Aneh! Pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2008 terlambat lagi, seperti nasib APBA sebelumnya. Pihak Eksekutif dan Legislatif harus bertanggung jawab atas masalah ini, karena sudah mempermainkan nasib rakyat selama setahun. Apalagi, jika batas deadline dilampau, Aceh akan dikenakan penalty berupa pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 30 persen dari dana bagi hasil, di mana dana tersebut tidak bisa ditarik dari pemerintah pusat. Siapa yang dirugikan dari keterlambatan ini?
Sampai tulisan ini diturunkan, DPR Aceh belum juga mengesahkan APBA 2008. Padahal, sekarang sudah memasuki bulan April, di mana seharusnya APBA sudah disahkan oleh DPRA. Akibatnya, Pemerintah Aceh belum bisa melakukan action plan pembangunan sejumlah proyek dan program pembangunan selama setahun anggaran.
Sebenarnya, jika didalami secara serius, keterlambatan pengesahan APBA bukan hal baru lagi di Aceh. Selama lima tahun terakhir, Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) selalu terlambat disahkan dan ditetapkan. Pihak legislatif maupun eksekutif sama sekali tidak merasa bersalah, dan tidak ada niat untuk memperbaiki kinerja dalam membahas APBA di masa mendatang.
Keterlambatan itu seperti sudah biasa di Aceh. APBD tahun 2003, misalnya, baru disahkan pada April 2003. Begitu juga dengan APBD 2005, yang disahkan pada akhir April 2006. Tahun lalu, APBA 2007 juga telat disahkan, yaitu pada akhir Juni 2007. Nasib APBA 2008 yang seharusnya sudah disahkan, juga belum jelas nasibnya.
Pertanyaan kita, kenapa APBA 2008 terlambat disahkan? Di mana letak kendalanya? Atau apa yang sebenarnya sedang terjadi sampai hajat hidup orang Aceh dipermainkan oleh para wakilnya sendiri?
Berita yang dilempar ke publik, lambatnya pengesahan APBA 2008 karena legislatif disibukkan dengan pembahasan Qanun Dana Migas dan Otsus yang harus disetujui terlebih dahulu. Pengesahan ini mutlak dilakukan sebagai payung hukum bagi pembagian dana tersebut kepada kabupaten/kota. Masalahnya kemudian, alokasi dana yang sudah berhasil dibahas tersebut terkendala dengan keluarnya peraturan Menkeu tentang Prognosa Dana Migas untuk Aceh tahun 2008, yang diperkirakan akan turun Rp1,4 triliun dari perhitungan yang dilakukan oleh eksekutif. Hal ini menjadi masalah, karena berpengaruh pada pembiayaan program pembangunan yang anggarannya diambil dari dana pembagian migas.
Terlambatnya pengesahan APBA juga terjadi akibat perubahan kebijakan pemerintah terhadap provinsi. Pemerintah tentu saja mewanti-wanti daerah yang memiliki nilai APBA besar ditakutkan tidak bisa terealisasi karena terbatasnya SDM atau lemahnya pengawasan internal dan ekternal seperti dari KPK, BPK, Bawasda dan BPKP.
Apapun alasannya, itu bukanlah pembenaran bahwa APBA boleh disahkan terlambat. Soalnya, para anggota dewan setiap tahun berkutat dengan masalah pembahasan dan pengesahan APBA, tetapi setiap tahun pula terjadi keterlambatan. Setiap tahun, rakyat secara terus menerus dirugikan. Karena keterlambatan itu berpengaruh terhadap pelaksanaan program pembangunan bagi masyarakat. Apalagi jika dana yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur atau kebutuhan mendesak lainnya tidak sampai terserap, dan harus dikembalikan ke kas negara.
Artinya, ada hak-hak rakyat yang tidak dipenuhi akibat tidak terserapnya anggaran tersebut. Masalahnya, bukan dana yang tidak ada, melainkan dana yang ada tersebut tidak bisa dipergunakan.
APBA tahun 2007, misalnya, hingga 20 November 2007 realisasi anggaran 2007 baru mencapai 35,46% atau sebesar RP1,435 triliun dari pagu anggaran sebesar Rp4,047 triliun.
Akibatnya, dana sisa tersebut harus dikembalikan ke pusat. Padahal, dengan dana sejumlah itu, pemerintah sudah bisa memanfaatkan dana tersebut untuk membangun berbagai sarana publik atau menyejahterakan masyarakat. Tetapi, karena APBA telat disahkan, pemerintah tidak cukup waktu mengimplementasikan berbagai program yang telah disusun. Akhirnya, masyarakat terpaksa gigit jari, karena dana yang seharusnya dipergunakan untuk mereka harus dikembalikan.
Jika tidak segera disahkan, bukan tidak mungkin pengalaman APBA 2007 akan terulang kembali. Kita tidak bisa membayangkan, jika sampai APBA 2008 yang nilai nominalnya 2 kali APBA 2007 atau sekitar Rp7,5 triliun seperti yang sedang dibahas DPRA.
