Semboyan ”yang muda belum bisa dipercaya” sepertinya sudah mulai tidak berlaku lagi. Baru-baru ini, UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah direvisi dan membolehkan pemuda mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Tak hanya itu, calon independen, yang sebelumnya hanya berlaku untuk Aceh, kini sudah boleh diberlakukan di tempat lain di Indonesia.
Kita di Aceh tentu saja bangga, karena Aceh lah pencetus calon independen (perseorangan) boleh bertarung dalam pilkada. Seperti tercatat dalam sejarah, Irwandi dan Muhammad Nazar adalah pemimpin daerah pertama yang naik melalui jalur independen dan terpilih menjadi pemimpin.
Jakarta saja sebagai miniatur Indonesia belum menerapkan aturan calon independen boleh bertarung dalam Pilkada. Keinginan sejumlah kalangan dari LSM yang mencoba menggolkan calon independen untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta tahun lalu dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akhirnya, dalam Pilkada Jakarta yang dimenangi pasangan Fauzi Bowo dan Prinjato, calon independen tidak diperkenankan mencalonkan diri. Menurut Mahkamah Konstitusi, usulan calon independen bertarung dalam Pilkada tidak sesuai dengan UU yang berlaku.
Kini, upaya sejumlah pihak yang menginginkan calon independen boleh bertarung dalam Pilkada sudah terbuka. Keinginan itu sudah terakomodir dalam hasil revisi Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasca-pengesahan hasil revisi atas UU tersebut, ke depan, diramalkan bakal banyak lahir tokoh-tokoh dari kalangan independen. Selama ini kalangan yang diorbit oleh partai politik terbukti bukanlah tokoh yang mengakar di masyarakat, mereka hanyalah tokoh-tokoh populis yang memenangkan perrarungan karena pesona yang ditebarkannya.
Di luar partai, sebenarnya banyak tokoh-tokoh alternatif yang diyakini mampu membawa perubahan. Namun, mereka terkendala oleh peraturan dan undang-undang yang ada. Sistem politik yang ada belum memberikan peluang bagi mereka mendedikasikan kemampuan mereka berbuat lebih untuk bangsa ini. Akibatnya, mereka hanya berkutat di lembaga-lembaga non pemerintah yang terbatas ruang lingkupnya.
Jika menengok ke belakang, apa yang diputuskan oleh DPR yang mengesahkan revisi atas UU No 32 Tahun 2004 dengan membolehkan anak muda 25 tahun untuk menjadi kepala daerah (bupati/walikota) merupakan suatu kemunduran. Karena sejak dulu, revolusi di Indonesia digerakkan oleh kaum muda. Sumpah pemuda yang terkenal itu merupakan terobosan paling berani yang dilakukan oleh anak muda Indonesia, di samping penculikan Soekarno untuk membaca teks proklamasi di tengah tekanan Jepang dan Sekutu saat itu.
Nyatanya, sampai sebelum UU No 32 / 2004 disahkan, peran pemuda untuk berkiprah di jalur politik sebagai kepala pemerintahan seperti tertutup. Mereka harus menunggu sampai tokoh tua pensiun, dan meninggalkan banyak masalah yang harus diselesaikan. Namun, begitu UU ini disahkan, inilah momentum bersejarah yang harus dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh muda yang selama ini lebih memilih berseberangan dengan pemerintah.
Moment ke arah itu, sudah dimulai di Aceh, saat Pilkada lalu, di mana banyak sekali tokoh-tokoh muda yang tampil ingin memperbaiki kondisi Aceh yang terpuruk. Saat Pilkada 2006 lalu, warna politik Aceh seperti didominasi oleh anak-anak muda. Bahkan ada di antara mereka yang belum menikah ketika rakyat mempercayakan tampuk kekuasaan kepada mereka. Di tingkat provinsi, diakui atau tidak, Muhammad Nazar adalah Wakil Gubernur termuda sekarang ini di Indonesia.
Jika boleh berbangga lagi, inilah sumbangan Aceh untuk perubahan politik dan demokrasi di Indonesia. Apa yang dipraktekkan di Aceh, kini diadopsi oleh propinsi-propinsi lain di Indonesia. Malah, sudah diloloskan dan dilegalkan dalam bentuk undang-undang.
Bagi pemuda Indonesia, inilah keberhasilan mereka menawarkan resepsi politik atas kebuntuan politik yang lebih melihat tokoh-tokoh tua lebih punya kemampuan memimpin dan menyelesaikan permasalahan bangsa.
