Biarkan aku melepaskan uneg-uneg yang ada di kepala sekarang. Biarkan aku menulis sesuatu tentang negeriku yaitu Aceh. Karena sekarang tidak ada lagi yang tersisa dari negeri kami kecuali segenggam fakta penindasan dan naskah-naskah buram yang sempat direkam dari gejolak politik yang berkepanjangan. Yaitu rekaman tentang pembantaian manusia selama pemerintah memberlakukan Darurat Militer di Aceh. Biarkan aku sekedar mengenangnya dan berharap ada simpati mengalir pada perjuangan kami untuk mendapatkan hak kami kembali sebagai ‘tanah’ merdeka.
Karena kami tahu, tak ada yang berhak atas tanah Aceh selain masyarakat yang mendiami tanah tersebut yaitu bangsa Aceh. Pemerintah Indonesia tidak berhak atas tanah Aceh dan segala yang ada di dalamanya. Tanah itu adalah titipan Tuhan kepada nenek moyang kami untuk dititipkan kepada cucu-cucu mereka yang sekarang sedang banyak sekarat di Aceh atau harus meninggalkan negeri mereka untuk sekedar mempertahankan hidup. Merekalah yang berhak atas tanah Aceh, bukan orang lain.
Bagi kawan-kawan yang bukan orang Aceh, saya mohon maaf jika tulisan-tulisan saya banyak yang ‘Acehsentris’, soalnya, bagi kami penting untuk menulis sesuatu tentang tanah air kami, tempat kami lahir dan ‘mungkin’ juga tempat kami mengakhiri hidup kami kelak.
Untuk itu, kepada kawan-kawan non Aceh, saya mohon jangan menuduh kami primordialisme, rasialisme dan ‘tertutup’ atau inklusif. Kami sangat memahami itu. Bukan waktunya lagi bagi kami untuk tidak menampakkan nasionalisme kami. Kami ingin semua orang tahu, bahwa kami menginginkan negeri kami. Kami ingin hidup damai di negeri kami. Sudah lama kami ingin hidup dalam kondisi normal, seperti juga kawan-kawan kami yang lain di Nusantara ini.
Rindu kami untuk hidup dalam suasana damai sudah lama tertanam dalam hati kecil kami. Tetapi, selalu saja kesempatan itu menghilang dan dirampas dari kami. Sejak Belanda menyatakan memerangi negeri kami 100 tahun yang lalu sejak 26 Maret 1873, atau sejak bangsa kulit putih memerangi negeri kami. Sesudah itu, hampir tidak ada waktu bagi kami untuk menarik nafas panjang dan menikmati indahnya pemberian Tuhan kepada tanah air kami. Sejak itu pula, kami kehilangan kesempatan untuk menjadi manusia merdeka. Sampai sekarang, kami tidak pernah merasakan nikmat merdeka dan hidup di negeri kami sebagai layaknya kami hidup di rumah kami sendiri.
Seperti telah kalian ketahui, sesudah Belanda berhasil nenek moyang kami usir dari negeri kami, bala tentara Jepang datang mengepung kami dan membuat kami kehilangan kesempatan lagi untuk hidup bahagia. Jepang pergi setelah kalah dalam perang Asia Timur Raya. Dan Belanda hendak menjajah kembali negeri kami, namun moyang kami tidak rela. Sekali lagi kesempatan hidup damai melayang bersama panasnya suhu politik dan gejolak perlawanan. Nenek moyang kami harus menghunus pedang kembali untuk mengusir bangsa kulit putih serakah tersebut. Tanpa kenal lelah Moyang kami berperang untuk memperoleh kemerdekaan yang hilang itu bersama-sama saudara-saudaranya dari wilayah lain di Nusantara. Bahkan dalam berbagai riwayat, moyang kami turut berperang mempertahankan lajunya pasukan Belanda dari luar wilayah mereka yaitu di daerah yang disebuat Medan sekarang yang terkenal Medan Area.
Ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, semula moyang kami berharap inilah kesempatan menikmati kemerdekaan yang sempat hilang itu dalam bisingnya mesiu. Tetapi…maafkan, jika kemudian ini juga harus kami katakan, bahwa kemerdekaan itu tak kunjung datang. Bahkan kemerdekaan Indonesia itu menjadi malapetaka bagi kami. Ya…malapetaka yang sebenarnya tidak kami sangka. Harapan kami untuk hidup tenang dan bahagia hanya mimpi yang tak pernah jadi kenyataan. Kami kembali dibohongi oleh yang kemudian disebut Indonesia itu.
Dan…sekarang kawan-kawan pasti sudah tahu, bahwa kami tidak pernah mendapatkan kebahagiaan itu lagi. Setengah abad lebih kami dikecewakan, dibodoh-bodohi, ditipu, diperas, ditindas lalu kami dicampakkan. Kawan-kawan juga sudah tahu kalau sampai sekarang kami menderita.
