Tak ada yang berubah suasana lebaran di Aceh. Suasananya masih seperti saat tsunami beberapa tahun lalu. Beberapa korban tsunami, masih “betah” tinggal di tenda-tenda darurat yang sempit, kumal dan pengap. Sementara di lain pihak, ada euphoria kesenangan yang dinikmati oleh beberapa kalangan saja. Artinya, lebaran kali ini, antara si kaya dan si miskin masih terlihat kontras sekali. Perbedaan ini seperti takdir yang mesti diamini dengan seksama.
Lalu, apa yang sudah berubah di Aceh setelah dua tahun lebih tsunami berlalu? Ada beberapa jawaban yang bisa diberikan, dan pasti dapat diterima. Pertama, kondisi Aceh berangsur-angsur berubah. Tata kehidupan mulai berjalan normal. Banyak berdiri gedung-gedung baru, pemukiman baru dan tentu saja kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Aceh sudah terlihat sangat ramphak, apik dan ramai. Ini tentu saja sebuah kemajuan, yang harus kita akui bersama.
Kedua, seperti sebelumnya, dan sangat kontras dengan yang pertama. Masih ada orang yang tinggal di barak. Ini tentu saja suatu kontradiksi di balik melimpahnya dana yang ditumpuk di Aceh. Target mengembalikan manusia barak ke rumah-rumah mereka tak tercapai. Sungguh memilukan.
Ketiga, seperti pada jawaban pertama, lahir orang-orang kaya baru. Ini ditandai dengan pesatnya lalu lalang mobil baru beragam jenis di Aceh. Kehidupan masyarakat Aceh sudah lebih sejahtera di banding sebelumnya. Berdirinya beberapa swalayan, café, rumah makan elite (termasuk kehadiran beberapa KFC, Pizza Hut dan sejenisnya) di mana selalu dipenuhi oleh pembeli, menunjukkan bahwa ada peningkatan pendapatan sebagian orang di Aceh. Tentu saja kondisi ini membanggakan, karena Aceh sudah lebih maju dari sebelumnya.
Tapi, apakah kondisi ini cukup memuaskan kita semua? Tentu saja jawabannya tidak. Karena ternyata, kesejahteraan hanya milik segelintir orang. Artinya, masih ada sebagian lagi yang belum sepenuhnya menikmati arti kesejahteraan, khususnya para korban tsunami (termasuk korban konflik). Bayangkan saja, kadang-kadang ada warga yang tak sanggup sekedar membeli sekilo daging meugang. Tragis memang.
Lalu, ada yang bilang, mereka tak bisa memanfaatkan kesempatan yang ada. Artinya, ketidaksejahteraan itu disebabkan oleh kemalasan, dan tak mampu menggunakan peluang. Satu sisi memang benar, tapi di sisi lain argumentasi seperti ini juga tak tepat. Karena ternyata, di samping tak semua orang bisa mengunakan kesempatan juga kadang-kadang peluang untuk itu tak tersedia. Banyak factor yang bisa digunakan dalam melihat ini, seperti tak mampu berkompetisi dan curi start seperti yang lainnya.
Hal itu, tak dengan serta merta kesalahan mereka. Sebab, bahkan sudah diyakini oleh banyak orang bahwa bantuan yang melimpah di Aceh membuat masyarakat menjadi malas, atau menjadi penerima bantuan yang pasif. Ini pelajaran yang didapat dari masa awal-awal bencana. Banyaknya pemberian bantuan cenderung membuat para korban menjadi orang-orang malas. Mereka hanya sekedar menjadi penerima bantuan. Mereka sama sekali tak bisa berfikir produktif, karena segala bantuan mereka sudah ada yang menangani. Semuanya serba instant dan sudah terhidang di depan mereka.
Padahal, hakikat bantuan hanyalah sekedar membantu mereka melewati masa transisi, yang tentu saja sangat berat. Pihak pemberi bantuan berharap bisa memulihkan kondisi buruk tersebut, dan tak terlalu berlarut-larut dalam kondisi buruk tersebut. Tapi, target seperti ini yang tak tercapai. Dan ini cukup disayangkan. Padahal, dalam sejarahnya, Aceh adalah selalu menjadi pemberi bantuan untuk orang lain. Menerima bantuan bagi orang Aceh adalah tindakan yang memalukan dan rendah.
Contoh untuk ini bisa kita sebutkan satu persatu, bahkan tak akan cukup ruang kecil seperti ini menuliskannya. Sebut saja, pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia, di mana Aceh menjadi bangsa penyumbang terbesar dan satu-satunya di Nusantara. Malah, bantuan yang diberikan oleh orang Aceh sama sekali tak sanggup difikirkan oleh daerah lain, karena saat itu semua bagian di Nusantara dalam dominasi asing (Belanda). Contoh lainnya dapat pula dilihat saat Indonesia menderita krisis moneter dan ekonomi. Ketika orang lain terpuruk dalam kemiskinan, tapi di Aceh malah lahir orang-orang kaya. Hal ini terlihat dari banyaknya orang Aceh yang membeli sepeda motor dan menyimpan uangnya di Bank. Selain itu, orang Aceh masih mampu menyumbang untuk orang lain.