Saat acara pembacaan kembali Ikrar Kaum Muda Indonesia, di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, tepat pada peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda (28/10/07), Faisal Basri, yang pernah disebut-sebut sebagai kandidat Gubernur DKI dari jalur independen sebelum dimentalkan oleh MK, mengatakan bahwa sudah saatnya kaum muda Indonesia diberi kesempatan untuk memimpin bangsa.
Menurut Faisal, tak hanya sembarang pemuda yang harus diberikan kesempatan untuk memimpin Indonesia yang memiliki permasalahan multi-komplek, melainkan haruslah pemuda-pemuda yang memiliki ideologi yang jelas.
Ideologi yang disebut oleh Faisal adalah sistem politik, demokrasi sosial dan ekonomi pasar sosial, yang saat ini tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
”Sebab kalau orang yang bermasalah pada masa lalu terus ada di panggung nasional maka bangsa kita akan terbelenggu oleh kesalahan mereka,” kata Faisal seperti dikutip Antara, Minggu (28/10/07).
Tak hanya itu, kata Faisal yang juga pengamat ekonomi ini, jika tokoh-tokoh tua atau lama masih terus bertahan pada posisinya maka kesempatan bagi kaum muda untuk menjadi pemimpin bangsa akan tertutup.
"Kesempatan itu tidak akan terbuka karena para tokoh lama ini memutuskan untuk tetap bertahan karena ingin menutupi kesalahannya pada masa lalu," ujarnya.
Apa yang disampaikan oleh Faisal, sebenarnya menjadi tren masa kini, yang sudah dimulai dipraktekkan oleh negara-negara lain. Kecenderungan negara-negara maju sekarang, tidak lagi mempersoalkan soal umur seorang pemimpin, melainkan kematangan berfikir mereka, yang progresif dan visioner.
Seperti disampaikan oleh Mahfudz Siddiq, Ketua Fraksi PKS DPR RI, Minggu (MI, 9/3), tren kepemimpinan dunia sekarang ini memunculkan pemimpin-pemimpin baru yang tidak hanya berjiwa muda, melainkan juga berusia muda.
Hasil pemilihan umum Rusia yang berlangsung beberapa minggu lalu, juga memunculkan sosok muda, yaitu Medvedev yang baru berusia 43 tahun.
Malah, di Amerika sekarang, seorang calon presiden dari Partai Demokrat, Barack Obama, juga berusia muda yaitu 47 tahun. Obama dikenal sebagai pemimpin yang energik, lincah, dan mampu berbicara secara memukau. Obama mampu menghipnotis warga Amerika yang haus akan hadirnya pemimpin yang segar yang mampu membawa perubahan terutama dalam politik luar negerinya.
Kecenderungan dunia tersebut, sepertinya sudah mulai diikuti di Indonesia. Setidaknya, pengesahan revisi atas UU No 32/2004 harus dilihat dalam kerangka tersebut. Soalnya, setelah 10 tahun masa transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia telah memberikan kenyataan kepada kita, bahwa tokoh-tokoh yang lahir dan memimpin Indonesia umumnya sudah berusia senja. Harapan satu-satunya, saat pemilu presiden mendatang, hendaknya lahir tokoh pemimpin yang berusia di bawah 50 tahun.**
Sistem Baru Politik Indonesia
Jika sebelumnya, anak muda tidak punya kesempatan memimpin daerah, maka begitu UU No 32 Tahun 2004 hasil revisi disahkan oleh DPR dua hari lalu, kesempatan itu sudah terbuka.
Dengan disahkannya ketentuan baru tersebut, keinginan anak muda untuk berpartisipasi dan berkiprah dalam pembangunan di daerah tidak terhambat lagi.
”Dalam UU No 32/2004 hasil revisi, umur 25 tahun dinilai sudah memenuhi syarat untuk menjadi bupati, walikota, atau wakilnya,” kata Ketua Komisi II DPR RI Ernst Evert Mangindaan, di Jakarta, Senin (1/4) lalu.
Dalam UU hasil revisi tersebut, khususnya pasal 58, disebutkan bahwa syarat calon kepala daerah dan wakilnya adalah WNI yang memenuhi syarat, antara lain berusia sekurang-kurangnya 30 tahun tahun bagi calon gubernur atau wakilnya dan berusia sekurang-kurangnya 25 tahun bagi bupati atau wakil bupati dan calon wali kota.
Ketentuan lainnya adalah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah boleh berasal dari calon perseorangan atau independen. Sementara bagi calon incumbent (calon yang sedang berkuasa) diharuskan mengundurkan diri dulu sebelum mencalonkan diri kembali.