Saudara-saudara masih ingat, sejak tahun 1989-1998, dengan operasi jaring merah yang kemudian dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM), adalah hadiah yang sangat menyedihkan bagi kami. Beberapa laporan internasional menyebutkan ketika DOM diberlakukan di Aceh, 10.000-20.000 lebih rakyat kami meninggal sia-sia, sementara ribuan lainnya tak tahu entah di mana sekarang. Berbagai bentuk penyiksaan yang belum dikenal oleh masyarakat internasional, sudah dipraktikkan oleh tentara Indonesia di negeri kami. Bangsa Indonesia yang menyebutkan dirinya sebagai bangsa yang ramah dan lembut ternyata menjadi sangat kejam dan bengis dalam menghadapi rakyat sendiri yang notabene adalah bidan yang melahirkan republik Indonesia ini. Indonesia sudah sangat kejam terhadap rakyat kami.
Sebagai balasannya, ketika DOM ditarik dari negeri kami, banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya menjadi sangat militan dan marah. Mereka menuntut balas dan ingin membalas dendam atas perlakuan kejam tentara Indonesia. Bahkan tak tanggung-tanggung, dengan dukungan segenap rakyat yang lain, berhasil digelindingkan referendum sebagai tawaran penyelesaian Aceh. Sebagian lagi, mengangkat senjata melawan pemerintah Indonesia.
Namun pemerintah Indonesia tak rela Aceh terlepas dari NKRI (sebagian teman-teman kami membaca singkatan NKRI dengan Neo-Kolonialis Republik Indonesia). Indonesia tak ingin kehilangan sumber pendapatan negara yang amat besar dari negeri kami. Maka tuntutan itu kemudian dianggap sebagai separatisme. Dan pejuang yang menuntut referendum diburu, ditangkap dan dibunuh.
Tak cukup dengan itu, sampai sekarang, pemerintah Indonesia lewat darurat militer dan dilanjut dengan darurat sipil mengerahkan ribuan serdadu untuk membunuh bangsa kami. Setahun lebih bangsa kami dibunuh dan sekarang hasilnya telah sama-sama diketahui bahwa ribuan rakyat Aceh kembali menjadi korban kekejaman tentara Indonesia. Ribuan lainnya bersembunyi di hutan-hutan sambil melancarkan perang gerilya, sementara ribuan lainnya mengungsi ke negeri tetangga. Bangsa kami dikejar-kejar dan diburu-buru di manapun bangsa kami berada. Seakan-akan tak ada lagi tempat yang aman untuk kami sekarang. Padahal dulu, ketika kami masih berkuasa, rakyat kami dipuja, pemimpin kami disembah agar kami mau membantu memerdekakan Indonesia yang sudah dalam genggaman penjajah Belanda.
Jasa negeri kami tak pernah dihargai dan malah seperti kata pepatah “Habis Manis Sepah dibuang”. Begitulah nasib negeri kami sekarang. Kami ditindas oleh negeri yang pernah kami bantu untuk bisa memerdekakan diri. Sungguh pengorbanan kami sia-sia saja. Karena untuk hidup bahagia, kami harus berperang dengan negeri yang dulu kami merdekakan.
Sejenak ingin kami ingatkan bahwa ketika rakyat Indonesia memperingati ulang tahun kemerdekaanya yang ke-59, dengan sangat meriah, maka itulah juga peringatan sedih kami. Peringatan kemerdekaan Indonesia sekaligus juga peringatan ketakmerdekaan kami. Jika rakyat di tempat lain mengibarkan bendera merah putih karena panggilan jiwa nasionalisme dan karena gembira, rakyat kami justru mengibarkan bendera karena takut digebuk tentara. Rakyat kami dipaksa mengibarkan bendera itu untuk menunjukkan bahwa rakyat kami setia pada NKRI. Padahal belum ada suatu mekanisme demokratis yang dilakukan untuk menguji kesetian rakyat kami itu kecuali ikrar setia pada masa darurat militer yang dipaksa dengan senjata.
Sementara Referendum untuk menguji apakah rakyat kami ikut Indonesia atau ikut dengan GAM yang sedang memperjuangkan kemerdekaan belum pernah dibuat dan pemerintah tidak berani melaksanakannya. Karena jika itu dilakukan oleh pemerintah, maka Aceh akan mengikuti jejak Timor Timur yang merdeka dalam jajak pendapat 5 Tahun yang lalu. Indonesia tidak mau malu untuk kedua kalinya.
