Isu pemekaran Aceh tiba-tiba menguat. Ratusan Kepala Desa dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues menyerbu Jakarta. Mereka meminta dukungan dari elite-elite politik di Jakarta agar Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) segera dimekarkan dan berpisah dari Provinsi induk, Aceh.
Seperti diberitakan oleh detikcom, Jumat (21/3), Kepala Desa yang menyerbu Jakarta itu meminta Aceh dimekarkan menjadi 3 Provinsi, yaitu Provinsi Aceh, Aceh Leuser Antara (ALA), dan Aceh Barat Selatan (ABAS). Tak tanggung-tanggung, kalau aspirasinya tidak didengar, mereka akan membentuk Gayo Merdeka yang singakatannya sama dengan GAM.
”Jika ibu pertiwi (RI) tidak mengindahkan kami, kami akan minta pada ibu dunia (PBB). Jika tidak diindahkan juga, kami akan membentuk GAM, Gayo Merdeka,” ujar Koordinator Kades Iwan Gayo di Wisma Aceh, Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta Pusat, seperti dikutip detikcom, Minggu (21/3).
Upaya pemecahan Aceh itu, tiba-tiba mencuat ke permukaan saat usulan inisiatif DPR RI tentang pemekaran Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS) dan Aceh Leuser Antara (ALA) dibahas dalam rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/01/08). Rapat itu dipimpin Wakil Ketua DPR RI, Soetardjo Soerjogoeritno.
Sebenarnya, rapat itu untuk mendengarkan pendapat fraksi terhadap 21 Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif DPR tentang pemekaran 21 daerah kabupaten dan provinsi di Indonesia, meliputi; RUU tentang pembentukan Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Selatan, provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Aceh Barat Selatan, Provinsi Aceh Leuser Antara, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Barat Daya, Pembentukan Kabupaten Manokwari Selatan di Provinsi Papua Barat, Pembentukan Kabupaten Pegunungan Arfak di Provinsi Papua, Kabupaten Grime Nawa di Papua Barat, Kabupaten Pesisir Barat di Provinsi Lampung.
Berikutnya, Kabupaten Banggai Laut di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Morowali Utara di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Kolaka Timur di Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Raha di Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Musi Rawas di Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir di Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Rokan Darussalam di Provinsi Riau, dan RUU Pembentukan Kabupaten Mamuju Tengah di Provinsi Sulawesi Barat.
Saat itu hanya ada satu anggota DPR asal Aceh yang duduk di Fraksi PBR, Zainal Abidin Husein yang melakukan interupsi sesaat sebelum rapat paripurna berakhir yang menyatakan penolakannya terhadap pembentukan Provinsi ABAS dan ALA. Menurut Zainal saat itu, usulan pembentukan ABAS dan ALA merupakan usulan yang sudah kadaluarsa karena usulan itu masuk sebelum UU Pemerintahan Aceh.
Zainal berpendapat, setelah UU Pemerintahan Aceh disahkan, tidak perlu lagi ada pemekaran Provinsi Aceh karena UU PA telah mengakomodir semua kepentingan di Aceh. Jika tetap usulan itu diterima oleh DPR, berarti akan terjadi perbenturan dengan Undang-Undang yang ada. Pimpinan sidang saat itu tidak bisa mengambil sebuah keputusan, dan menyerahkan usulan tersebut dibahas di Komisi II DPR.
Lalu, bagaimana sikap Pemerintah Aceh. Dalam berbagai kesempatan, Kepala Pemerintahan Aceh, Irwandi Yusuf menolak tegas pemekaran Aceh. Menurutnya pemekaran Aceh merupakan tindakan yang melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Tak hanya itu, pemekaran provinsi Aceh juga bertentangan dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Dalam MoU Helsinki, jelas dinyatakan bahwa batas Wilayah Aceh merujuk batas 1 Juli 1956, seperti luas Aceh sekarang.
Bagi Irwandi Yusuf, upaya memecah Aceh tak lebih sebagai tindakan yang mengobok-obok Aceh. Bahkan Irwandi mengaku akan melawan dengan sekuat tenaga elite-elite politik di Jakarta, untuk mempertahankan keutuhan wilayah Aceh dan perdamaian. Seperti dikutip sebuah harian terbitan lokal, Irwandi menuding elite-elite yang memprovokasi pemekaran Aceh sebagai orang yang memiliki otak-otak kotor.
Irwandi sangat yakin, Aceh tidak akan terpecah-pecah jika semua rakyat Aceh mempertahankannya, termasuk rakyat yang ada di ALA dan ABAS. ”Hanya elit-elit kegatalan yang ingin Aceh ini pemekaran. Ya, Aceh adalah Aceh, titik,” begitu jawab Irwandi terkait dengan isu pemekaran Aceh.
