Aceh tak hanya dikenal sebagai Serambi Mekkah, melainkan juga dikenal dengan Serambi Korupsi. Setiap ada pembahasan dan pemberitaan tentang korupsi, nama Aceh tak pernah absen disebut. Malah, kasus korupsi yang melibatkan Abdullah Puteh, mantan Gubernur Aceh, selalu jadi rujukan ketika pakar, pengamat dan pejabat KPK membahas korupsi.
Tak hanya itu, muncul istilah baru yang tak kalah parahnya, yaitu korupsi berjamaah. Tingkat keparahannya sudah mencapai titik akut. Lakab yang melekat itu bagi kita di Aceh suatu dilema sekaligus ironi. Dilema karena kondisi Aceh yang terus-menerus dibalut dengan konflik, tetapi korupsi juga tak pernah berhenti. Kondisi Aceh yang parah itu, sama sekali bukan halangan bagi para pejabat di sini untuk melakukan korupsi.
Korupsi di Aceh juga sebuah ironi. Sebagai provinsi yang sudah diberikan kebebasan menjalankan syariat Islam, melalui berbagai perangkat hukum seperti UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaaan Aceh, UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan terakhir UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, praktik korupsi tentu saja sebuah ironi.
Terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh tahun 2004 seperti badai yang menghantam sendi-sendi keistimewaan Aceh. Publik Aceh dan Nasional kaget dan tak menyangka. Seperti terbukti kemudian, Abdullah Puteh menjadi tersangka dalam kasus Mark-up Pengadaan Helikopter Mi-12 yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp6,8 Miliar. Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman untuk suami Marlinda Purnomo dengan 10 tahun penjara. Tak hanya itu, Abdullah Puteh juga dinon-aktifkan sebagai Gubernur Aceh.
Kita tidak perlu marah jika Aceh sekarang tidak lagi dikenal sebagai Serambi Mekkah tetapi Serambi Korupsi. Setidaknya inilah wacana yang berkembang akhir-akhir tentang Aceh. Selain sebagai daerah yang berkonflik, Aceh juga dikenal sebagai serambi korupsi. Sebutan itu saya temukan dalam sebuah berita di koran nasional (Koran Tempo, 24/08) ketika menyoroti kasus korupsi yang terjadi di Aceh khususnya korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh dan temuan Tim Monitoring Terpadu yang menemukan indikasi korupsi 2,7 triliun selama berlangsungnya proyek Darurat Militer di Aceh.
Aceh semakin mantap menyandang lakab serambi korupsi saat Tim monitoring terpadu saat Darurat Militer melaporkan bahwa semua sektor dan instansi pemerintahan terlibat dalam korupsi berjamaah. Lebih aneh lagi, Darurat Militer yang memiliki empat jenis operasi, operasi pemulihan keamana, operasi penegakan hukum, operasi pemulihan ekonomi dan operasi pemantapan jalannya pemerintahan juga tak luput dari praktik korupsi. Belum lagi korupsi yang melibatkan anggota DPRD Banda Aceh saat itu. Semua itu seperti membenarkan asumsi bahwa Aceh tak layak lagi disebut Serambi Mekkah.
Sebenarnya, hampir tidak ada pejabat publik di Aceh yang benar-benar bersih. Tetapi, karena sulit membuktikan, sehingga kasus-kasus korupsi itu tak pernah terungkap. Hanya yang terakhir, kasus korupsi yang melibatkan Darmili, Bupati Simeulue yang sampai sekarang masih dalam proses hukum. Selebihnya, kabur.
Baru beberapa hari lalu, mata kita terbuka kembali saat Gubernur Irwandi Yusuf melaporkan penyimpangan penggunaan dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diterima oleh Wakil Ketua bidang pencegahan, M Jasin. Dari laporan itu, ada tujuh daerah atau kabupaten terjadi penyimpangan anggaran sepanjang periode 2005-2006.
Ketujuh kabupaten itu adalah Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Nagan Raya, dan Gayo Luwes. Informasi ini terungkap berdasarkan laporan audit yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut Irwandi, setelah bertemu dengan KPK, ada tujuh berkas yang perlu ditindaklanjuti oleh KPK.