***
Saya sengaja mengetengahkan sedikit kisah sedih kami, bukan untuk mengeluh lalu kami berputus asa. Bukan untuk itu. Kami sendiri paham, berputus asa sangat tidak disukai oleh Tuhan. Untuk itulah kami tetap optimis, mungkin bukan sekarang saatnya kami menikmati kebahagian. Tuhan sedang menguji kami dengan berbagai penderitaan hidup, pengorbanan, penindasan dan lain-lain agar kami lebih matang. Kami tetap percaya, kalau Tuhan punya perencanaan yang baik untuk kami. Tuhan tidak mungkin ‘menindas’ kami dan mencoba kami dengan cobaan yang tidak sanggup kami pikul. Tuhan hanya ingin menguji kematangan sikap, kesabaran, dan pengorbanan kami. Dan kami sangat yakin, bahwa dengan begitu, Tuhan sedang membantu kami.
Tuhan, boleh jadi sedang menguji kami, apakah bangsa kami akan seperti Israel, yang selalu diuji oleh Tuhan? Lalu menjadi pembangkang Tuhan. Tentunya kami tidak ingin seperti bangsa Israel. Kami hanya perlu meniru semangat mereka, bukan keimanan mereka. Kami perlu belajar pada mereka bagaimana bertahan hidup, mempertahankan hidup dan belajar meraih hari kemenangan secara gemilang--Tentunya dengan cara-cara yang benar. Jika bangsa Yahudi sekarang menjadi penguasa dunia yang congkak, sombong dan angkuh, itu mungkin karena mereka gagal dalam memaknai segala bentuk cobaan Tuhan. Mereka gagal dalam hal keimanan, dan ini tidak boleh terulang lagi pada bangsa kami.
Saya selalu ingat firman Tuhan, bahwa jika kami bersabar, hari kemenangan itu semakin dekat. “berilah khabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” Dan Bangsa kami sudah cukup bersabar menanti hari kemenangan itu, juga bersabar menghadapi cobaan. Cobaan yang kami hadapi tentunya tidak seberat cobaan yang dihadapi oleh para Nabi Allah, orang-orang shaleh terdahulu. Mereka cukup sabar, dan akhirnya mereka meraih kemenangan hakiki.
Gempa dan Tsunami 26 Desember lalu, yang meluluhlantakkan Aceh bukan untuk memusnahkan kami, melainkan sebagai peringatan kepada Pemerintah Indonesia, bahwa Allah lebih mampu mencabut nyawa makhluknya. Bahkan lebih cepat dan lebih banyak yang terbunuh. Pesan ini yang mesti ditangkap. Selain, selama pemberlakuan Darurat Militer, sepertinya tak ada yang peduli pada jeritan hati orang Aceh. Lalu Allah mengetuk hati kita semua yang buta ini dengan musibah, agar manusia ingat bahwa rakyat Aceh sudah sangat menderita. Dan sekarang, seperti kita ketahui, berbondong-bondong manusia datang dan menolong rakyat Aceh. Dulu kami selalu memohon agar Tentara Asing masuk ke Aceh untuk membantu kami, tetapi tak juga kunjung datang, dan sekarang karena musibah ini mereka datang, bukan hanya itu, PBB juga berkunjung ke Aceh. Inilah saatnya kami menikmati kebahagian, dan juga menggapai kemerdekaan. "Di balik musibah, pasti ada hikmahnya. Setelah susah pasti datang kesenangan dan kemenangan."
Patron itu yang hendak kami tiru. Selain berharap tumbuh semangat juang yang bergelora juga semakin mematangkan sikap kami. Artinya jika toh kami meraih ‘kebahagian’ itu, kami tidak lantas gamang dan lalu lupa daratan sampai membuat kami akrab dengan setan. Tetapi, kami menyadari bahwa hidup dalam suasana tertekan, tertindas, terjajah, dan terbelunggu, sama sekali tidak enak dan indah serta amat sangat menyakitkan.
Ada pelajaran hikmah yang bisa kami petik dari sini, bahwa kami akan sangat menghargai kebebasan, kedamaian, persaudaraan dan cinta kasih. Lalu kami akan memperlakukan bangsa lain, suku lain, ras lain dan lain-lain sebagai mitra dan juga saudara. Prinsip ini yang akan selalu kami jaga dan pertahankan. Kami sudah merasakan betapa tidak indahnya hidup terjajah.
Prinsip-prinsip seperti itu yang seharusnya kita junjung tinggi. Tetapi, sekarang prinsip itu sama sekali tidak terlihat dari pemerintah Indonesia. Justru yang semakin nampak dan nyata adalah nafsu menjajah, membuat bangsa lain takluk bertekuk lutut, ingin menjadi penguasa, ingin dihargai, dihormati dan dipuja setinggi langit. Di sinilah sebenarnya moral kita diuji. Bahwa kita butuh yang namanya pemberontakan, pembangkangan, oposisi atau sikap menolak imperialisme, kolonialisme dan isme-isme menindas lainnya. Gerakan-gerakan untuk melawan bentuk-bentuk isme itu harus dihidupkan, didukung dan disemarakkan. Jika tidak, bumi ini akan dipenuhi oleh manusia-manusia serakah, tidak punya moral, budi dan belas kasih. Manusia yang tidak punya rasa cinta.