Mengenai calon independen, undang undang ini mensyaratkan adanya dukungan 3-6,5 persen berdasarkan jumlah penduduk di tiap daerah. Syarat seperti ini ditentang oleh beberapa LSM, terutama Centre for Electora Reform (Cetro), yang menilai bahwa syarat tersebut terlalu memberatkan, karena persentasenya terlalu tinggi. Menurut Cetro, syarat tersebut justru menjadi penghalang bagi calon perseorangan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Menurut Cetro, apa yang dihasilkan oleh DPR adalah bukti bahwa dewan tidak mendengar dan menangkap aspirasi publik.
Cetro mencontohkan kondisi di Jawa Timur dengan penduduk sebanyak 36.206.060, maka calon perseorangan harus mendapat dukungan 1.086.181 orang.
Tidak hanya itu yang disorot oleh Cetro. Masalah persentase berjenjang seperti masing-masing provinsi dan kabupaten menetapkan jumlah yang berbeda sesuai populasi penduduk juga disorot oleh Cetro.
"Permasalahan persentase berjenjang ini, juga menimbulkan anomali karena jumlah dukungan bagi calon perseorangan dengan jumlah penduduk lebih sedikit ternyata lebih besar dibandingkan daerah dengan jumlah penduduk lebih besar," kata Partono, peneliti senior Cetro di Jakarta, Selasa (1/4)
Di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan 1.881.512 jiwa, calon perseorangan harus mendapat jumlah dukungan yang lebih besar dibandingkan calon perseorangan di Provinsi Sulawesi Utara dengan jumlah 2.131.685 jiwa.
Calon perseorangan di Sulawesi Tenggara harus mendapat dukungan dari 122.298 orang, sedang calon perseorangan di Sulawesi Utara dengan jumlah penduduk yang lebih banyak hanya membutuhkan 106.584 dukungan.
Menurutnya, persentase yang terlalu tinggi juga berisiko membebani Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melakukan verifikasi, karena menyangkut tingkat validitas data dan luas wilayah.
Masalah lainnya, tambah Partono, ialah metode verifikasi yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat PPS hingga KPU di daerah.
"Metode verifikasi ini, berpotensi terjadinya konflik di tingkat bawah, karena PPS akan berhadapan langsung dengan pihak pasangan calon perseorangan di setiap desa atau kelurahan," katanya. Namun, apa yang disampaikan oleh Cetro, dibantah oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto, yang menurutnya syarat itu sudah termasuk rendah. [dari berbagai sumber]
NB: sudah dimuat di halaman fokus HA, Kamis 03 04 08
Jakarta saja sebagai miniatur Indonesia belum menerapkan aturan calon independen boleh bertarung dalam Pilkada. Keinginan sejumlah kalangan dari LSM yang mencoba menggolkan calon independen untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta tahun lalu dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akhirnya, dalam Pilkada Jakarta yang dimenangi pasangan Fauzi Bowo dan Prinjato, calon independen tidak diperkenankan mencalonkan diri. Menurut Mahkamah Konstitusi, usulan calon independen bertarung dalam Pilkada tidak sesuai dengan UU yang berlaku.
Kini, upaya sejumlah pihak yang menginginkan calon independen boleh bertarung dalam Pilkada sudah terbuka. Keinginan itu sudah terakomodir dalam hasil revisi Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasca-pengesahan hasil revisi atas UU tersebut, ke depan, diramalkan bakal banyak lahir tokoh-tokoh dari kalangan independen. Selama ini kalangan yang diorbit oleh partai politik terbukti bukanlah tokoh yang mengakar di masyarakat, mereka hanyalah tokoh-tokoh populis yang memenangkan perrarungan karena pesona yang ditebarkannya.
Di luar partai, sebenarnya banyak tokoh-tokoh alternatif yang diyakini mampu membawa perubahan. Namun, mereka terkendala oleh peraturan dan undang-undang yang ada. Sistem politik yang ada belum memberikan peluang bagi mereka mendedikasikan kemampuan mereka berbuat lebih untuk bangsa ini. Akibatnya, mereka hanya berkutat di lembaga-lembaga non pemerintah yang terbatas ruang lingkupnya.
Jika menengok ke belakang, apa yang diputuskan oleh DPR yang mengesahkan revisi atas UU No 32 Tahun 2004 dengan membolehkan anak muda 25 tahun untuk menjadi kepala daerah (bupati/walikota) merupakan suatu kemunduran. Karena sejak dulu, revolusi di Indonesia digerakkan oleh kaum muda. Sumpah pemuda yang terkenal itu merupakan terobosan paling berani yang dilakukan oleh anak muda Indonesia, di samping penculikan Soekarno untuk membaca teks proklamasi di tengah tekanan Jepang dan Sekutu saat itu.
