Oleh Taufik Al Mubarak
Ketika kita tidak senang dengan seseorang, kita langsung bilang ke orang itu lagee catok brok. Ini tentu saja sudah berhubungan dengan perilaku. Apa hubungannya, antara catok brok dengan perilaku? Sepertinya, ada yang janggal dengan lakab atau sebutan seperti ini. Sangat tidak tepat mengatakan seseorang dengan catok brok.
Ada juga istilah lain yang sama membangungkan seperti kata catok brok, yaitu lagee suree kumong. Seperti halnya istilah catok brok, kata suree kumong juga menunjukkan tentang perilaku. Istilah-istilah ini (sangat aneh) masih tetap hidup di tengah masyarakat yang katanya sudah modern. Yang pasti, kita yakin, istilah ini sudah muncul sejak dulu, meski tidak bisa dilacak dari sumber-sumber tertulis. Karena, budaya masyarakat Aceh lebih senang mengingat ketimbang mencatat. Bisa jadi, istilah ini juga lahir dari budaya politik keude kupi atau politek blukoh atau balee jaga.
Lalu, apa hubungannya dengan bahasan kita? Catok brok dan suree kumong, keduanya menunjukkan ketidaksempurnaan. Ketika dilakabkan untuk orang, berarti ada sifat ketidaksempurnaan dalam diri orang tersebut. Ya...seperti halnya istilah yang dilakabkan.
Catok brok atau kalau diterjemahkan berarti ’cangkul buruk’ menunjukkan cangkul tersebut tidak sempurna lagi. Tidak sempurna sebagai cangkul. Kalau sempurna, berarti hanya disebut ’cangkul’ saja. Tidak ada embel-embel di depannya. Istilah catok brok sering diberikan kepada orang-orang yang tidak punya kemampuan tapi ingin memegang posisi-posisi penting, dalam organisasi, pemerintahan atau perkumpulan.
Begitu juga dengan suree kumong (ikan tongkol yang kembung). Berarti ikan tongkol yang sudah busuk. Padahal, ketika tidak ada embel-embel di depan, tongkol masih dianggap sempurna, dan bisa dikonsumsi. Sementara kalau sudah ada embel-embel di depan, berarti ikan tersebut tidak bisa dimakan lagi. Sebutan ini sering ditabalkan untuk orang-orang yang mengambil bukan haknya, suka korupsi dan menipu orang lain.
Kalau catok (cangkul) tidak ada embel-embel di depan, masih bisa dipergunakan secara sempurna. Bisa digunakan untuk mencangkul/bercocok tanam, menggali tanah atau yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat kecil. Di kampung, dulunya, semua masyarakat menyimpan cangkul. Jika tidak digunakan untuk bercocok tanam, biasa digunakan untuk menggali kuburan orang. Artinya, masih bisa dimanfaatkan. Tapi, begitu disebut brok, cangkul tersebut tidak bisa dimanfaatkan lagi.
Disebut brok mungkin juga karena sudah karatan, tua, tumpul, dan gagangnya patah. Jika diperbaiki mungkin juga tidak sempurna lagi fungsinya sebagai cangkul. Seperti halnya, orang yang sudah memegang suatu jabatan dalam waktu lama, pasti tidak ada lagi inovasi, kreasi dan terobosan.
Begini, istilah catok brok dan suree kumong selalu dipahami seperti dalam satu pepatah Aceh (saya tidak tahu apakah masuk dalam kategori hadih maja atau tidak), ”Tayue jak dikue ditoh geuntot, tayue jak dilikot disipak gaki.” yang menunjukkan, sebuah perilaku tidak baik: baik sebagai pimpinan maupun bawahan.
Ada contoh menarik memahami dua istilah yang membingungkan ini: hari-hari ini, media lokal di Aceh banyak memuat berita tentang kinerja buruk BRR, dan juga aparat pemerintahan. BRR disorot karena tidak mampu menyelesaikan pembangunan rumah para korban tsunami, sementara pemerintah dianggap belum mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat, serta banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi. (kan banyak pejabat yang sudah kembung-kembung perutnya).
Kenapa kedua institusi ini tidak mampu melaksanakan tugas dan mandatnya secara sempurna? Jawabannya sederhana saja, pastilah karena di kedua lembaga itu dihuni oleh orang-orang yang bermental catok brok dan suree kumong. Artinya, orang-orang yang menempati posisi-posisi penting bukanlah orang yang qualified, dan mampu di bidangnya. Apalagi jika banyak orang-orang yang sudah tua (bukan karena tua dalam hal kepakarannya). Karena itu sering tidak berfungsi.
Bayangkan saja kalau di BRR dan pemerintahan masih dihuni oleh orang-orang bermental catok brok dan suree kumong, pasti setiap hari kita akan menyaksikan parade kemurkaan rakyat. Setiap hari, rakyat menggugat mereka!