Renungan-renungan ini sama sekali bukan mendikte kawan-kawan untuk mendukung perjuangan kami. Kami memang sedang butuh dukungan kawan-kawan, tetapi bukan dukungan yang terpaksa, setengah-setengah dan tidak ikhlas. Karena jika kawan-kawan merasa seperti itu, pengorbanan kawan-kawan tidak ada artinya. Kawan-kawan tidak lebih sebagai manusia yang menjadi alat dan diperalat oleh kepentingan-kepentingan yang sama sekali tidak mencerminkan sikap prinsip kawan-kawan yang sesungguhnya. Jika kawan-kawan mendukung perjuangan kami, itu karena kawan-kawan melihat subtansi dari perjuangan kami ini. Berarti kawan-kawan telah istiqamah dengan prinsip yang kawan-kawan anut.
Semua kita, berkewajiban untuk membebaskan yang tidak bebas, memerdekakan yang tidak merdeka, mengadilkan yang tidak adil serta memanusiakan manusia. Itulah prinsip perjuangan kita sesungguhnya. Betapapun tingginya moral kita, jika kewajiban itu tidak kita tunaikan, kita sama sekali tidak disebut bermoral. Saya ingat sebuah ungkapan Imam Khomeinie, pemimpin revolusi Islam Iran, yang sangat terkenal bahwa “diam terhadap penindasan lebih tidak bermoral dari penindasan itu sendiri.”
Tindakan-tindakan pasif kita dan tidak mau untuk membebaskan yang tidak bebas, memerdekakan yang tidak merdeka, mengadilkan yang tidak adil dan tidak memanusiakan manusia berarti tindakan kita itu lebih kejam dari praktik kejam itu. Imam Khomeinie sebenarnya sedang mengajarkan kita tentang pemberontakan bermoral dan tentang perlawanan terhadap kemapanan.
Seharusnya kita merenungi secara mendalam ‘titah’ Albert Camus (filosof perancis keturunan Aljazair) “aku memberontak oleh karena itu aku ada” sebagai obor perjuangan kita. Betapapun juga, pemberontakan itu harus kita lakukan ketika manusia kehilangan moralnya. Ketika manusia menggadaikan kemanusiaan manusia lain.
Mungkin saya tidak perlu lagi menumpuk dan menulis tentang kekejaman pemerintah di tanah air kami untuk merangsang kawan-kawan membela kami. Karena jika kami menulisnya, di samping tidak cukup halaman juga tidak membantu mereka hidup kembali. Kematian mereka, ketertindasan mereka, serta kebejatan pemerintah sudah sangat banyak sekali ditulis. Tetapi itu sama sekali belum mencukupi untuk membangkitkan jiwa perlawanan / pemberontakan kita secara sempurna. Data dan fakta kekejaman pemerintah hanya lekas usang dan cepat raib karena ditutupi oleh data dan fakta baru. Sehingga, selalu kita memulai dari awal gerakan oposisi kita terhadap pemerintah.
***
Terakhir, perlu rasanya kita bersama-sama merenungi firman Tuhan: “membunuh satu jiwa manusia sama seperti kita membunuh seluruh manusia.” Jika firman ini kita pahami dalam makna lain seperti “jika kita diam terhadap pembunuhan satu orang manusia, berarti kita telah diam terhadap pembunuhan jutaan manusian atau bahkan seluruh manusia yang telah dibunuh.” Berarti, jika kita kaitkan dengan sikap diam kita, maka sebenarnya kita telah diam terhadap kejahatan pemerintah terhadap seluruh umat manusia (khususnya di nusantara ini)
Tiada oposisi, perlawanan dan pemberontakan yang lebih mulia selain menghentikan pembunuhan manusia. Dan inilah perjuangan paling lurus. Esensi hukum Qishash sebenarnya ini, betapa Tuhan telah menghargai nyawa mahkluknya. Di mana manusia tidak sembarang bisa dibunuh. Jika Tuhan saja sang pencipta begitu menyayangi nyawa ciptaannya, kenapa kita sesama ciptaan tidak saling menyayangi. Kenapa kita mesti saling bunuh-bunuhan?
Yang kami ingin sekarang adalah, jika kita melihat penderitaan yang dialami oleh rakyat Aceh lalu kita bersimpati, itu semata-mata bukan sikap yang lahir spontan, tapi memang karena kita telah sama tahu bahwa Aceh adalah ibu kita. Ibu yang tidak mengeluh membesarkan anak-anaknya atau ibu yang selalu bangga dengan prestasi yang dicapai oleh anak-anaknya walau dia sendiri harus menderita. Kita tergerak untuk menghentikan pertumpahan darah di Aceh bukan karena apa-apa, tetapi sekali lagi karena kita tahu bahwa Aceh adalah ibu kita! Ya…Aceh adalah ibu yang telah melahirkan republik yang kejam ini. Aceh adalah Ibu yang tidak pernah kecewa dan berputus asa!
