menguji kejujuran TNI dengan melaporkan bahwa mereka menemukan kuburan massal tetapi tidak berani menggalinya. TNI segera menggali dan dalam konferensi pers mengungkapkan mereka berhasil menemukan kuburan massal korban GAM (hal. 119-120)
Buku ini terdiri dari beberapa bab. Yang semuanya memiliki sebuah keterikatan visi dan penyadaran bagi pembaca. Aceh itu perkara yang tidak mesti harus ditangani serius. Bab pertama, Acehdot (kisah polem dan maneh). Dalam bab ini berisi cerita menggelitik tentang Aceh. umumnya tentang kepolosan rakyat dalam merespon sebuah persoalan dengan sepele. Bab kedua, Aceh tapi Nyata (embedded journalist embel gedes).
Di sini berisi kisah-kisah reportase jurnalis yang menggelitik dan kadangkala berkisah tentang kedunguan wartawan “alumni” Sanggabuana. Aceh tapi nyata—plesetan dari aneh tapi nyata. Membaca itu juga sudah kelihatan nilai humornya. Pesan yang ingin disampaikan dari kalimat ini adalah, apa yang diungkapkan dari buku ini—tentang tragedy Aceh—walau disuguhkan dengan format humor tetap menawarkan sebuah realitas.
Aceh tapi nyata hendak mengungkapkan bahwa opini yang dib entuk oleh media selama ini ada ketidakbenarannya. Namun, apa yang ditulis dalam buku ini—walau lewat anekdot—punya nilai-nilai kebenaran. Dan bab ketiga, serambi mekkah (bercanda dalam duka). Bab ini berisi tentang kisah miris rakyat Aceh selama digelarnya operasi militer oleh pemerintah. Ternyata, ditengah kegetiran hidup yang melanda seluruh rakyat Aceh, mereka masih mampu tersenyum dan tertawa. Serta masih bisa membuat orang lain tertawa. Baca saja kisah orang Aceh menipu nyamuk. Bagaimana nyamuk yang ganas bisa menjadi takluk lewat tipuan gaya Aceh (hal. 122-123)
Membaca Filosofi Rakyat Aceh
Salah satu keunikan dari Aceh, budaya resistensi. Aceh akan melawan sepanjang itu untuk mempertahankan harga diri. Aceh akan melawan jika dikhianati dan didhalimi. Apa relevansi dengan ulasan kita adalah bahwa rakyat Aceh akan terus melawan walau dibungkam bagaimanapun. Dan buku ini adalah satunya manisfestasi dari filosofi hidup rakyat Aceh. Aceh tetap melawan lewat buku yang tidak terlalu besar ini. Lewat humorpun mereka akan melawan.
Disini, mungkin untuk alasan inilah buku ini diterbitkan. Seperti diakui sendiri oleh editor buku ini, penerbitan buku kocak ini dimaksudkan sebagai media “perlawanan.” Menurutnya, penerbitan buku ini sangat penting karena sudah tak ada—atau setidaknya sedikit sekali—cara yang paling jitu untuk menghentikan kekerasan di serambi mekkah.
Walaupun berbentuk buku humor, buku ini punya pesan penting. yaitu, humor atau cerita lucu dari suatu bangsa—apalagi yang sedang ditindas—merupakan cerminan pendapat umum bangsa itu, sekaligus sebagai penanda mengenai suatu peristiwa penting.Bagi yang bosan dengan berita-berita kekerasan di Aceh atau perlu kejelasan dari suatu peristiwa, buku ini sedikit membantu. Ternyata Aceh tidak seperti yang digembar-gemborkan oleh media—seram, mencekam dan kacau.
Buku ini menyodorkan sisi-sisi lain dari perjalanan perang Aceh. Penuh heroic, kocak dan keluguan yang dimiliki oleh orang Aceh. Disamping menyodorkan sejumlah fakta yang disertai dengan humor segar. Pembaca akan mampu menangkap pesannya begitu membaca buku ini. Apalagi jika sering menyimak berita-berita tentang Aceh di media massa.Ada sebuah humor yang sedikit mengganggu, sehingga seolah-olah orang Aceh harus selalu diwaspadai. “Jika ada satu orang Aceh, boleh jadi dia menjadi ‘Aceh Pungo’ (gila-red). Jika dua orang Aceh bertemu, mungkin mereka membentuk ‘Aceh kongsi’ untuk berdagang. Jika tiga orang Aceh berkumpul, mereka berkeinginan membentuk ‘Aceh sepakat’. Nah jika ada empat orang Aceh atau lebih berdiskusi, perlu dicurigai mereka akan mendirikan negara baru.”
Stereotype (Penggambaran) seperti ini sangat merugikan Aceh seakan-akan prototype Aceh adalah separatis. Implikasinya orang akan mencurigai setiap perkumpulan yang ada orang Aceh.Terlepas dari itu, buku ini bagus dibaca oleh mereka yang selama ini begitu peduli dengan konflik Aceh. Sering timbul rasa bosan, putus asa, tegang dan lupa tertawa. Lewat buku ini mungkin bisa menjadi penawar dan obat untuk menumbuhkan kembali semangat yang meredup seiring dengan sikap keras pemerintah. Atau setidaknya kita perlu menertawakan diri sendiri karena kita masih waras seperti diinginkan editor buku ini. Aceh tapi nyata!!! Seperti disinggung di awal buku ini (pengantar dari penerbit). Hanya ada dua jenis orang yang tak bisa ketawa, yaitu kalau tidak “sedang sakit” ya “pasti sedang punya niat jahat”.
Tetapi, merujuk pada buku ini, orang Aceh masih mampu terlihat tertawa. Orang Aceh masih mampu bergembira-membuat orang lain tertawa lewat protes mereka yang berbentuk humor. Sebenarnya, ketertawaan mereka punya banyak makna. Mereka ingin mengungkap fakta yang sebenarnya tetapi tidak dapat dilakukan. Mereka terkekang. Jalan satu-satunya ya lewat humor.
Di samping membuat orang dapat tertawa juga mereka telah mengungkap sebuah kebenaran. Bagi orang Aceh itu juga bagian dari protes dan perlawanan. Kembali kita teringat ungkapan Mas Gonawan, Aceh memang sejumlah pertanyaan…pertanyaan tentang apa sebuah “indonesia”---ya apa sebenarnya “indonesia” yang hendak dipertahankan!
Tags:
Resensi