Menurut hasil audit BPK tersebut, penyelewengan anggaran di tujuh kabupaten itu, negara mengalami kerugian hingga 202 miliar. Dalam jumpa pers di gedung KPK, Irwandi mengatakan bahwa kebanyakan penyimpangan itu modusnya kebanyakan kas bon.
Sebenarnya, sejak Februari lalu, Aceh sudah sering dibahas dan disorort sebagai daerah yang paling banyak kasus korupsinya, apalagi jumlahnya juga sangat banyak. Begitu informasi yang bocor ke media hasil dari rapat kerja Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD (Dewan Perwakilan Daerah) bersama jajaran Kejaksaan Agung, Polri, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Malah, menurut data dari Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Bambang Hendarso Danuri, Polda Aceh menjadi institusi kepolisian yang banyak menerima laporan dugaan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2007 yang jumlahnya sampai 24 laporan.
Sementara Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) pernah melaporkan adanya dugaan korupsi dana APBD 2006 di 14 kabupaten/kota di Provinsi Aceh kepada pihak kepolisian dan kejaksaan. Laporan Gerak Aceh itu didasarkan atas hasil penelitian dokument Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas implementasi APBD 2006 pada 14 kabupaten/kota di Aceh di mana negara mengalami kerugian senilai Rp450 miliar lebih.
Ke-14 kabupaten/kota itu adalah Aceh Barat senilai Rp 60,1 miliar, Aceh Selatan Rp 4,7 miliar, Aceh Barat Daya Rp 4,4 miliar, Aceh Tengah Rp 2,9 miliar, Banda Aceh Rp 2,9 miliar, Aceh Besar Rp 10,3 miliar. Kemudian, Kabupaten Bener Meriah Rp 313,8 miliar, Aceh Jaya Rp 5,7 miliar, Aceh Tenggara Rp 5,2 miliar, Bireuen Rp 3,4 miliar, Lhokseumawe Rp 23,3 miliar, Simeulue Rp 16,6 miliar, Sabang Rp 111 juta, Pidie Rp 46,4 juta.
Menurut Akhiruddin, terdapat 160 kasus dugaan korupsi dana APBD 2006 yang sebagian besar dananya dikelola pemerintah kabupaten/kota, namun tidak bisa dipertanggungjawabkan. []
sudah dimuat di rubrik fokus Harian Aceh Jum'at, 21 Maret 2008
Tak hanya itu, muncul istilah baru yang tak kalah parahnya, yaitu korupsi berjamaah. Tingkat keparahannya sudah mencapai titik akut. Lakab yang melekat itu bagi kita di Aceh suatu dilema sekaligus ironi. Dilema karena kondisi Aceh yang terus-menerus dibalut dengan konflik, tetapi korupsi juga tak pernah berhenti. Kondisi Aceh yang parah itu, sama sekali bukan halangan bagi para pejabat di sini untuk melakukan korupsi.
Korupsi di Aceh juga sebuah ironi. Sebagai provinsi yang sudah diberikan kebebasan menjalankan syariat Islam, melalui berbagai perangkat hukum seperti UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaaan Aceh, UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan terakhir UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, praktik korupsi tentu saja sebuah ironi.
Terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh tahun 2004 seperti badai yang menghantam sendi-sendi keistimewaan Aceh. Publik Aceh dan Nasional kaget dan tak menyangka. Seperti terbukti kemudian, Abdullah Puteh menjadi tersangka dalam kasus Mark-up Pengadaan Helikopter Mi-12 yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp6,8 Miliar. Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman untuk suami Marlinda Purnomo dengan 10 tahun penjara. Tak hanya itu, Abdullah Puteh juga dinon-aktifkan sebagai Gubernur Aceh.
Kita tidak perlu marah jika Aceh sekarang tidak lagi dikenal sebagai Serambi Mekkah tetapi Serambi Korupsi. Setidaknya inilah wacana yang berkembang akhir-akhir tentang Aceh. Selain sebagai daerah yang berkonflik, Aceh juga dikenal sebagai serambi korupsi. Sebutan itu saya temukan dalam sebuah berita di koran nasional (Koran Tempo, 24/08) ketika menyoroti kasus korupsi yang terjadi di Aceh khususnya korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh dan temuan Tim Monitoring Terpadu yang menemukan indikasi korupsi 2,7 triliun selama berlangsungnya proyek Darurat Militer di Aceh.