Dari jumlah ini, jumlah terbesar diperoleh dari dana Otsus dan Migas yang nilainya lebih besar sedikit dari APBA 2007 yaitu Rp4,8 triliun. Sebenarnya, dalam PASS pihak eksekutif mengusulkan ke legislatif senilai Rp9 triliun, tapi kemudian dikoreksi karena terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi jumlah dana dan Migas.
Kerugian bagi rakyat sebenarnya bukan hanya karena tak habis terserapnya APBA akibat terlambat disahkan, melainkan muncul kekhawatiran adanya upaya mengejar penyelesaian proyek yang secara teknis seharusnya selesai dalam waktu sembilan bulan, namun dipaksakan harus siap tiga bulan. Otomatis kita tidak bisa menjamin proyek tersebut memenuhi spesifikasi dan kualitas yang diharapkan.
Praktik seperti ini yang terjadi pada APBA 2007 lalu, di mana sebagian besar pengerjaan proyek baru bisa dilaksanakan kurang lebih 50 hari kerja (proses ternder) setelah penetapan APBA 2007 pada akhir Juni 2007. Dengan kata lain, jika APBA disahkan pada Juni, berarti proyek tersebut baru dapat diimplementasikan pada awal September. Lalu, mengejar penyelesaian proyek tersebut dalam rangka pencairan dana pada awal Desember 2007.
Jadi, kekhawatiran itu sudah mulai terlihat. Buktinya, sudah memasuki medio April, APBA 2008 belum juga disahkan. Keterlambatan ini sangat merugikan semua pihak, termasuk rakyat yang paling kecil sekalipun. Ini, bukan lagi terlambat, melainkan sudah sangat terlambat. Padahal seharusnya, APBA 2008 sudah harus disahkan dan ditetapkan pada Desember tahun sebelumnya. Sehingga per 1 Januari tahun berjalan, anggaran tersebut sudah bisa digunakan untuk kepentingan rakyat, karena program-program pembangunan, pemberdayaan, dan lain-lain sudah mulai dikerjakan.
Tak perlu menggunakan logika yang bertele-tele untuk memahami keterlambatan ini. Satu hari APBA terlambat disahkan, satu hari pula hak rakyat tertunda, begitu juga seterusnya.
Sebut saja, Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2008 mencapai Rp8 triliun, di mana uang tersebut harus dihabiskan dalam masa satu tahun. Artinya, uang sebanyak itu harus dihabiskan Rp26,5 miliar dalam satu hari selama 300 hari kerja.
Jika sampai terlambat, berarti setiap hari ada Rp26,5 miliar dana rakyat yang tidak terpakai atau hilang sia-sia. Artinya, dana yang sudah ada tetapi tidak dapat digunakan. Padahal, seharusnya, rakyat Aceh sudah bisa menatap masa depan dengan berlimpahnya dana yang seharusnya sudah sejak dulu dapat dinikmati. []
Sampai tulisan ini diturunkan, DPR Aceh belum juga mengesahkan APBA 2008. Padahal, sekarang sudah memasuki bulan April, di mana seharusnya APBA sudah disahkan oleh DPRA. Akibatnya, Pemerintah Aceh belum bisa melakukan action plan pembangunan sejumlah proyek dan program pembangunan selama setahun anggaran.
Sebenarnya, jika didalami secara serius, keterlambatan pengesahan APBA bukan hal baru lagi di Aceh. Selama lima tahun terakhir, Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) selalu terlambat disahkan dan ditetapkan. Pihak legislatif maupun eksekutif sama sekali tidak merasa bersalah, dan tidak ada niat untuk memperbaiki kinerja dalam membahas APBA di masa mendatang.
Keterlambatan itu seperti sudah biasa di Aceh. APBD tahun 2003, misalnya, baru disahkan pada April 2003. Begitu juga dengan APBD 2005, yang disahkan pada akhir April 2006. Tahun lalu, APBA 2007 juga telat disahkan, yaitu pada akhir Juni 2007. Nasib APBA 2008 yang seharusnya sudah disahkan, juga belum jelas nasibnya.
Pertanyaan kita, kenapa APBA 2008 terlambat disahkan? Di mana letak kendalanya? Atau apa yang sebenarnya sedang terjadi sampai hajat hidup orang Aceh dipermainkan oleh para wakilnya sendiri?
Berita yang dilempar ke publik, lambatnya pengesahan APBA 2008 karena legislatif disibukkan dengan pembahasan Qanun Dana Migas dan Otsus yang harus disetujui terlebih dahulu. Pengesahan ini mutlak dilakukan sebagai payung hukum bagi pembagian dana tersebut kepada kabupaten/kota. Masalahnya kemudian, alokasi dana yang sudah berhasil dibahas tersebut terkendala dengan keluarnya peraturan Menkeu tentang Prognosa Dana Migas untuk Aceh tahun 2008, yang diperkirakan akan turun Rp1,4 triliun dari perhitungan yang dilakukan oleh eksekutif. Hal ini menjadi masalah, karena berpengaruh pada pembiayaan program pembangunan yang anggarannya diambil dari dana pembagian migas.