Keseriusan Irwandi menjaga keutuhan Aceh patut diacungi jempol. Karena bagaimana pun, Aceh adalah sebuah entitas politik yang perlu dijaga dan dipelira. Aceh tanpa ALA dan ABAS, tidaklah sempurna disebut sebagai Aceh. Lagipula ide pemekaran itu, bukan muncul dan mengakar di masyarakat. Irwandi plus Muhammad Nazar sangat yakin akan hal itu. Buktinya, dalam Pilkada 2006 lalu, Irwandi-Nazar meraih kemenangan yang sangat signifikan di daerah-daerah tersebut.
Dalam mempertahankan keutuhan Aceh, Irwandi yang mantan juru propaganda GAM tidak kehilangan akal. Berbagai cara dilakukan untuk mempertahankan Aceh yang sekarang di bawah pimpinannya.
Baru-baru ini, Irwandi melaporkan penyimpangan penggunaan dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diterima oleh Wakil Ketua bidang pencegahan, M Jasin. Dari laporan itu, ada tujuh daerah atau kabupaten terjadi penyimpangan anggaran sepanjang periode 2005-2006 yang membuat negara mengalami kerugian sebesar Rp202 miliar.
Ketujuh kabupaten itu adalah Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Nagan Raya, dan Gayo Luwes. Daerah-daerah itu masuk dalam daerah yang menuntut pemekaran.
Isu korupsi setidaknya mampu meredam keinginan para elit-elit yang sekarang tidak menjabat lagi. Elit-elit yang menuntut pemekaran itu sama sekali tidak mewakili kepentingan masyarakat, khususnya jika hasil Pilkada dijadikan sebagai patokannya. Aspirasi pemekaran, murni keinginan elit yang ingin mendapatkan jabatan-jabatan Gubernur, Ketua DPRA dan lain-lain karena dengan adanya pemekaran, jabatan-jabatan tersedia di depan mata.
Jika boleh berburuk sangka, orang-orang yang sekarang terlibat dalam perjuangan pemekaran sebenarnya adalah orang-orang yang terlibat langsung konfrontasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), katakanlah para milisi. Jadi, isu pemekaran itu tidak boleh dilihat satu sisi saja, karena berbagai kejadian terakhir seperti pembakaran kantor KPA dan anggotanya, jelas memiliki hubungan ke arah itu. Ada skenario jahat yang sedang dirancang untuk menghancurkan Aceh, dan memecahbelah Aceh menjadi terkotak-kotak. [dbs]
NB: sudah dimuat di rubrik Fokus Harian Aceh, Sabtu 22 Maret 2008
Seperti diberitakan oleh detikcom, Jumat (21/3), Kepala Desa yang menyerbu Jakarta itu meminta Aceh dimekarkan menjadi 3 Provinsi, yaitu Provinsi Aceh, Aceh Leuser Antara (ALA), dan Aceh Barat Selatan (ABAS). Tak tanggung-tanggung, kalau aspirasinya tidak didengar, mereka akan membentuk Gayo Merdeka yang singakatannya sama dengan GAM.
”Jika ibu pertiwi (RI) tidak mengindahkan kami, kami akan minta pada ibu dunia (PBB). Jika tidak diindahkan juga, kami akan membentuk GAM, Gayo Merdeka,” ujar Koordinator Kades Iwan Gayo di Wisma Aceh, Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta Pusat, seperti dikutip detikcom, Minggu (21/3).
Upaya pemecahan Aceh itu, tiba-tiba mencuat ke permukaan saat usulan inisiatif DPR RI tentang pemekaran Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS) dan Aceh Leuser Antara (ALA) dibahas dalam rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/01/08). Rapat itu dipimpin Wakil Ketua DPR RI, Soetardjo Soerjogoeritno.
Sebenarnya, rapat itu untuk mendengarkan pendapat fraksi terhadap 21 Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif DPR tentang pemekaran 21 daerah kabupaten dan provinsi di Indonesia, meliputi; RUU tentang pembentukan Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Selatan, provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Aceh Barat Selatan, Provinsi Aceh Leuser Antara, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Barat Daya, Pembentukan Kabupaten Manokwari Selatan di Provinsi Papua Barat, Pembentukan Kabupaten Pegunungan Arfak di Provinsi Papua, Kabupaten Grime Nawa di Papua Barat, Kabupaten Pesisir Barat di Provinsi Lampung.
Berikutnya, Kabupaten Banggai Laut di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Morowali Utara di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Kolaka Timur di Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Raha di Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Musi Rawas di Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir di Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Rokan Darussalam di Provinsi Riau, dan RUU Pembentukan Kabupaten Mamuju Tengah di Provinsi Sulawesi Barat.
