Beberapa waktu terakhir ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) cukup banyak jadi bahan pembicaraan. Pembicaraan tersebut sama sekali bukan karena mantan Presiden PKS, Hidayat Nurwahid kawin lagi, melainkan kemenangan kandidat partai dakwah ini di Pilkada Jawa Barat dan Pilkada Sumut (berdasarkan hasil penghitungan suara sementara). Bagi sebagian pengamat, kemenangan tersebut dipandang unjuk kekuatan partai berbasis massa Islam ini menyongsong Pemilihan Presiden pada April 2009.
Dalam Pilkada Jawa Barat lalu, pasangan yang diusung oleh PKS dan PAN sukses menjungkal kandidat yang diusung partai besar seperti Golkar dan PDIP. Terbukti, Achmad Heryawan – Dede Yusuf mengalahkan Agum Gumelar dan Danny Setiawan. Kemenangan koalisi PKS-PAN ini memunculkan kesan, bahwa kedua partai ini akan berkoalisi dalam Pilpres 2009.
Setidaknya, begitulah kesan yang ditangkap oleh Direktur Indobarometer M Qodari, yang dikenal sebagai spesialis quick count. Tapi Qodari sedikit ragu karena figur yang ada di tubuh PKS dan PAN dinilai masih kalah populer di antara figur-figur yang ada, seperti SBY, JK, Megawati, Abdurrahman Wahid, Sultan HB XI, Wiranto. Soalnya, PKS dan PAN hanya punya figur lama yaitu Hidayat Nurwahid dan Amien Rais. ”Bisa wajah lama seperti Pak Amien dan Hidayat Nurwahid, atau wajah yang sama sekali baru. Dan menarik juga kalau Pak Soetrisno Bachir sendiri yang maju,” kata Qodari, seperti dikutip detikcom, Senin (14/4).
Keraguan Qodari dilandasi kenyataan bahwa figur lama tidak begitu antusias untuk maju, sementara figur baru masih belum terlalu dikenal. Dalam bahasa Qodari, ”maju kena mundur kena,”. Karenanya, Qodari menyarankan agar partai politik mendesain lahirnya tokoh yang bisa diandalkan bertarung dalam Pilpres.
Jika PKS dan PAN berniat bertarung, tokoh seperti Didik J Rachbini (PAN) dan Tifatul Sembiring, Anis Matta (PKS), bisa dimajukan. Jika tokoh-tokoh ini diduelkan dengan tokoh-tokoh lama era reformasi, duet ini jelas tidak akan berhasil. ”Sekarang ini kaum muda berhadapan dengan kaum tua. Yang muda harus bisa menyatukan kekuatan agar bisa menyaingin yang tua,” tambahnya. Tapi, apakah cara ini berhasil? ”Itu tergantung pada kaum muda untuk meng-create momentum,” jelasnya.
PAN sendirinya, meski krisis figur sudah siap untuk kembali berkoalisi dengan PKS dalam Pilpres 2009. Karena, hasil pilkada Jawa Barat memberi kesan bagi PAN, bahwa kerjasama dengan PKS ternyata memberikan hasil. ”Sudah ada tawaran dari kader PKS, bagaimana bila PAN-PKS diteruskan ke Pilpres. Capresnya PAN, cawapresnya PKS,” kata Ketua Umum DPP PAN, Soetrisno Bachir di sela-sela acara perayaan kemenangan Pilkada Jawa Barat.
Kemenangan di Jawa Barat memberikan semangat kepada PAN untuk lebih serius memikirkan Pilkada-Pilkada di daerah. Ke depan, katanya, PAN mengincar Pilkada Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebelum kursi puncak Presiden. ”Nanti setelah Jateng dan Jatim, lalu kita menang, Indonesia di tangan kita,” ujarnya optimis. Menurutnya, Pilkada Jawa Barat semacam pembuktian bagi PAN untuk menjadi partai besar.
Hal yang sama juga disampaikan oleh kader PKS. Bahwa hasil Pilkada Jawa Barat memberikan gambaran kepada PKS untuk menjajaki kemungkinan menjagokan calonnya dalam Pilpres 2009 mendatang.
”Karena itu, saya melihat bahwa Pilkada Jawa Barat bisa memperlihatkan hasil Pilpres nanti,” kata Hidayat Nurwahid jauh hari sebelum Pilkada dilangsungkan. Nyatanya, penduduk Jawa Barat yang memiliki 28 juta suara, sebagiannya memberikan pilihannya kepada kandidat yang diusung oleh PKS dan PAN. Prediksi demikian semakin memantapkan langkah untuk PKS. Malah, Hidayat yang kini menjabat Ketua MPR, Hidayat Nurwahid didengung-dengungkan sebagai kandidat calon presiden.
Kesimpulan yang melihat hasil Pilkada Jawa Barat sebagai peluang memajukan kader dari partai berbasis Islam, ditentang oleh pengamat politik dari Center for Information Development Studies (Cides), Indra Samego. Menurutnya, mesin-mesin politik ideologis masih sulit berjalan pada Pilpres, karena yang dipilih oleh rakyat adalah figur. ”Kalau yang dicalonkan figur biasa, ya sulit menang,” kata Indra, Senin (14/4).
Jika ingin diperhitungkan dalam Pilpres, saran Indra, PKS harus memiliki figur yang lebih populer dari Presiden SBY. ”Kalau tidak ada calon yang lebih populer dari Yudhoyono, ya pasti Yudhoyono lagi yang akan terpilih,” tandasnya.
Yang pasti, kemenangan yang didapatkan PKS, dalam Pilkada Jabar dan Pilkada Sumut, memberikan tambahan amunisi kepada PKS untuk menargetkan suara pada Pemilu 2009 sebesar 20 persen. Keyakinan itu disampaikan Tifatul melihat hasil yang diraih dua kandidatnya: Achmad Heryawan-Dede Yusuf (Jawa Barat), dan Syamsul Arifin-Gatot (Sumut), yang menang di dua provinsi yang tergolong besar. ”Ini bisa mendongkrak suara PKS di Pemilu 2009 dan kita harapkan target 20 persen bisa terpenuhi,” ujarnya seperti dilansir detikcom, Rabu (16/4).
Kemenangan di Sumut, membuat PKS menghimpun kemenangan di 88 Pilkada dari 149 Pilkada yang diikuti. Sementara di tingkat provinsi, selain Jawa Barat dan Sumut, PKS sudah menang di Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Jambi.
Lalu, apakah kemenangan beruntun PKS di Jawa Barat dan Sumut, memberi suatu kepastian bagi PKS, bahwa mereka layak diperhitungkan dalam Pilpres mendatang? ”Ini peringatan buat partai-partai besar,” tandas Qodari, Rabu (16/4). Menurut Qodari, kemenangan itu membuktikan bahwa PKS sudah menjelma menjadi pembunuh para raksasa.
Fenomena itu setidaknya memberi kesan bahwa PKS memang layak diperhitungkan. Apalagi, dalam Pemilu 2004 lalu, PKS memperoleh hasil terbanyak untuk wilayah DKI Jakarta. Apakah ini sebuah pertanda, PKS layak memimpin Indonesia? [dari berbagai sumber]
NB: sudah dimuat di rubrik fokus Harian Aceh, Kamis 17 April 2008
Tags:
fokus