Aceh semakin mantap menyandang lakab serambi korupsi saat Tim monitoring terpadu saat Darurat Militer melaporkan bahwa semua sektor dan instansi pemerintahan terlibat dalam korupsi berjamaah. Lebih aneh lagi, Darurat Militer yang memiliki empat jenis operasi, operasi pemulihan keamana, operasi penegakan hukum, operasi pemulihan ekonomi dan operasi pemantapan jalannya pemerintahan juga tak luput dari praktik korupsi. Belum lagi korupsi yang melibatkan anggota DPRD Banda Aceh saat itu. Semua itu seperti membenarkan asumsi bahwa Aceh tak layak lagi disebut Serambi Mekkah.
Sebenarnya, hampir tidak ada pejabat publik di Aceh yang benar-benar bersih. Tetapi, karena sulit membuktikan, sehingga kasus-kasus korupsi itu tak pernah terungkap. Hanya yang terakhir, kasus korupsi yang melibatkan Darmili, Bupati Simeulue yang sampai sekarang masih dalam proses hukum. Selebihnya, kabur.
Baru beberapa hari lalu, mata kita terbuka kembali saat Gubernur Irwandi Yusuf melaporkan penyimpangan penggunaan dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diterima oleh Wakil Ketua bidang pencegahan, M Jasin. Dari laporan itu, ada tujuh daerah atau kabupaten terjadi penyimpangan anggaran sepanjang periode 2005-2006.
Ketujuh kabupaten itu adalah Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Nagan Raya, dan Gayo Luwes. Informasi ini terungkap berdasarkan laporan audit yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut Irwandi, setelah bertemu dengan KPK, ada tujuh berkas yang perlu ditindaklanjuti oleh KPK.
Menurut hasil audit BPK tersebut, penyelewengan anggaran di tujuh kabupaten itu, negara mengalami kerugian hingga 202 miliar. Dalam jumpa pers di gedung KPK, Irwandi mengatakan bahwa kebanyakan penyimpangan itu modusnya kebanyakan kas bon.
Sebenarnya, sejak Februari lalu, Aceh sudah sering dibahas dan disorort sebagai daerah yang paling banyak kasus korupsinya, apalagi jumlahnya juga sangat banyak. Begitu informasi yang bocor ke media hasil dari rapat kerja Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD (Dewan Perwakilan Daerah) bersama jajaran Kejaksaan Agung, Polri, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Malah, menurut data dari Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Bambang Hendarso Danuri, Polda Aceh menjadi institusi kepolisian yang banyak menerima laporan dugaan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2007 yang jumlahnya sampai 24 laporan.
Sementara Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) pernah melaporkan adanya dugaan korupsi dana APBD 2006 di 14 kabupaten/kota di Provinsi Aceh kepada pihak kepolisian dan kejaksaan. Laporan Gerak Aceh itu didasarkan atas hasil penelitian dokument Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas implementasi APBD 2006 pada 14 kabupaten/kota di Aceh di mana negara mengalami kerugian senilai Rp450 miliar lebih.
Ke-14 kabupaten/kota itu adalah Aceh Barat senilai Rp 60,1 miliar, Aceh Selatan Rp 4,7 miliar, Aceh Barat Daya Rp 4,4 miliar, Aceh Tengah Rp 2,9 miliar, Banda Aceh Rp 2,9 miliar, Aceh Besar Rp 10,3 miliar. Kemudian, Kabupaten Bener Meriah Rp 313,8 miliar, Aceh Jaya Rp 5,7 miliar, Aceh Tenggara Rp 5,2 miliar, Bireuen Rp 3,4 miliar, Lhokseumawe Rp 23,3 miliar, Simeulue Rp 16,6 miliar, Sabang Rp 111 juta, Pidie Rp 46,4 juta.
Menurut Akhiruddin, terdapat 160 kasus dugaan korupsi dana APBD 2006 yang sebagian besar dananya dikelola pemerintah kabupaten/kota, namun tidak bisa dipertanggungjawabkan. []
sudah dimuat di rubrik fokus Harian Aceh Jum'at, 21 Maret 2008
Tags:
fokus