Karena kami tahu, tak ada yang berhak atas tanah Aceh selain masyarakat yang mendiami tanah tersebut yaitu bangsa Aceh. Pemerintah Indonesia tidak berhak atas tanah Aceh dan segala yang ada di dalamanya. Tanah itu adalah titipan Tuhan kepada nenek moyang kami untuk dititipkan kepada cucu-cucu mereka yang sekarang sedang banyak sekarat di Aceh atau harus meninggalkan negeri mereka untuk sekedar mempertahankan hidup. Merekalah yang berhak atas tanah Aceh, bukan orang lain.
Bagi kawan-kawan yang bukan orang Aceh, saya mohon maaf jika tulisan-tulisan saya banyak yang ‘Acehsentris’, soalnya, bagi kami penting untuk menulis sesuatu tentang tanah air kami, tempat kami lahir dan ‘mungkin’ juga tempat kami mengakhiri hidup kami kelak.
Untuk itu, kepada kawan-kawan non Aceh, saya mohon jangan menuduh kami primordialisme, rasialisme dan ‘tertutup’ atau inklusif. Kami sangat memahami itu. Bukan waktunya lagi bagi kami untuk tidak menampakkan nasionalisme kami. Kami ingin semua orang tahu, bahwa kami menginginkan negeri kami. Kami ingin hidup damai di negeri kami. Sudah lama kami ingin hidup dalam kondisi normal, seperti juga kawan-kawan kami yang lain di Nusantara ini.
Rindu kami untuk hidup dalam suasana damai sudah lama tertanam dalam hati kecil kami. Tetapi, selalu saja kesempatan itu menghilang dan dirampas dari kami. Sejak Belanda menyatakan memerangi negeri kami 100 tahun yang lalu sejak 26 Maret 1873, atau sejak bangsa kulit putih memerangi negeri kami. Sesudah itu, hampir tidak ada waktu bagi kami untuk menarik nafas panjang dan menikmati indahnya pemberian Tuhan kepada tanah air kami. Sejak itu pula, kami kehilangan kesempatan untuk menjadi manusia merdeka. Sampai sekarang, kami tidak pernah merasakan nikmat merdeka dan hidup di negeri kami sebagai layaknya kami hidup di rumah kami sendiri.
Seperti telah kalian ketahui, sesudah Belanda berhasil nenek moyang kami usir dari negeri kami, bala tentara Jepang datang mengepung kami dan membuat kami kehilangan kesempatan lagi untuk hidup bahagia. Jepang pergi setelah kalah dalam perang Asia Timur Raya. Dan Belanda hendak menjajah kembali negeri kami, namun moyang kami tidak rela. Sekali lagi kesempatan hidup damai melayang bersama panasnya suhu politik dan gejolak perlawanan. Nenek moyang kami harus menghunus pedang kembali untuk mengusir bangsa kulit putih serakah tersebut. Tanpa kenal lelah Moyang kami berperang untuk memperoleh kemerdekaan yang hilang itu bersama-sama saudara-saudaranya dari wilayah lain di Nusantara. Bahkan dalam berbagai riwayat, moyang kami turut berperang mempertahankan lajunya pasukan Belanda dari luar wilayah mereka yaitu di daerah yang disebuat Medan sekarang yang terkenal Medan Area.
Ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, semula moyang kami berharap inilah kesempatan menikmati kemerdekaan yang sempat hilang itu dalam bisingnya mesiu. Tetapi…maafkan, jika kemudian ini juga harus kami katakan, bahwa kemerdekaan itu tak kunjung datang. Bahkan kemerdekaan Indonesia itu menjadi malapetaka bagi kami. Ya…malapetaka yang sebenarnya tidak kami sangka. Harapan kami untuk hidup tenang dan bahagia hanya mimpi yang tak pernah jadi kenyataan. Kami kembali dibohongi oleh yang kemudian disebut Indonesia itu.
Dan…sekarang kawan-kawan pasti sudah tahu, bahwa kami tidak pernah mendapatkan kebahagiaan itu lagi. Setengah abad lebih kami dikecewakan, dibodoh-bodohi, ditipu, diperas, ditindas lalu kami dicampakkan. Kawan-kawan juga sudah tahu kalau sampai sekarang kami menderita.