Nyatanya, sampai sebelum UU No 32 / 2004 disahkan, peran pemuda untuk berkiprah di jalur politik sebagai kepala pemerintahan seperti tertutup. Mereka harus menunggu sampai tokoh tua pensiun, dan meninggalkan banyak masalah yang harus diselesaikan. Namun, begitu UU ini disahkan, inilah momentum bersejarah yang harus dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh muda yang selama ini lebih memilih berseberangan dengan pemerintah.
Moment ke arah itu, sudah dimulai di Aceh, saat Pilkada lalu, di mana banyak sekali tokoh-tokoh muda yang tampil ingin memperbaiki kondisi Aceh yang terpuruk. Saat Pilkada 2006 lalu, warna politik Aceh seperti didominasi oleh anak-anak muda. Bahkan ada di antara mereka yang belum menikah ketika rakyat mempercayakan tampuk kekuasaan kepada mereka. Di tingkat provinsi, diakui atau tidak, Muhammad Nazar adalah Wakil Gubernur termuda sekarang ini di Indonesia.
Jika boleh berbangga lagi, inilah sumbangan Aceh untuk perubahan politik dan demokrasi di Indonesia. Apa yang dipraktekkan di Aceh, kini diadopsi oleh propinsi-propinsi lain di Indonesia. Malah, sudah diloloskan dan dilegalkan dalam bentuk undang-undang.
Bagi pemuda Indonesia, inilah keberhasilan mereka menawarkan resepsi politik atas kebuntuan politik yang lebih melihat tokoh-tokoh tua lebih punya kemampuan memimpin dan menyelesaikan permasalahan bangsa.
Saat acara pembacaan kembali Ikrar Kaum Muda Indonesia, di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, tepat pada peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda (28/10/07), Faisal Basri, yang pernah disebut-sebut sebagai kandidat Gubernur DKI dari jalur independen sebelum dimentalkan oleh MK, mengatakan bahwa sudah saatnya kaum muda Indonesia diberi kesempatan untuk memimpin bangsa.
Menurut Faisal, tak hanya sembarang pemuda yang harus diberikan kesempatan untuk memimpin Indonesia yang memiliki permasalahan multi-komplek, melainkan haruslah pemuda-pemuda yang memiliki ideologi yang jelas.
Ideologi yang disebut oleh Faisal adalah sistem politik, demokrasi sosial dan ekonomi pasar sosial, yang saat ini tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
”Sebab kalau orang yang bermasalah pada masa lalu terus ada di panggung nasional maka bangsa kita akan terbelenggu oleh kesalahan mereka,” kata Faisal seperti dikutip Antara, Minggu (28/10/07).
Tak hanya itu, kata Faisal yang juga pengamat ekonomi ini, jika tokoh-tokoh tua atau lama masih terus bertahan pada posisinya maka kesempatan bagi kaum muda untuk menjadi pemimpin bangsa akan tertutup.
"Kesempatan itu tidak akan terbuka karena para tokoh lama ini memutuskan untuk tetap bertahan karena ingin menutupi kesalahannya pada masa lalu," ujarnya.
Apa yang disampaikan oleh Faisal, sebenarnya menjadi tren masa kini, yang sudah dimulai dipraktekkan oleh negara-negara lain. Kecenderungan negara-negara maju sekarang, tidak lagi mempersoalkan soal umur seorang pemimpin, melainkan kematangan berfikir mereka, yang progresif dan visioner.
Seperti disampaikan oleh Mahfudz Siddiq, Ketua Fraksi PKS DPR RI, Minggu (MI, 9/3), tren kepemimpinan dunia sekarang ini memunculkan pemimpin-pemimpin baru yang tidak hanya berjiwa muda, melainkan juga berusia muda.
Hasil pemilihan umum Rusia yang berlangsung beberapa minggu lalu, juga memunculkan sosok muda, yaitu Medvedev yang baru berusia 43 tahun.
Malah, di Amerika sekarang, seorang calon presiden dari Partai Demokrat, Barack Obama, juga berusia muda yaitu 47 tahun. Obama dikenal sebagai pemimpin yang energik, lincah, dan mampu berbicara secara memukau. Obama mampu menghipnotis warga Amerika yang haus akan hadirnya pemimpin yang segar yang mampu membawa perubahan terutama dalam politik luar negerinya.