Saat itu hanya ada satu anggota DPR asal Aceh yang duduk di Fraksi PBR, Zainal Abidin Husein yang melakukan interupsi sesaat sebelum rapat paripurna berakhir yang menyatakan penolakannya terhadap pembentukan Provinsi ABAS dan ALA. Menurut Zainal saat itu, usulan pembentukan ABAS dan ALA merupakan usulan yang sudah kadaluarsa karena usulan itu masuk sebelum UU Pemerintahan Aceh.
Zainal berpendapat, setelah UU Pemerintahan Aceh disahkan, tidak perlu lagi ada pemekaran Provinsi Aceh karena UU PA telah mengakomodir semua kepentingan di Aceh. Jika tetap usulan itu diterima oleh DPR, berarti akan terjadi perbenturan dengan Undang-Undang yang ada. Pimpinan sidang saat itu tidak bisa mengambil sebuah keputusan, dan menyerahkan usulan tersebut dibahas di Komisi II DPR.
Lalu, bagaimana sikap Pemerintah Aceh. Dalam berbagai kesempatan, Kepala Pemerintahan Aceh, Irwandi Yusuf menolak tegas pemekaran Aceh. Menurutnya pemekaran Aceh merupakan tindakan yang melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Tak hanya itu, pemekaran provinsi Aceh juga bertentangan dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Dalam MoU Helsinki, jelas dinyatakan bahwa batas Wilayah Aceh merujuk batas 1 Juli 1956, seperti luas Aceh sekarang.
Bagi Irwandi Yusuf, upaya memecah Aceh tak lebih sebagai tindakan yang mengobok-obok Aceh. Bahkan Irwandi mengaku akan melawan dengan sekuat tenaga elite-elite politik di Jakarta, untuk mempertahankan keutuhan wilayah Aceh dan perdamaian. Seperti dikutip sebuah harian terbitan lokal, Irwandi menuding elite-elite yang memprovokasi pemekaran Aceh sebagai orang yang memiliki otak-otak kotor.
Irwandi sangat yakin, Aceh tidak akan terpecah-pecah jika semua rakyat Aceh mempertahankannya, termasuk rakyat yang ada di ALA dan ABAS. ”Hanya elit-elit kegatalan yang ingin Aceh ini pemekaran. Ya, Aceh adalah Aceh, titik,” begitu jawab Irwandi terkait dengan isu pemekaran Aceh.
Keseriusan Irwandi menjaga keutuhan Aceh patut diacungi jempol. Karena bagaimana pun, Aceh adalah sebuah entitas politik yang perlu dijaga dan dipelira. Aceh tanpa ALA dan ABAS, tidaklah sempurna disebut sebagai Aceh. Lagipula ide pemekaran itu, bukan muncul dan mengakar di masyarakat. Irwandi plus Muhammad Nazar sangat yakin akan hal itu. Buktinya, dalam Pilkada 2006 lalu, Irwandi-Nazar meraih kemenangan yang sangat signifikan di daerah-daerah tersebut.
Dalam mempertahankan keutuhan Aceh, Irwandi yang mantan juru propaganda GAM tidak kehilangan akal. Berbagai cara dilakukan untuk mempertahankan Aceh yang sekarang di bawah pimpinannya.
Baru-baru ini, Irwandi melaporkan penyimpangan penggunaan dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diterima oleh Wakil Ketua bidang pencegahan, M Jasin. Dari laporan itu, ada tujuh daerah atau kabupaten terjadi penyimpangan anggaran sepanjang periode 2005-2006 yang membuat negara mengalami kerugian sebesar Rp202 miliar.
Ketujuh kabupaten itu adalah Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Nagan Raya, dan Gayo Luwes. Daerah-daerah itu masuk dalam daerah yang menuntut pemekaran.
Isu korupsi setidaknya mampu meredam keinginan para elit-elit yang sekarang tidak menjabat lagi. Elit-elit yang menuntut pemekaran itu sama sekali tidak mewakili kepentingan masyarakat, khususnya jika hasil Pilkada dijadikan sebagai patokannya. Aspirasi pemekaran, murni keinginan elit yang ingin mendapatkan jabatan-jabatan Gubernur, Ketua DPRA dan lain-lain karena dengan adanya pemekaran, jabatan-jabatan tersedia di depan mata.
Jika boleh berburuk sangka, orang-orang yang sekarang terlibat dalam perjuangan pemekaran sebenarnya adalah orang-orang yang terlibat langsung konfrontasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), katakanlah para milisi. Jadi, isu pemekaran itu tidak boleh dilihat satu sisi saja, karena berbagai kejadian terakhir seperti pembakaran kantor KPA dan anggotanya, jelas memiliki hubungan ke arah itu. Ada skenario jahat yang sedang dirancang untuk menghancurkan Aceh, dan memecahbelah Aceh menjadi terkotak-kotak. [dbs]
NB: sudah dimuat di rubrik Fokus Harian Aceh, Sabtu 22 Maret 2008
Tags:
fokus