Saudara-saudara masih ingat, sejak tahun 1989-1998, dengan operasi jaring merah yang kemudian dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM), adalah hadiah yang sangat menyedihkan bagi kami. Beberapa laporan internasional menyebutkan ketika DOM diberlakukan di Aceh, 10.000-20.000 lebih rakyat kami meninggal sia-sia, sementara ribuan lainnya tak tahu entah di mana sekarang. Berbagai bentuk penyiksaan yang belum dikenal oleh masyarakat internasional, sudah dipraktikkan oleh tentara Indonesia di negeri kami. Bangsa Indonesia yang menyebutkan dirinya sebagai bangsa yang ramah dan lembut ternyata menjadi sangat kejam dan bengis dalam menghadapi rakyat sendiri yang notabene adalah bidan yang melahirkan republik Indonesia ini. Indonesia sudah sangat kejam terhadap rakyat kami.
Sebagai balasannya, ketika DOM ditarik dari negeri kami, banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya menjadi sangat militan dan marah. Mereka menuntut balas dan ingin membalas dendam atas perlakuan kejam tentara Indonesia. Bahkan tak tanggung-tanggung, dengan dukungan segenap rakyat yang lain, berhasil digelindingkan referendum sebagai tawaran penyelesaian Aceh. Sebagian lagi, mengangkat senjata melawan pemerintah Indonesia.
Namun pemerintah Indonesia tak rela Aceh terlepas dari NKRI (sebagian teman-teman kami membaca singkatan NKRI dengan Neo-Kolonialis Republik Indonesia). Indonesia tak ingin kehilangan sumber pendapatan negara yang amat besar dari negeri kami. Maka tuntutan itu kemudian dianggap sebagai separatisme. Dan pejuang yang menuntut referendum diburu, ditangkap dan dibunuh.
Tak cukup dengan itu, sampai sekarang, pemerintah Indonesia lewat darurat militer dan dilanjut dengan darurat sipil mengerahkan ribuan serdadu untuk membunuh bangsa kami. Setahun lebih bangsa kami dibunuh dan sekarang hasilnya telah sama-sama diketahui bahwa ribuan rakyat Aceh kembali menjadi korban kekejaman tentara Indonesia. Ribuan lainnya bersembunyi di hutan-hutan sambil melancarkan perang gerilya, sementara ribuan lainnya mengungsi ke negeri tetangga. Bangsa kami dikejar-kejar dan diburu-buru di manapun bangsa kami berada. Seakan-akan tak ada lagi tempat yang aman untuk kami sekarang. Padahal dulu, ketika kami masih berkuasa, rakyat kami dipuja, pemimpin kami disembah agar kami mau membantu memerdekakan Indonesia yang sudah dalam genggaman penjajah Belanda.
Jasa negeri kami tak pernah dihargai dan malah seperti kata pepatah “Habis Manis Sepah dibuang”. Begitulah nasib negeri kami sekarang. Kami ditindas oleh negeri yang pernah kami bantu untuk bisa memerdekakan diri. Sungguh pengorbanan kami sia-sia saja. Karena untuk hidup bahagia, kami harus berperang dengan negeri yang dulu kami merdekakan.
Sejenak ingin kami ingatkan bahwa ketika rakyat Indonesia memperingati ulang tahun kemerdekaanya yang ke-59, dengan sangat meriah, maka itulah juga peringatan sedih kami. Peringatan kemerdekaan Indonesia sekaligus juga peringatan ketakmerdekaan kami. Jika rakyat di tempat lain mengibarkan bendera merah putih karena panggilan jiwa nasionalisme dan karena gembira, rakyat kami justru mengibarkan bendera karena takut digebuk tentara. Rakyat kami dipaksa mengibarkan bendera itu untuk menunjukkan bahwa rakyat kami setia pada NKRI. Padahal belum ada suatu mekanisme demokratis yang dilakukan untuk menguji kesetian rakyat kami itu kecuali ikrar setia pada masa darurat militer yang dipaksa dengan senjata.
Sementara Referendum untuk menguji apakah rakyat kami ikut Indonesia atau ikut dengan GAM yang sedang memperjuangkan kemerdekaan belum pernah dibuat dan pemerintah tidak berani melaksanakannya. Karena jika itu dilakukan oleh pemerintah, maka Aceh akan mengikuti jejak Timor Timur yang merdeka dalam jajak pendapat 5 Tahun yang lalu. Indonesia tidak mau malu untuk kedua kalinya.
***
Saya sengaja mengetengahkan sedikit kisah sedih kami, bukan untuk mengeluh lalu kami berputus asa. Bukan untuk itu. Kami sendiri paham, berputus asa sangat tidak disukai oleh Tuhan. Untuk itulah kami tetap optimis, mungkin bukan sekarang saatnya kami menikmati kebahagian. Tuhan sedang menguji kami dengan berbagai penderitaan hidup, pengorbanan, penindasan dan lain-lain agar kami lebih matang. Kami tetap percaya, kalau Tuhan punya perencanaan yang baik untuk kami. Tuhan tidak mungkin ‘menindas’ kami dan mencoba kami dengan cobaan yang tidak sanggup kami pikul. Tuhan hanya ingin menguji kematangan sikap, kesabaran, dan pengorbanan kami. Dan kami sangat yakin, bahwa dengan begitu, Tuhan sedang membantu kami.
