Pram dan Aceh

Memulai tulisan ini, saya kutip sebuah dialog dalam buku “Bumi Manusia” yang menunjukkan betapa tegarnya seorang Pram. Lewat mulut Nyai Ontosoroh yang dijadikan tokoh sentral dalam novel tetralogi pulau buru-nya, Pram bertanya:

Minke: Kita kalah, Ma!
Nyai Ontosoroh: Kita telah melawan Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Dialog itu terjadi, ketika Annelies, putri Nyi Ontosoroh, yang berbapakan Belanda akhirnya harus kembali ke Negeri Belanda. Pihak dari istri pertama bapaknya memenangkan kasus gugatan di pengadilan. Minke (sang Suami) dan Nyi Ontosoroh (sang Ibu) tak sanggup menahannya untuk tidak pergi. Segala daya telah dilakukan, tapi kuatnya dominasi asing membuat mereka kalah.

Lewat dialog itu, kita bisa membaca bagaimana tegarnya Pram terhadap nasib yang menimpanya. Dan melalui mulut Nyai Ontosoroh, Pram masih mampu berucap: Kita telah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Pram seringkali disebut sebagai pahlawan yang kalah, namun selalu tegar membela kebenaran, keadilan dan keindahan.

Kini, Pramoedya Ananta Toer yang tegar itu tak kuasa melawan takdirnya sendiri. Minggu (30/04/06) sekitar pukul 09.00 WIB di rumahnya di kawasan Jl Multikarya II No 26, Utan Kayu Jakarta Timur, sastrawan Indonesia itu menghembuskan nafas terakhir. Tak hanya masyarakat Indonesia, seluruh dunia juga berduka. Benar, Indonesia kehilangan seorang sastrawan besar yang namanya berulang-kali masuk dalam nominasi sebagai penerima Nobel.

Lalu, bagaimana hubungan Pram dengan Aceh? Apakah masyarakat Aceh juga ikut berduka? Lalu, kenapa judul tulisan ini mempersandingkan nama Pram dengan Aceh?

Saya termasuk orang tidak akrab dengan karya-karya Pram. Seingat saya, baru Bumi Manusia yang selesai saya baca. Selebihnya, hanya saya buka sekilas seperti Arus Balik, Panggil Aku Kartini saja, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca dan lain-lain. Dari buku Bumi Manusia, saya dapati betapa besar penghormatannya terhadap Aceh.

Pram seperti bisa diikuti dalam karya-karyanya punya kenangan tentang Aceh, hingga membuatnya 'bosan' menjadi orang Indonesia. Bagaimana Dia menyesali dirinya dilahirkan sebagai orang Indonesia karena pemerintahnya mengumumkan perang atas Aceh. Dia begitu kesal dan menyesal, karena ketika pemerintahnya mengumumkan perang kepada rakyat Aceh saat Darurat Militer, justru dengan mengklaim sikap seluruh warga Negara di mana Pram masuk di dalamnya. Inilah sisi di mana Pram begitu mencintai dan mengagumi Aceh.

Memang Pram, belum pernah menulis buku yang secara khusus tentang Aceh. Tetapi, nama Aceh telah mulai digelindingkan dalam Bumi Manusia. Ia gambarkan Aceh begitu kuat, suci dan teguh memegang prinsip. Tak hanya itu, dalam Bumi Manusia, Pram juga membuat perbedaan antara manusia Aceh dan manusia Indonesia (Jawa). Di mana gambaran manusia Aceh telah membuatnya berdecak kagum. Hal yang tidak dia temui pada manusia Jawa. Padahal Pram berasal dari lingkungan budaya Jawa yang kental.

Bukan hanya itu, dalam sebuah essai yang ditulisnya di tahun 1976 berjudul, “Terakhir kali Nonton Wayang”, Pram menulis, “1973 sekali lagi aku nonton wayang. Hanya sekali”. Essai ini merupakan kritik terhadap wayang yang menghancurkan diri manusia Jawa dengan membius mereka dengan fantasi terhadap dewa-dewi dan keindahan kehidupan kerajaan dan menjadikannya buta terhadap kemalangan dirinya sendiri.

Tak hanya itu, dalam Bumi Manusia, Pram memberi nama tokoh sentralnya Minke. Di mana nama itu menjadi bahan olok-olokan para guru-nya yang umumnya berasal dari Eropa. Bukankah, kata Minke mirip dengan kata dalam bahasa Inggris “Monkey” yang memiliki arti monyet!
Cinta Pram pada Aceh
Pada peringatan 80 Tahun usianya, Pram lebih memilih merayakannya dengan melakukan refleksi terhadap Aceh. Bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM), 6 Februari 2005, Pram yang sudah tua itu berbicara tentang Aceh secara berapi-api. Dia amat berduka, Aceh yang sangat ia banggakan tidak pernah berhenti ditimpa bencana. Malah ketika dia mendengar Tsunami menghantam Aceh, dia mengaku hampir lumpuh. Ia berobsesi melihat Aceh maju kembali. Bahkan ia yakin, Aceh akan kembali menemukan kejayaannya.

Pram juga menyebutkan, bahwa heroisme manusia Aceh tak ada tandingannya. “Orang Aceh itu punya keberanian individu, satu orang berani melakukan perlawanan terhadap konvoi tentara Belanda. Sementara orang Jawa hanya berani ketika berkelompok.” Tak pelak, pernyataan Pram itu menuai kontroversi. Tapi, saya kira semua orang akan memakluminya.

Di perayaan ulang tahun ke-80 itu, Pram juga berkeinginan untuk menulis tentang Aceh dalam ensiklopedi yang dia beri judul “Ensiklopedi Kawasan Nusantara” yang sampai sekarang belum selesai. Rencananya dalam ensiklopedi itu, nama Aceh akan menjadi pembahasan utama dalam buku-nya. 

"Saya ingin menulis secara utuh tentang Aceh dan menempatkannya sebagai pembahasan utama dalam buku saya," katanya. Sayang takdir yang membuatnya tak bisa meneruskan karya tersebut.

Pram memang pribadi tegar. Ia menganggap berdoa meminta sesuatu pada Tuhan menunjukkan kelemahan. Menurutnya, jika kita sanggup melakukan sendiri kenapa harus meminta-meminta. Tapi, akhirnya Pram juga harus mengakui, bahwa Tuhan lebih perkasa daripada seorang Pram!

Mengakhiri tulisan ini—seperti mengawalinya—saya kutip sebuah syair dari milis “ruang baca” yang di posting oleh seseorang. Begini bunyi-nya:

Selamat Jalan, Pram
Selamat jalan, buku
Selamat sampai di ibukata, ibunya rindu
Selamat terbang mengarungi ziarah waktu
Maafkan kami yang belum usai membacamu

(JP, 30/4/2006)

Post a Comment

Previous Post Next Post