Gempa dan tsunami 26 Desember 2004 lalu banyak membawa perubahan dalam proses penyelesaian konflik Aceh. Simpati dari masyarakat baik di tingkat nasional maupun internasional terus mengalir ke Aceh. Musibah telah mengetuk hati semua pihak untuk membantu beban derita rakyat Aceh yang sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Dan baru sekarang simpati itu datang.
Pertanyaannya kemudian adalah pelajaran apa yang dapat diambil dari musibah gempa bagi upaya penyelesaian konflik Aceh? Pertanyaan ini yang perlu dipikirkan secara matang, agar pascabencana ini, rakyat Aceh tidak lagi jatuh dalam konflik yang berkepanjangan. Sudah cukup penderitaan dialami oleh rakyat Aceh sekarang. Pascatsunami, rakyat Aceh tidak lagi mengalami penderitaan yang hebat: trauma akibat gempa dan frustrasi karena konflik tak juga selesai.
Gempa juga telah memperbaiki citra negatif masyarakat Aceh di mata saudara-saudaranya. Jika sebelumnya, rakyat Aceh dipandang sebagai sosok yang berbahaya kini sudah berubah total.
Tidak ada lagi diskriminasi terhadap warga Aceh. Malah tempat-tempat tinggal masyarakat didatangi untuk diberikan bantuan. Selain itu, masyarakat juga menyampaikan rasa simpati dan duka yang mendalam atas musibah yang menimpa masyarakat Aceh.
Keberadaan masyarakat Aceh juga tidak lagi dicurigai dan dimatai-matai. Malah masyarakat Aceh diterima dengan senang hati.
Kita masih ingat ketika awal-awal pemberlakuan Darurat Militer di Aceh pada awal Mei 2003 lalu. Setiap orang Aceh dicurigai sebagai pelarian atau GAM. Tempat-tempat tinggal orang Aceh dirazia. Keberadaan orang Aceh selalu diawasi dengan ketat. Tidak sedikit juga yang ditangkap, dan lain sebagainya.
Sekarang, orang yang tiba dari Aceh dibantu dan dihormati. Pihak rumah sakit menggratiskan pengobatan untuk masyarakat Aceh yang baru datang. Pokoknya, tidak ada lagi tuduhan pelarian atau GAM.
Stigma itu dengan sendirinya hilang dan berganti dengan rasa simpati. Semua ini merupakan sebuah perkembangan yang cukup positif bagi upaya penyelesaian Aceh.
Perkembangan itu merupakan modal awal untuk membangun kembali proses damai di Aceh karena: Pertama, gempa di Aceh sudah mengubah citra Aceh yang negatif menjadi baik: Dari sikap benci menjadi simpati. Hal ini dapat dilihat dari antusiasnya masyarakat membantu korban tsunami di Aceh.
Banyak pihak yang meminta status darurat sipil dicabut di Aceh agar terbuka akses bagi pihak internasional untuk membantu Aceh. Sikap ini sungguh sangat kontras dari sebelumnya.
Kedua, gempa harus dibaca sebagai isyarat untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Aceh. Terjadinya gempa membuat proses gencatan senjata tercipta dengan sendirinya. Tidak terdengar lagi kontak senjata dan perang antara TNI/Polri dan GAM. Semua pihak terfokus pada satu isu: bagaimana membantu korban tsunami di Aceh.
Sebelumnya, berbagai seruan yang meminta agar pihak TNI/Polri dan GAM menghentikan perang tak pernah ditanggapi. Aksi demontrasi yang meminta agar segera dilakukan dialog untuk mengakhiri konflik di Aceh seperti sia-sia. Seruan itu hanya tinggal seruan, karena di Aceh konflik menjadi semakin meruncing dan rasanya sulit tercipta kembali suasana seperti CoHA. Ternyata Tuhan berkehendak lain, dengan gempa gencatan senjata tercipta dengan sendirinya. Gempa juga harus dibaca sebagai doa rakyat kecil yang berharap konflik segera berakhir agar mereka kembali dapat hidup dengan tenang.
Mereka selalu berharap agar perdamaian benar-benar terwujud. Tapi, harapan mereka tak pernah terwujud. Malah setiap hari ada anggota masyarakat yang menjadi korban. Masyarakat hidup dalam suasana tertekan dan mencekam.
Setiap kali rakyat Aceh ditanya apa yang mereka inginkan untuk Aceh. Mereka selalu menjawab, ”Komoe kahek hudep lam konflik, kamoe ingin dame.”(Kami sudah lelah hidup dalam konflik, kami ingin damai). Tapi tak ada yang mendengar rintihan mereka.
Rintihan menjadi ratapan pilu yang berakhir dengan kematian setiap saat. Dan kini Tuhan mendengar rintihan mereka. Gempa dan badai tsunami yang dahsyat membawa mereka ke alam kedamaian yang tak ada konflik, tak ada lagi ketakutan dan tak ada pembunuhan. Kini hidup mereka benar-benar damai.