Karena itu, ketika Aceh dilanda musibah, dan bantuan yang diberikan membuat orang Aceh menjadi pemalas dan sekedar penerima bantuan, tentu saja sesuatu yang memiriskan hati. Ini sudah kebalikan dari sejarah. Sama sekali tak lazim bagi orang Aceh. Pertanyaan kita, tentu saja ada yang salah dari proses memenej bantuan, sehingga membuat orang Aceh menjadi pemalas. Adakah ini suatu bentuk pembunuhan karakter orang Aceh yang dulunya menerima bantuan orang lain adalah suatu kehinaan? Tidak bisa diterka-terka.
Nah, mungkin renungan bagi kita agar kondisi seperti ini tak perlu berlarut-larut lagi di Aceh. BRR, harus segera menuntaskan agenda rehab rekons untuk mengembalikan marwah orang Aceh. BRR harus berpacu dengan waktu dalam menuntaskan proses rehab dan rekons ini. Sebab, sangat disayangkan dengan dana yang melimpah ternyata banyak agenda rehab-rekons yang terbengkalai dan tak selesai seperti perencanaan. Ini perlu ditekankan, sebab masa bagi BRR untuk menuntaskan mandatnya hanya tinggal dua tahun lagi. Jika sampai masa yang ditentukan, dan ternyata tak mampu dicapai oleh BRR, bukan sebuah kesalahan ketika ada suara yang mengatakan bahwa BRR telah gagal bekerja di Aceh. Artinya, dana yang melimpah ruah ternyata tak mampu dimanfaatkan secara tepat oleh BRR.
Kita tentu tak berharap, bahwa ketika lebaran tahun depan, kondisi masih seperti sekarang ini, di mana masih ada saja orang yang tinggal di barak. Untuk itu, moment lebaran, yang berarti kemenangan setidaknya bisa memerdekakan manusia barak ini. Setidaknya, pada lebaran mendatang kita tak lagi dihadapkan pada masalah yang sama. Tak hanya perbedaan antara si kaya dan si miskin kian lebar melainkan (dan ironis) masih ada yang “betah” tinggal di barak.
Jika itu yang terjadi, benarlah suara nyaring Dedy Dorres, seorang penyanyi ternama kita dengarkan lagi, “yang kaya tertawa, berpesta pora.” Sementara di sisi yang lain, ada Bang Joni, pemeran utama film Umpang Breuh menjerit pilu: “nyang gasien meukuwien lam tika”
sudah dimuat di Majalah Sumber Post
Lalu, apa yang sudah berubah di Aceh setelah dua tahun lebih tsunami berlalu? Ada beberapa jawaban yang bisa diberikan, dan pasti dapat diterima. Pertama, kondisi Aceh berangsur-angsur berubah. Tata kehidupan mulai berjalan normal. Banyak berdiri gedung-gedung baru, pemukiman baru dan tentu saja kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Aceh sudah terlihat sangat ramphak, apik dan ramai. Ini tentu saja sebuah kemajuan, yang harus kita akui bersama.
Kedua, seperti sebelumnya, dan sangat kontras dengan yang pertama. Masih ada orang yang tinggal di barak. Ini tentu saja suatu kontradiksi di balik melimpahnya dana yang ditumpuk di Aceh. Target mengembalikan manusia barak ke rumah-rumah mereka tak tercapai. Sungguh memilukan.
Ketiga, seperti pada jawaban pertama, lahir orang-orang kaya baru. Ini ditandai dengan pesatnya lalu lalang mobil baru beragam jenis di Aceh. Kehidupan masyarakat Aceh sudah lebih sejahtera di banding sebelumnya. Berdirinya beberapa swalayan, café, rumah makan elite (termasuk kehadiran beberapa KFC, Pizza Hut dan sejenisnya) di mana selalu dipenuhi oleh pembeli, menunjukkan bahwa ada peningkatan pendapatan sebagian orang di Aceh. Tentu saja kondisi ini membanggakan, karena Aceh sudah lebih maju dari sebelumnya.
Tapi, apakah kondisi ini cukup memuaskan kita semua? Tentu saja jawabannya tidak. Karena ternyata, kesejahteraan hanya milik segelintir orang. Artinya, masih ada sebagian lagi yang belum sepenuhnya menikmati arti kesejahteraan, khususnya para korban tsunami (termasuk korban konflik). Bayangkan saja, kadang-kadang ada warga yang tak sanggup sekedar membeli sekilo daging meugang. Tragis memang.