Tuhan, boleh jadi sedang menguji kami, apakah bangsa kami akan seperti Israel, yang selalu diuji oleh Tuhan? Lalu menjadi pembangkang Tuhan. Tentunya kami tidak ingin seperti bangsa Israel. Kami hanya perlu meniru semangat mereka, bukan keimanan mereka. Kami perlu belajar pada mereka bagaimana bertahan hidup, mempertahankan hidup dan belajar meraih hari kemenangan secara gemilang--Tentunya dengan cara-cara yang benar. Jika bangsa Yahudi sekarang menjadi penguasa dunia yang congkak, sombong dan angkuh, itu mungkin karena mereka gagal dalam memaknai segala bentuk cobaan Tuhan. Mereka gagal dalam hal keimanan, dan ini tidak boleh terulang lagi pada bangsa kami.
Saya selalu ingat firman Tuhan, bahwa jika kami bersabar, hari kemenangan itu semakin dekat. “berilah khabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” Dan Bangsa kami sudah cukup bersabar menanti hari kemenangan itu, juga bersabar menghadapi cobaan. Cobaan yang kami hadapi tentunya tidak seberat cobaan yang dihadapi oleh para Nabi Allah, orang-orang shaleh terdahulu. Mereka cukup sabar, dan akhirnya mereka meraih kemenangan hakiki.
Gempa dan Tsunami 26 Desember lalu, yang meluluhlantakkan Aceh bukan untuk memusnahkan kami, melainkan sebagai peringatan kepada Pemerintah Indonesia, bahwa Allah lebih mampu mencabut nyawa makhluknya. Bahkan lebih cepat dan lebih banyak yang terbunuh. Pesan ini yang mesti ditangkap. Selain, selama pemberlakuan Darurat Militer, sepertinya tak ada yang peduli pada jeritan hati orang Aceh. Lalu Allah mengetuk hati kita semua yang buta ini dengan musibah, agar manusia ingat bahwa rakyat Aceh sudah sangat menderita. Dan sekarang, seperti kita ketahui, berbondong-bondong manusia datang dan menolong rakyat Aceh. Dulu kami selalu memohon agar Tentara Asing masuk ke Aceh untuk membantu kami, tetapi tak juga kunjung datang, dan sekarang karena musibah ini mereka datang, bukan hanya itu, PBB juga berkunjung ke Aceh. Inilah saatnya kami menikmati kebahagian, dan juga menggapai kemerdekaan. "Di balik musibah, pasti ada hikmahnya. Setelah susah pasti datang kesenangan dan kemenangan."
Patron itu yang hendak kami tiru. Selain berharap tumbuh semangat juang yang bergelora juga semakin mematangkan sikap kami. Artinya jika toh kami meraih ‘kebahagian’ itu, kami tidak lantas gamang dan lalu lupa daratan sampai membuat kami akrab dengan setan. Tetapi, kami menyadari bahwa hidup dalam suasana tertekan, tertindas, terjajah, dan terbelunggu, sama sekali tidak enak dan indah serta amat sangat menyakitkan.
Ada pelajaran hikmah yang bisa kami petik dari sini, bahwa kami akan sangat menghargai kebebasan, kedamaian, persaudaraan dan cinta kasih. Lalu kami akan memperlakukan bangsa lain, suku lain, ras lain dan lain-lain sebagai mitra dan juga saudara. Prinsip ini yang akan selalu kami jaga dan pertahankan. Kami sudah merasakan betapa tidak indahnya hidup terjajah.
Prinsip-prinsip seperti itu yang seharusnya kita junjung tinggi. Tetapi, sekarang prinsip itu sama sekali tidak terlihat dari pemerintah Indonesia. Justru yang semakin nampak dan nyata adalah nafsu menjajah, membuat bangsa lain takluk bertekuk lutut, ingin menjadi penguasa, ingin dihargai, dihormati dan dipuja setinggi langit. Di sinilah sebenarnya moral kita diuji. Bahwa kita butuh yang namanya pemberontakan, pembangkangan, oposisi atau sikap menolak imperialisme, kolonialisme dan isme-isme menindas lainnya. Gerakan-gerakan untuk melawan bentuk-bentuk isme itu harus dihidupkan, didukung dan disemarakkan. Jika tidak, bumi ini akan dipenuhi oleh manusia-manusia serakah, tidak punya moral, budi dan belas kasih. Manusia yang tidak punya rasa cinta.