Ketiga, semua pihak dapat mengambil hikmah dari adanya gempa sebagai peringatan Tuhan untuk menghentikan konflik di Aceh. Pelajaran dari gempa yang membuat konflik TNI/Polri dan GAM terhenti dan tercipta gencatan senjata dapat menuntun kita memulai kembali proses damai di Aceh yang sudah lama macet.
Derita panjang yang dialami oleh rakyat Aceh harus segera dihentikan, dan sama-sama kita pikirkan tentang perdamaian yang begitu mereka dambakan.
Rakyat Aceh yang beberapa tahun lalu begitu diabaikan, tak diperdulikan, harus diubah untuk lebih membuat mereka terhibur. Dulu tak ada orang yang peduli dengan kematian yang setiap hari merenggut nyawa rakyat Aceh.
Tak ada yang peduli dengan penderitaan rakyat Aceh. Tak ada yang tergerak hatinya untuk membangun rumah-rumah rakyat Aceh yang terbakar. Tak ada yang memulai rekontruksi Aceh.
Malah banyak bantuan yang seharusnya dinikmati oleh rakyat Aceh, dikorupsi oleh pejabat-pejabat. Dan rakyat Aceh tidak pernah menikmati bantuan yang diperuntukkan bagi mereka.
Untuk itu, upaya pemulihan Aceh sangat mendesak dilakukan, bukan hanya pemulihan fisik melainkan juga pemulihan mental rakyat Aceh. Bagaimana Aceh yang sudah hancur berantakan dibangun kembali.
Jika perlu pembangunan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya agar penampilan fisik Aceh berubah. Pemerintah dan pihak internasional harus serius memikirkan pembangunan kembali Aceh.
Namun, upaya itu akan menjadi tidak bermakna, jika setelah bencana gempa itu tidak ada ikhtiar untuk menciptakan perdamaian permanen di Aceh, apalagi jika kemudian konflik Aceh semakin parah. Yang dibutuhkan rakyat Aceh bukan hanya pembangunan fisik, melainkan juga pembangunan perdamaian.
Bagaimana menciptakan Aceh yang damai pasca bencana gempa tersebut? Jika pasca gempa rakyat Aceh harus kembali menderita, tidak ada artinya pembangunan di Aceh. Harapan rakyat Aceh tak pernah terwujud.
Di sinilah kita harus menangkap pesan Tuhan dari gempa, yaitu mengembalikan perdamaian di Aceh dengan mengakhiri semua konflik yang begitu menyengsarakan rakyat Aceh.
Penulis adalah staf riset pada The Human Rights Institute (HRI) Jakarta. Mahasiswa IAIN Ar Raniry Banda Aceh.
--- sumber:www.sinarharapan.co.id/Rabu, 12 Januari 2005
Pertanyaannya kemudian adalah pelajaran apa yang dapat diambil dari musibah gempa bagi upaya penyelesaian konflik Aceh? Pertanyaan ini yang perlu dipikirkan secara matang, agar pascabencana ini, rakyat Aceh tidak lagi jatuh dalam konflik yang berkepanjangan. Sudah cukup penderitaan dialami oleh rakyat Aceh sekarang. Pascatsunami, rakyat Aceh tidak lagi mengalami penderitaan yang hebat: trauma akibat gempa dan frustrasi karena konflik tak juga selesai.
Gempa juga telah memperbaiki citra negatif masyarakat Aceh di mata saudara-saudaranya. Jika sebelumnya, rakyat Aceh dipandang sebagai sosok yang berbahaya kini sudah berubah total.
Tidak ada lagi diskriminasi terhadap warga Aceh. Malah tempat-tempat tinggal masyarakat didatangi untuk diberikan bantuan. Selain itu, masyarakat juga menyampaikan rasa simpati dan duka yang mendalam atas musibah yang menimpa masyarakat Aceh.
Keberadaan masyarakat Aceh juga tidak lagi dicurigai dan dimatai-matai. Malah masyarakat Aceh diterima dengan senang hati.
Kita masih ingat ketika awal-awal pemberlakuan Darurat Militer di Aceh pada awal Mei 2003 lalu. Setiap orang Aceh dicurigai sebagai pelarian atau GAM. Tempat-tempat tinggal orang Aceh dirazia. Keberadaan orang Aceh selalu diawasi dengan ketat. Tidak sedikit juga yang ditangkap, dan lain sebagainya.
Sekarang, orang yang tiba dari Aceh dibantu dan dihormati. Pihak rumah sakit menggratiskan pengobatan untuk masyarakat Aceh yang baru datang. Pokoknya, tidak ada lagi tuduhan pelarian atau GAM.
Stigma itu dengan sendirinya hilang dan berganti dengan rasa simpati. Semua ini merupakan sebuah perkembangan yang cukup positif bagi upaya penyelesaian Aceh.
Perkembangan itu merupakan modal awal untuk membangun kembali proses damai di Aceh karena: Pertama, gempa di Aceh sudah mengubah citra Aceh yang negatif menjadi baik: Dari sikap benci menjadi simpati. Hal ini dapat dilihat dari antusiasnya masyarakat membantu korban tsunami di Aceh.