Lalu, ada yang bilang, mereka tak bisa memanfaatkan kesempatan yang ada. Artinya, ketidaksejahteraan itu disebabkan oleh kemalasan, dan tak mampu menggunakan peluang. Satu sisi memang benar, tapi di sisi lain argumentasi seperti ini juga tak tepat. Karena ternyata, di samping tak semua orang bisa mengunakan kesempatan juga kadang-kadang peluang untuk itu tak tersedia. Banyak factor yang bisa digunakan dalam melihat ini, seperti tak mampu berkompetisi dan curi start seperti yang lainnya.
Hal itu, tak dengan serta merta kesalahan mereka. Sebab, bahkan sudah diyakini oleh banyak orang bahwa bantuan yang melimpah di Aceh membuat masyarakat menjadi malas, atau menjadi penerima bantuan yang pasif. Ini pelajaran yang didapat dari masa awal-awal bencana. Banyaknya pemberian bantuan cenderung membuat para korban menjadi orang-orang malas. Mereka hanya sekedar menjadi penerima bantuan. Mereka sama sekali tak bisa berfikir produktif, karena segala bantuan mereka sudah ada yang menangani. Semuanya serba instant dan sudah terhidang di depan mereka.
Padahal, hakikat bantuan hanyalah sekedar membantu mereka melewati masa transisi, yang tentu saja sangat berat. Pihak pemberi bantuan berharap bisa memulihkan kondisi buruk tersebut, dan tak terlalu berlarut-larut dalam kondisi buruk tersebut. Tapi, target seperti ini yang tak tercapai. Dan ini cukup disayangkan. Padahal, dalam sejarahnya, Aceh adalah selalu menjadi pemberi bantuan untuk orang lain. Menerima bantuan bagi orang Aceh adalah tindakan yang memalukan dan rendah.
Contoh untuk ini bisa kita sebutkan satu persatu, bahkan tak akan cukup ruang kecil seperti ini menuliskannya. Sebut saja, pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia, di mana Aceh menjadi bangsa penyumbang terbesar dan satu-satunya di Nusantara. Malah, bantuan yang diberikan oleh orang Aceh sama sekali tak sanggup difikirkan oleh daerah lain, karena saat itu semua bagian di Nusantara dalam dominasi asing (Belanda). Contoh lainnya dapat pula dilihat saat Indonesia menderita krisis moneter dan ekonomi. Ketika orang lain terpuruk dalam kemiskinan, tapi di Aceh malah lahir orang-orang kaya. Hal ini terlihat dari banyaknya orang Aceh yang membeli sepeda motor dan menyimpan uangnya di Bank. Selain itu, orang Aceh masih mampu menyumbang untuk orang lain.
Karena itu, ketika Aceh dilanda musibah, dan bantuan yang diberikan membuat orang Aceh menjadi pemalas dan sekedar penerima bantuan, tentu saja sesuatu yang memiriskan hati. Ini sudah kebalikan dari sejarah. Sama sekali tak lazim bagi orang Aceh. Pertanyaan kita, tentu saja ada yang salah dari proses memenej bantuan, sehingga membuat orang Aceh menjadi pemalas. Adakah ini suatu bentuk pembunuhan karakter orang Aceh yang dulunya menerima bantuan orang lain adalah suatu kehinaan? Tidak bisa diterka-terka.
Nah, mungkin renungan bagi kita agar kondisi seperti ini tak perlu berlarut-larut lagi di Aceh. BRR, harus segera menuntaskan agenda rehab rekons untuk mengembalikan marwah orang Aceh. BRR harus berpacu dengan waktu dalam menuntaskan proses rehab dan rekons ini. Sebab, sangat disayangkan dengan dana yang melimpah ternyata banyak agenda rehab-rekons yang terbengkalai dan tak selesai seperti perencanaan. Ini perlu ditekankan, sebab masa bagi BRR untuk menuntaskan mandatnya hanya tinggal dua tahun lagi. Jika sampai masa yang ditentukan, dan ternyata tak mampu dicapai oleh BRR, bukan sebuah kesalahan ketika ada suara yang mengatakan bahwa BRR telah gagal bekerja di Aceh. Artinya, dana yang melimpah ruah ternyata tak mampu dimanfaatkan secara tepat oleh BRR.
Kita tentu tak berharap, bahwa ketika lebaran tahun depan, kondisi masih seperti sekarang ini, di mana masih ada saja orang yang tinggal di barak. Untuk itu, moment lebaran, yang berarti kemenangan setidaknya bisa memerdekakan manusia barak ini. Setidaknya, pada lebaran mendatang kita tak lagi dihadapkan pada masalah yang sama. Tak hanya perbedaan antara si kaya dan si miskin kian lebar melainkan (dan ironis) masih ada yang “betah” tinggal di barak.
Jika itu yang terjadi, benarlah suara nyaring Dedy Dorres, seorang penyanyi ternama kita dengarkan lagi, “yang kaya tertawa, berpesta pora.” Sementara di sisi yang lain, ada Bang Joni, pemeran utama film Umpang Breuh menjerit pilu: “nyang gasien meukuwien lam tika”
sudah dimuat di Majalah Sumber Post
Tags:
Essay