Renungan-renungan ini sama sekali bukan mendikte kawan-kawan untuk mendukung perjuangan kami. Kami memang sedang butuh dukungan kawan-kawan, tetapi bukan dukungan yang terpaksa, setengah-setengah dan tidak ikhlas. Karena jika kawan-kawan merasa seperti itu, pengorbanan kawan-kawan tidak ada artinya. Kawan-kawan tidak lebih sebagai manusia yang menjadi alat dan diperalat oleh kepentingan-kepentingan yang sama sekali tidak mencerminkan sikap prinsip kawan-kawan yang sesungguhnya. Jika kawan-kawan mendukung perjuangan kami, itu karena kawan-kawan melihat subtansi dari perjuangan kami ini. Berarti kawan-kawan telah istiqamah dengan prinsip yang kawan-kawan anut.
Semua kita, berkewajiban untuk membebaskan yang tidak bebas, memerdekakan yang tidak merdeka, mengadilkan yang tidak adil serta memanusiakan manusia. Itulah prinsip perjuangan kita sesungguhnya. Betapapun tingginya moral kita, jika kewajiban itu tidak kita tunaikan, kita sama sekali tidak disebut bermoral. Saya ingat sebuah ungkapan Imam Khomeinie, pemimpin revolusi Islam Iran, yang sangat terkenal bahwa “diam terhadap penindasan lebih tidak bermoral dari penindasan itu sendiri.”
Tindakan-tindakan pasif kita dan tidak mau untuk membebaskan yang tidak bebas, memerdekakan yang tidak merdeka, mengadilkan yang tidak adil dan tidak memanusiakan manusia berarti tindakan kita itu lebih kejam dari praktik kejam itu. Imam Khomeinie sebenarnya sedang mengajarkan kita tentang pemberontakan bermoral dan tentang perlawanan terhadap kemapanan.
Seharusnya kita merenungi secara mendalam ‘titah’ Albert Camus (filosof perancis keturunan Aljazair) “aku memberontak oleh karena itu aku ada” sebagai obor perjuangan kita. Betapapun juga, pemberontakan itu harus kita lakukan ketika manusia kehilangan moralnya. Ketika manusia menggadaikan kemanusiaan manusia lain.
Mungkin saya tidak perlu lagi menumpuk dan menulis tentang kekejaman pemerintah di tanah air kami untuk merangsang kawan-kawan membela kami. Karena jika kami menulisnya, di samping tidak cukup halaman juga tidak membantu mereka hidup kembali. Kematian mereka, ketertindasan mereka, serta kebejatan pemerintah sudah sangat banyak sekali ditulis. Tetapi itu sama sekali belum mencukupi untuk membangkitkan jiwa perlawanan / pemberontakan kita secara sempurna. Data dan fakta kekejaman pemerintah hanya lekas usang dan cepat raib karena ditutupi oleh data dan fakta baru. Sehingga, selalu kita memulai dari awal gerakan oposisi kita terhadap pemerintah.
***
Terakhir, perlu rasanya kita bersama-sama merenungi firman Tuhan: “membunuh satu jiwa manusia sama seperti kita membunuh seluruh manusia.” Jika firman ini kita pahami dalam makna lain seperti “jika kita diam terhadap pembunuhan satu orang manusia, berarti kita telah diam terhadap pembunuhan jutaan manusian atau bahkan seluruh manusia yang telah dibunuh.” Berarti, jika kita kaitkan dengan sikap diam kita, maka sebenarnya kita telah diam terhadap kejahatan pemerintah terhadap seluruh umat manusia (khususnya di nusantara ini)
Tiada oposisi, perlawanan dan pemberontakan yang lebih mulia selain menghentikan pembunuhan manusia. Dan inilah perjuangan paling lurus. Esensi hukum Qishash sebenarnya ini, betapa Tuhan telah menghargai nyawa mahkluknya. Di mana manusia tidak sembarang bisa dibunuh. Jika Tuhan saja sang pencipta begitu menyayangi nyawa ciptaannya, kenapa kita sesama ciptaan tidak saling menyayangi. Kenapa kita mesti saling bunuh-bunuhan?
Yang kami ingin sekarang adalah, jika kita melihat penderitaan yang dialami oleh rakyat Aceh lalu kita bersimpati, itu semata-mata bukan sikap yang lahir spontan, tapi memang karena kita telah sama tahu bahwa Aceh adalah ibu kita. Ibu yang tidak mengeluh membesarkan anak-anaknya atau ibu yang selalu bangga dengan prestasi yang dicapai oleh anak-anaknya walau dia sendiri harus menderita. Kita tergerak untuk menghentikan pertumpahan darah di Aceh bukan karena apa-apa, tetapi sekali lagi karena kita tahu bahwa Aceh adalah ibu kita! Ya…Aceh adalah ibu yang telah melahirkan republik yang kejam ini. Aceh adalah Ibu yang tidak pernah kecewa dan berputus asa!
Tags:
Artikel