Kecenderungan dunia tersebut, sepertinya sudah mulai diikuti di Indonesia. Setidaknya, pengesahan revisi atas UU No 32/2004 harus dilihat dalam kerangka tersebut. Soalnya, setelah 10 tahun masa transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia telah memberikan kenyataan kepada kita, bahwa tokoh-tokoh yang lahir dan memimpin Indonesia umumnya sudah berusia senja. Harapan satu-satunya, saat pemilu presiden mendatang, hendaknya lahir tokoh pemimpin yang berusia di bawah 50 tahun.**
Sistem Baru Politik Indonesia
Jika sebelumnya, anak muda tidak punya kesempatan memimpin daerah, maka begitu UU No 32 Tahun 2004 hasil revisi disahkan oleh DPR dua hari lalu, kesempatan itu sudah terbuka.
Dengan disahkannya ketentuan baru tersebut, keinginan anak muda untuk berpartisipasi dan berkiprah dalam pembangunan di daerah tidak terhambat lagi.
”Dalam UU No 32/2004 hasil revisi, umur 25 tahun dinilai sudah memenuhi syarat untuk menjadi bupati, walikota, atau wakilnya,” kata Ketua Komisi II DPR RI Ernst Evert Mangindaan, di Jakarta, Senin (1/4) lalu.
Dalam UU hasil revisi tersebut, khususnya pasal 58, disebutkan bahwa syarat calon kepala daerah dan wakilnya adalah WNI yang memenuhi syarat, antara lain berusia sekurang-kurangnya 30 tahun tahun bagi calon gubernur atau wakilnya dan berusia sekurang-kurangnya 25 tahun bagi bupati atau wakil bupati dan calon wali kota.
Ketentuan lainnya adalah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah boleh berasal dari calon perseorangan atau independen. Sementara bagi calon incumbent (calon yang sedang berkuasa) diharuskan mengundurkan diri dulu sebelum mencalonkan diri kembali.
Mengenai calon independen, undang undang ini mensyaratkan adanya dukungan 3-6,5 persen berdasarkan jumlah penduduk di tiap daerah. Syarat seperti ini ditentang oleh beberapa LSM, terutama Centre for Electora Reform (Cetro), yang menilai bahwa syarat tersebut terlalu memberatkan, karena persentasenya terlalu tinggi. Menurut Cetro, syarat tersebut justru menjadi penghalang bagi calon perseorangan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Menurut Cetro, apa yang dihasilkan oleh DPR adalah bukti bahwa dewan tidak mendengar dan menangkap aspirasi publik.
Cetro mencontohkan kondisi di Jawa Timur dengan penduduk sebanyak 36.206.060, maka calon perseorangan harus mendapat dukungan 1.086.181 orang.
Tidak hanya itu yang disorot oleh Cetro. Masalah persentase berjenjang seperti masing-masing provinsi dan kabupaten menetapkan jumlah yang berbeda sesuai populasi penduduk juga disorot oleh Cetro.
"Permasalahan persentase berjenjang ini, juga menimbulkan anomali karena jumlah dukungan bagi calon perseorangan dengan jumlah penduduk lebih sedikit ternyata lebih besar dibandingkan daerah dengan jumlah penduduk lebih besar," kata Partono, peneliti senior Cetro di Jakarta, Selasa (1/4)
Di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan 1.881.512 jiwa, calon perseorangan harus mendapat jumlah dukungan yang lebih besar dibandingkan calon perseorangan di Provinsi Sulawesi Utara dengan jumlah 2.131.685 jiwa.
Calon perseorangan di Sulawesi Tenggara harus mendapat dukungan dari 122.298 orang, sedang calon perseorangan di Sulawesi Utara dengan jumlah penduduk yang lebih banyak hanya membutuhkan 106.584 dukungan.
Menurutnya, persentase yang terlalu tinggi juga berisiko membebani Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melakukan verifikasi, karena menyangkut tingkat validitas data dan luas wilayah.
Masalah lainnya, tambah Partono, ialah metode verifikasi yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat PPS hingga KPU di daerah.
"Metode verifikasi ini, berpotensi terjadinya konflik di tingkat bawah, karena PPS akan berhadapan langsung dengan pihak pasangan calon perseorangan di setiap desa atau kelurahan," katanya. Namun, apa yang disampaikan oleh Cetro, dibantah oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto, yang menurutnya syarat itu sudah termasuk rendah. [dari berbagai sumber]
NB: sudah dimuat di halaman fokus HA, Kamis 03 04 08
Tags:
fokus