NB: sudah dimuat di rubrik cang panah Harian Aceh, Kamis 10 April 2008
Ketika kita tidak senang dengan seseorang, kita langsung bilang ke orang itu lagee catok brok. Ini tentu saja sudah berhubungan dengan perilaku. Apa hubungannya, antara catok brok dengan perilaku? Sepertinya, ada yang janggal dengan lakab atau sebutan seperti ini. Sangat tidak tepat mengatakan seseorang dengan catok brok.
Ada juga istilah lain yang sama membangungkan seperti kata catok brok, yaitu lagee suree kumong. Seperti halnya istilah catok brok, kata suree kumong juga menunjukkan tentang perilaku. Istilah-istilah ini (sangat aneh) masih tetap hidup di tengah masyarakat yang katanya sudah modern. Yang pasti, kita yakin, istilah ini sudah muncul sejak dulu, meski tidak bisa dilacak dari sumber-sumber tertulis. Karena, budaya masyarakat Aceh lebih senang mengingat ketimbang mencatat. Bisa jadi, istilah ini juga lahir dari budaya politik keude kupi atau politek blukoh atau balee jaga.
Lalu, apa hubungannya dengan bahasan kita? Catok brok dan suree kumong, keduanya menunjukkan ketidaksempurnaan. Ketika dilakabkan untuk orang, berarti ada sifat ketidaksempurnaan dalam diri orang tersebut. Ya...seperti halnya istilah yang dilakabkan.
Catok brok atau kalau diterjemahkan berarti ’cangkul buruk’ menunjukkan cangkul tersebut tidak sempurna lagi. Tidak sempurna sebagai cangkul. Kalau sempurna, berarti hanya disebut ’cangkul’ saja. Tidak ada embel-embel di depannya. Istilah catok brok sering diberikan kepada orang-orang yang tidak punya kemampuan tapi ingin memegang posisi-posisi penting, dalam organisasi, pemerintahan atau perkumpulan.
Begitu juga dengan suree kumong (ikan tongkol yang kembung). Berarti ikan tongkol yang sudah busuk. Padahal, ketika tidak ada embel-embel di depan, tongkol masih dianggap sempurna, dan bisa dikonsumsi. Sementara kalau sudah ada embel-embel di depan, berarti ikan tersebut tidak bisa dimakan lagi. Sebutan ini sering ditabalkan untuk orang-orang yang mengambil bukan haknya, suka korupsi dan menipu orang lain.
Kalau catok (cangkul) tidak ada embel-embel di depan, masih bisa dipergunakan secara sempurna. Bisa digunakan untuk mencangkul/bercocok tanam, menggali tanah atau yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat kecil. Di kampung, dulunya, semua masyarakat menyimpan cangkul. Jika tidak digunakan untuk bercocok tanam, biasa digunakan untuk menggali kuburan orang. Artinya, masih bisa dimanfaatkan. Tapi, begitu disebut brok, cangkul tersebut tidak bisa dimanfaatkan lagi.
Disebut brok mungkin juga karena sudah karatan, tua, tumpul, dan gagangnya patah. Jika diperbaiki mungkin juga tidak sempurna lagi fungsinya sebagai cangkul. Seperti halnya, orang yang sudah memegang suatu jabatan dalam waktu lama, pasti tidak ada lagi inovasi, kreasi dan terobosan.
Begini, istilah catok brok dan suree kumong selalu dipahami seperti dalam satu pepatah Aceh (saya tidak tahu apakah masuk dalam kategori hadih maja atau tidak), ”Tayue jak dikue ditoh geuntot, tayue jak dilikot disipak gaki.” yang menunjukkan, sebuah perilaku tidak baik: baik sebagai pimpinan maupun bawahan.
Ada contoh menarik memahami dua istilah yang membingungkan ini: hari-hari ini, media lokal di Aceh banyak memuat berita tentang kinerja buruk BRR, dan juga aparat pemerintahan. BRR disorot karena tidak mampu menyelesaikan pembangunan rumah para korban tsunami, sementara pemerintah dianggap belum mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat, serta banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi. (kan banyak pejabat yang sudah kembung-kembung perutnya).
Kenapa kedua institusi ini tidak mampu melaksanakan tugas dan mandatnya secara sempurna? Jawabannya sederhana saja, pastilah karena di kedua lembaga itu dihuni oleh orang-orang yang bermental catok brok dan suree kumong. Artinya, orang-orang yang menempati posisi-posisi penting bukanlah orang yang qualified, dan mampu di bidangnya. Apalagi jika banyak orang-orang yang sudah tua (bukan karena tua dalam hal kepakarannya). Karena itu sering tidak berfungsi.
Bayangkan saja kalau di BRR dan pemerintahan masih dihuni oleh orang-orang bermental catok brok dan suree kumong, pasti setiap hari kita akan menyaksikan parade kemurkaan rakyat. Setiap hari, rakyat menggugat mereka!
NB: sudah dimuat di rubrik cang panah Harian Aceh, Kamis 10 April 2008
Tags:
cang panah