Banyak pihak yang meminta status darurat sipil dicabut di Aceh agar terbuka akses bagi pihak internasional untuk membantu Aceh. Sikap ini sungguh sangat kontras dari sebelumnya.
Kedua, gempa harus dibaca sebagai isyarat untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Aceh. Terjadinya gempa membuat proses gencatan senjata tercipta dengan sendirinya. Tidak terdengar lagi kontak senjata dan perang antara TNI/Polri dan GAM. Semua pihak terfokus pada satu isu: bagaimana membantu korban tsunami di Aceh.
Sebelumnya, berbagai seruan yang meminta agar pihak TNI/Polri dan GAM menghentikan perang tak pernah ditanggapi. Aksi demontrasi yang meminta agar segera dilakukan dialog untuk mengakhiri konflik di Aceh seperti sia-sia. Seruan itu hanya tinggal seruan, karena di Aceh konflik menjadi semakin meruncing dan rasanya sulit tercipta kembali suasana seperti CoHA. Ternyata Tuhan berkehendak lain, dengan gempa gencatan senjata tercipta dengan sendirinya. Gempa juga harus dibaca sebagai doa rakyat kecil yang berharap konflik segera berakhir agar mereka kembali dapat hidup dengan tenang.
Mereka selalu berharap agar perdamaian benar-benar terwujud. Tapi, harapan mereka tak pernah terwujud. Malah setiap hari ada anggota masyarakat yang menjadi korban. Masyarakat hidup dalam suasana tertekan dan mencekam.
Setiap kali rakyat Aceh ditanya apa yang mereka inginkan untuk Aceh. Mereka selalu menjawab, ”Komoe kahek hudep lam konflik, kamoe ingin dame.”(Kami sudah lelah hidup dalam konflik, kami ingin damai). Tapi tak ada yang mendengar rintihan mereka.
Rintihan menjadi ratapan pilu yang berakhir dengan kematian setiap saat. Dan kini Tuhan mendengar rintihan mereka. Gempa dan badai tsunami yang dahsyat membawa mereka ke alam kedamaian yang tak ada konflik, tak ada lagi ketakutan dan tak ada pembunuhan. Kini hidup mereka benar-benar damai.
Ketiga, semua pihak dapat mengambil hikmah dari adanya gempa sebagai peringatan Tuhan untuk menghentikan konflik di Aceh. Pelajaran dari gempa yang membuat konflik TNI/Polri dan GAM terhenti dan tercipta gencatan senjata dapat menuntun kita memulai kembali proses damai di Aceh yang sudah lama macet.
Derita panjang yang dialami oleh rakyat Aceh harus segera dihentikan, dan sama-sama kita pikirkan tentang perdamaian yang begitu mereka dambakan.
Rakyat Aceh yang beberapa tahun lalu begitu diabaikan, tak diperdulikan, harus diubah untuk lebih membuat mereka terhibur. Dulu tak ada orang yang peduli dengan kematian yang setiap hari merenggut nyawa rakyat Aceh.
Tak ada yang peduli dengan penderitaan rakyat Aceh. Tak ada yang tergerak hatinya untuk membangun rumah-rumah rakyat Aceh yang terbakar. Tak ada yang memulai rekontruksi Aceh.
Malah banyak bantuan yang seharusnya dinikmati oleh rakyat Aceh, dikorupsi oleh pejabat-pejabat. Dan rakyat Aceh tidak pernah menikmati bantuan yang diperuntukkan bagi mereka.
Untuk itu, upaya pemulihan Aceh sangat mendesak dilakukan, bukan hanya pemulihan fisik melainkan juga pemulihan mental rakyat Aceh. Bagaimana Aceh yang sudah hancur berantakan dibangun kembali.
Jika perlu pembangunan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya agar penampilan fisik Aceh berubah. Pemerintah dan pihak internasional harus serius memikirkan pembangunan kembali Aceh.
Namun, upaya itu akan menjadi tidak bermakna, jika setelah bencana gempa itu tidak ada ikhtiar untuk menciptakan perdamaian permanen di Aceh, apalagi jika kemudian konflik Aceh semakin parah. Yang dibutuhkan rakyat Aceh bukan hanya pembangunan fisik, melainkan juga pembangunan perdamaian.
Bagaimana menciptakan Aceh yang damai pasca bencana gempa tersebut? Jika pasca gempa rakyat Aceh harus kembali menderita, tidak ada artinya pembangunan di Aceh. Harapan rakyat Aceh tak pernah terwujud.
Di sinilah kita harus menangkap pesan Tuhan dari gempa, yaitu mengembalikan perdamaian di Aceh dengan mengakhiri semua konflik yang begitu menyengsarakan rakyat Aceh.
Penulis adalah staf riset pada The Human Rights Institute (HRI) Jakarta. Mahasiswa IAIN Ar Raniry Banda Aceh.
--- sumber:www.sinarharapan.co.id/Rabu, 12 Januari 2005
Tags:
Artikel