Terlambatnya pengesahan APBA juga terjadi akibat perubahan kebijakan pemerintah terhadap provinsi. Pemerintah tentu saja mewanti-wanti daerah yang memiliki nilai APBA besar ditakutkan tidak bisa terealisasi karena terbatasnya SDM atau lemahnya pengawasan internal dan ekternal seperti dari KPK, BPK, Bawasda dan BPKP.
Apapun alasannya, itu bukanlah pembenaran bahwa APBA boleh disahkan terlambat. Soalnya, para anggota dewan setiap tahun berkutat dengan masalah pembahasan dan pengesahan APBA, tetapi setiap tahun pula terjadi keterlambatan. Setiap tahun, rakyat secara terus menerus dirugikan. Karena keterlambatan itu berpengaruh terhadap pelaksanaan program pembangunan bagi masyarakat. Apalagi jika dana yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur atau kebutuhan mendesak lainnya tidak sampai terserap, dan harus dikembalikan ke kas negara.
Artinya, ada hak-hak rakyat yang tidak dipenuhi akibat tidak terserapnya anggaran tersebut. Masalahnya, bukan dana yang tidak ada, melainkan dana yang ada tersebut tidak bisa dipergunakan.
APBA tahun 2007, misalnya, hingga 20 November 2007 realisasi anggaran 2007 baru mencapai 35,46% atau sebesar RP1,435 triliun dari pagu anggaran sebesar Rp4,047 triliun.
Akibatnya, dana sisa tersebut harus dikembalikan ke pusat. Padahal, dengan dana sejumlah itu, pemerintah sudah bisa memanfaatkan dana tersebut untuk membangun berbagai sarana publik atau menyejahterakan masyarakat. Tetapi, karena APBA telat disahkan, pemerintah tidak cukup waktu mengimplementasikan berbagai program yang telah disusun. Akhirnya, masyarakat terpaksa gigit jari, karena dana yang seharusnya dipergunakan untuk mereka harus dikembalikan.
Jika tidak segera disahkan, bukan tidak mungkin pengalaman APBA 2007 akan terulang kembali. Kita tidak bisa membayangkan, jika sampai APBA 2008 yang nilai nominalnya 2 kali APBA 2007 atau sekitar Rp7,5 triliun seperti yang sedang dibahas DPRA.
Dari jumlah ini, jumlah terbesar diperoleh dari dana Otsus dan Migas yang nilainya lebih besar sedikit dari APBA 2007 yaitu Rp4,8 triliun. Sebenarnya, dalam PASS pihak eksekutif mengusulkan ke legislatif senilai Rp9 triliun, tapi kemudian dikoreksi karena terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi jumlah dana dan Migas.
Kerugian bagi rakyat sebenarnya bukan hanya karena tak habis terserapnya APBA akibat terlambat disahkan, melainkan muncul kekhawatiran adanya upaya mengejar penyelesaian proyek yang secara teknis seharusnya selesai dalam waktu sembilan bulan, namun dipaksakan harus siap tiga bulan. Otomatis kita tidak bisa menjamin proyek tersebut memenuhi spesifikasi dan kualitas yang diharapkan.
Praktik seperti ini yang terjadi pada APBA 2007 lalu, di mana sebagian besar pengerjaan proyek baru bisa dilaksanakan kurang lebih 50 hari kerja (proses ternder) setelah penetapan APBA 2007 pada akhir Juni 2007. Dengan kata lain, jika APBA disahkan pada Juni, berarti proyek tersebut baru dapat diimplementasikan pada awal September. Lalu, mengejar penyelesaian proyek tersebut dalam rangka pencairan dana pada awal Desember 2007.
Jadi, kekhawatiran itu sudah mulai terlihat. Buktinya, sudah memasuki medio April, APBA 2008 belum juga disahkan. Keterlambatan ini sangat merugikan semua pihak, termasuk rakyat yang paling kecil sekalipun. Ini, bukan lagi terlambat, melainkan sudah sangat terlambat. Padahal seharusnya, APBA 2008 sudah harus disahkan dan ditetapkan pada Desember tahun sebelumnya. Sehingga per 1 Januari tahun berjalan, anggaran tersebut sudah bisa digunakan untuk kepentingan rakyat, karena program-program pembangunan, pemberdayaan, dan lain-lain sudah mulai dikerjakan.
Tak perlu menggunakan logika yang bertele-tele untuk memahami keterlambatan ini. Satu hari APBA terlambat disahkan, satu hari pula hak rakyat tertunda, begitu juga seterusnya.
Sebut saja, Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2008 mencapai Rp8 triliun, di mana uang tersebut harus dihabiskan dalam masa satu tahun. Artinya, uang sebanyak itu harus dihabiskan Rp26,5 miliar dalam satu hari selama 300 hari kerja.
Jika sampai terlambat, berarti setiap hari ada Rp26,5 miliar dana rakyat yang tidak terpakai atau hilang sia-sia. Artinya, dana yang sudah ada tetapi tidak dapat digunakan. Padahal, seharusnya, rakyat Aceh sudah bisa menatap masa depan dengan berlimpahnya dana yang seharusnya sudah sejak dulu dapat dinikmati. []
Tags:
fokus